Ngainun
Naim
Dua
hari yang sangat melelahkan. Kamis (28 Mei 2020) dan Jumat (29 Mei 2020), saya
dan Kikin—adik bungsu—menjalani aktivitas mengurus Taspen Almarhum Bapak. Kamis
jam 09.30 saya meluncur dari Trenggalek menuju Tulungagung.
Informasi
mendadak dari Kikin bahwa Taspen harus segera diurus membuat saya segera meninggalkan
aktivitas di rumah. Sesampai di Tulungagung sudah hampir jam 11.00 WIB. Setelah
siap, kami berdua langsung menuju Kantor Taspen yang ada di Kediri.
Perjalanan
secara umum cukup lancar. Tidak ada banyak halangan. Jalanan cukup lengang. Padahal
jalan raya Tulungagung Kediri pada hari biasa—apalagi pada jam 11.00—cukup padat.
Pandemi ternyata mampu mengurangi mobilitas manusia.
Sesampai
di Alun-Alun Kota Kediri, saya membelokkan mobil ke kiri. Beberapa puluh tahun
lalu saya mengantar Bapak mengurus pensiun, tetapi saya tidak ingat persis
jalan menuju ke Kantor Taspen. Saya hanya ingat lokasinya ada di timur jalan.
Berbekal
bantuan Google Map, kami sampai lokasi. Tidak terlalu sulit. Begitu sampai, saya menemukan sedikit memori
tentang kantor itu. Banyak sekali perubahannya. Ya saya kira wajar karena sudah
cukup lama.
Kikin
langsung menuju pos pelayanan. Di sana dijelaskan berbagai hal yang harus
dipenuhi. Berkas yang dibawa belum mencukupi. Lewat selembar kertas berisi
syarat-syaratnya, kami pun pulang.
Perjalanan
yang cukup jauh dan melelahkan. Puasa membuat tubuh saya lemas. Sesampai di
rumah saya langsung istirahat. Sementara kondisi Mbah Uti—panggilan saya pada
Ibuk—sedang sakit. Beliau mengalami kesulitan untuk berjalan. Bahkan sekadar
bangun saja kesulitan. Sepertinya tulang belakang beliau kembali mengalami
persoalan.
Setelah
mandi sore saya ajak beliau untuk periksa. Beliau minta ke Klinik dr. Gendut.
Setelah telepon, dapat urutan nomor 3. Kami berangkat jam 19.00 WIB. Sesampai
di klinik segera diperiksa. Sekitar jam 20.00 kami sudah sampai di rumah.
Jumat
pagi hari kami sibuk mencari berkas pendukung. Berjam-jam kami mencermati satu
demi satu berkas. Persoalan yang utama adalah SK terakhir. Cukup lama kami
mencarinya. Akhirnya ketemu juga. Belum lagi berkas-berkas yang lain yang harus
dilengkapi.
Setelah
merasa lengkap, kami berangkat. Surat dari desa sudah beres. Kami menuju KUA
Sumbergempol. Di sinilah akar masalah terjadi. Ternyata di surat nikah, nama
Bapak berbeda ejaan. Kata Kikin, karena perbedaan data itu, petugas
administrasi KUA tidak mau melegalisir. Agar bisa dilegalisir, kami harus ke
desa untuk meminta salinan surat nikah ke desa. Setelah itu meminta surat ke
Polsek, lalu legalisir ke Kantor Catatan Sipil Kabupaten Tulungagung.
Gusti
Allah. Masih sangat panjang jalannya.
Saya
bisa saja memanfaatkan relasi, tapi saya tidak mau. Saya bilang ke Kikin agar
melakukannya secara prosedural. Jangan merepotkan orang lain.
Saya
pulang dengan tubuh lemes. Lemes selemes-lemesnya. Ternyata masih jauh yang
harus dilalui. Tadi pagi sebelum subuh saya hanya sahur mie goreng saja, tanpa
nasi. Lengkap sudah kelemesan itu 😅😅😅😅.
Saya
teringat Bapak mengalami persoalan semacam ini saat akan mendaftar haji. Saya harus
kesana-kemarin untuk menyelesaikannya. Butuh beberapa waktu sampai kemudian
beres. Bapak Ibu pun akhirnya bisa mendaftar haji.
Ingatan
saya kembali menemukan bahwa saat itu ada beda ejaan antara Bapak dan Ibu.
Kemungkinan surat nikah ada berkas perbaikannya. Jika berkas perbaikan ditemukanJadi
tidak perlu mencari lagi yang baru.
Sesampai
di rumah jam 10.30, kami langsung beraksi. Berkas demi berkas kami cermati.
Hasilnya: NIHIL. Tidak ada saudara-saudara. Tidak ada pilihan lagi. Saya
meminta Kikin melalui jalur prosedural ke Balai Desa.
Kikin
berangkat ke Balai Desa. Saya terus berdzikir. Semoga ada pertolongan. Dan
alhamdulillah, persoalan ternyata semakin rumit. Di Balai Desa tidak ada berkas
pernikahan karena pernikahan berlangsung di Desa Bendiljati Kulon. Berarti kami
harus mengurus ke sana. Allahu Akbar.
Saya
beranjak dengan tubuh lemas mengajak Kikin ke Kediri. Sebelum berangkat saya
minta doa kepada Ibu agar urusan lancar. Sepanjang jalan, dengan tubuh yang
lemas, saya melantunkan dzikir agar urusan bisa lancar.
Saat
mengendarai mobil, kaki saya gemetar. Benar-benar lemes. Tidak ada pilihan.
Kalau dipaksakan bisa membahayakan perjalanan. Saya memutuskan membatalkan
puasa.
Usai
makan soto, kami melanjutkan perjalanan menuju Kantor Taspen Kediri. Saya
kelelahan di perjalanan. Tetap di mobil sambil merebahkan tubuh. Alhamdulillah,
setelah melalui perjuangan, juga berkat doa ibu, urusan cukup lancar. Tinggal
satu saja yaitu Ibu belum memiliki rekening.
Kikin
menjelaskan kepada petugas bahwa Ibu sedang masa ‘iddah. Jadi tidak mungkin
keluar untuk mengurus membuka rekening. Setelah melalui pertimbangan, petugas
tersebut justru berbaik hati memberikan formulir pembukaan rekening. Tinggal
diisi dan ditanda tangani oleh Ibu.
Alhamdulillah,
urusan lancar. Perjalanan pulang terasa landai. Tubuh ini sangat lelah, tetapi
terasa lega. Sore menjelang magrib kami sampai di rumah. Selasa depan kami akan
ke Kantor Taspen lagi. Semoga semuanya lancar. Mohon doanya.
Juga
doa agar Ibu segera sembuh. Malam ini, setelah saya tanya, katanya kondisi
beliau sudah lumayan. Alhamdulillah.
Tulungagung,
29 Mei 2020
Semoga puasa syawwal nya tetap di terima
BalasHapusLuar biasa pengorbanannya pak. Semoga Allah melancarkan urusan bapak.
BalasHapusAmin Ya Allah
HapusSabar nggih pak semoga ada keberkahan aaamiiin
BalasHapusAmin
HapusSy pernah merasakan hal yg sama pak 2 tahun lalu. Insya Allah niat puasanya sdh diijabah
BalasHapusAmin
HapusInspiratif Gus
BalasHapusTerima kasih
HapusYaa Alloh...smoga negara membuka telinganya. Hingga dapat bijaksana kpd rakyatnya. Sebagaimana tujuan negera ini merdeka. Ini rakyat negri ini sendiri. Yg telah di kontrak seluruh jiwa raganya seumur hidup nya untuk mengabdi.
BalasHapusApa yg terjadi dan terpotret dlm cerita ini adalah gunung es penderitaan rakyat memperjuangkan hak nya. Hak nya sendiri. Bukan hak orang lain. Alih, alih negara hadir membayarkan hak pd rakyat dan abdinya. Tapi kok justru se miris ini yang terjadi.
Saya mmbayangkan andai hal spt ini terjadi pd kluarga yg tdk kuat dan sehat. Tdk punya alat transportasi, tdk tahu menahu urusan biro krasi. Kira2 bisa memakan korban. Jantungan, saking emosinya.
Menurut saya ini tugas sejati pemerintah. Hadir dan menjadi pahlawan bagi rakyatnya. Buat apa bicara yg jauh jauh dan besar2, jika yg berhubungan dg hak mendasar rakyat saja amburadul.
Bukankan cukup dg satu lembar surat pernyataan bermaterai dari kluarga (ahli waris) menyatakan ini dan itu dg sebenarnya. Dan jika di kemudian hari di temukan kesalahan siap bertanggung jawab sebagai mana mestinya...dst.
----------
Nderek ndedongo mugi2 mbah uti enggal pinaringan kesehatan. Dan smua urusan segera d lancarkan. Aamiin.
Terima kasih empati dan doanya
HapusYa,urusan birokrasi dan pernsk prrniknya memang menggerus kesabaran
BalasHapusBetul Bu Kanjeng
HapusPasti orang tua bangga memiliki putra dan putri seperti bapak. Selamat pak. Jadi ikutan lemes membayankannya
BalasHapusTerima kasih Bu
HapusMudah mudahan seperti covid 19, datanya melandai.
BalasHapusTerinspirasi kaleh panjenegan pak...mugi berkah...
BalasHapusAmin
BalasHapus