Ngainun
Naim
Bapak bersama cucunya |
Masih terpatri kuat dalam ingatan tentang
ajaran Bapak. Ajaran tentang keberanian. Sebuah dorongan yang membuat saya
kembali berani setelah nyaris mundur
dari arena.
Saat iku saya kelas 5 SD.
Setiap malam saya mengaji di madrasah diniah. Lokasinya di desa sebelah, Desa
Tanjung Kecamatan Kalidawir Kabupaten Tulungagung. Jarak dari rumah sekitar empat
kilo.
Tahun 1980-an listrik belum
masuk ke kampung kami. Penerangan umumnya dari lampu petromax. Itu pun biasanya
sampai jam 21.00 karena minyak sudah habis. Lampu teplok yang menjadi penyambung
penerangan sampai pagi.
Di usia itu, saya setiap malam—kecuali
malam Jumat—harus mengayuh sepeda dalam gelapnya malam. Jarak empat kilo dan
seorang diri. Kadang kala ada teman yang bersama, tapi ujung-ujungnya berpisah
juga karena kami selalu berlomba. Ya, berlomba adu cepat. Bukan untuk mencari
pemenang tapi untuk melawan rasa takut.
Pernah saya matur ke Bapak
untuk berhenti saja. "Ndak usah takut. Bapak dulu jalan kaki waktu ngaji.
Lha kamu sudah ada sepeda, tinggal naik saja kok takut", begitu dawuh
Bapak.
Panjang lebar beliau
menasehati dan memarahi. Memang beliau orangnya sangat tegas. Tanpa kompromi.
Dan itu berarti saya harus melawan takut untuk kemudian sekolah diniah lagi.
Tahun 1980-an ditandai oleh—salah
satunya—penembakan misterius. Korbannya konon para penjahat. Saya sendiri tidak
tahu pasti. Maklum, usia sebegitu mana ngerti dengan persoalan semacam itu. Kami
hanya mengenal kata "Jus".
Ini bukan persoalan minuman.
Ini istilah untuk penembakan misterius. Entahlah apa akar kata dan maknanya.
Pokoknya kawan-kawan menyebutnya "Jus-jusan".
Suatu hari masyarakat desa
kami geger. Seorang siswa yang sedang berolahraga bersama kawan-kawan sekelas
bersama gurunya menemukan sesosok mayat. Sebuah lobang di pinggir jalan di
persawahan lokasinya. Mayat itu hanya memakai celana dalam.
Saya sendiri tidak
menyaksikan. Saat anak-anak kembali ke sekolah, suasana sudah geger tidak
karuan. Saya pun ikut larut dalam perbincangan tentang penemuan mayat itu.
Berbagai cerita pun bermunculan dari mulut ke mulut.
Efeknya, muncul ketakutan luar
biasa. Berbagai cerita khayal pun bertebaran. Salah satunya tentang kemungkinan
mayat itu, karena mati tidak wajar, menjadi hantu.
Akibat cerita demi cerita yang
bertebaran, saya takut luar biasa. Bagaimana malamnya saat saya harus masuk
madrasah diniah? Jalan utama yang harus saya lewati adalah jalan tempat
ditemukannya mayat petrus.
Malamnya saya berangkat diniah
dengan tekanan takut tak terperi. Sepeda kukayuh sekuat tenaga saat lewat
persawahan. Tujuannya agar segera sampai di pondok tempat saya belajar diniah.
Suasana madrasah diniah
ternyata tidak berbeda. Topiknya tentang mayat petrus. Semua berbincang tentang
topik itu. Cerita demi cerita dirangkai dengan imajinasi horor yang sangat
menakutkan. Saya pun semakin merinding. Tidak ada lagi konsentrasi mengikuti
pelajaran.
Saat pulang adalah saat yang
paling menegangkan. Saya tidak berani lewat jalan di mana mayat ditemukan. Saya
ambil jalan lain. Lebih jauh, gelap, dan tidak ada teman. Kayuhan sekuat tenaga
menjadi pilihan tak terelakkan.
Sampai di rumah saya lemas.
Capek. Keringat membasahi baju. Saya segera berganti kaos. Ibuk menanyakan
mengapa saya ganti baju. Belum sempat saya jawab Bapak masuk rumah dengan
memegang lampu senter kesayangannya. Beliau diam. Acuh. Dan begitulah
keseharian beliau.
Saya pun berkisah. Ibuk
mendengarkan dan Bapak dengan tenang memberikan nasihat.
"Tidak ada hantu itu. Itu
ketakutanmu. Jangan percaya".
Hanya itu yang beliau katakan.
Sudah. Tidak ada yang lain. Beliau memang irit bicara.
Begitulah cara Bapak
mengajarkan keberanian. Tegas. Tak kenal kompromi.
RSUD
Dr. Iskak Tulungagung, 19 April 2020
Selesai
ditulis jam 19.25.
Dari cerita ini saya menjadi teringat dulu ngaji di masjid. Pada masa itu semangat kami berkobar-kobar untuk berlomba-lomba menambah juz bacaan al-Qur'an. Saya waktu itu bersama temanku namanya Deni "dia sudah almarhum".
BalasHapusDeni adalah sosok anak yang semangat belajar mengaji. Setiap sore sebelum berangkat dia selalu menghampiri rumah saya. Memang ketika dia berangkat ke masjid harus melewati rumah saya terlebih dahulu.
Suatu hari dia tidak datang ke masjid dan tidak pula menghampiri rumah saya. Kejadian itu terjadi hingga beberapa hari. Setelah saya mencari informasi dan mendengar bahwa Alm. Deni sedang sakit karena jatuh dari motor. Waktu jatuh tulang ekornya terbentur dan menjadi sebuat permasalahan serius.
Aku sangat kangen pada waktu itu. Aku rindu ngaji bareng dia. Aku selalu menunggu di teras rumah berharap dia menghampiri saya. Namun dia tidak datang. Kemudia aku berangkat mengaji sendiri.
Adzan subuh waktu itu berkumandang. Suara ambulan terdengar oleh para warga. Aku sempat bertanya "apa yang terjadi ibu" ibu menjawab "Deni sudah pulang dibawa ambulan" dengan lega aku senang Deni sudah kembali ke rumah pikirku bisa segera ngaji bersama-sama.
Pagi itu sebelum saya bersiap berangkat sekolah, para warga ramai-ramai mengarah ke utara. Memang rumah Alm. Deni di sebelah utara rumahku sekitar hampir satu kilo jarak rumah kami. Aku kembali bertanya "warga mau kemana bu" ibu sejenak terdiam lalu menjawab "begini le, Deni sudah meninggal" mendengar hal tersebut hatiku merasa tidak karuan. Aku langsung menuju rumah Deni untuk memastikan semua itu tidak benar. Sesampai disana aku melihat kain jarik sudah menutupi Deni. Tetes air mata tak terbendung lagi. Aku sedih dan tidak tau bagaimana menyembunyikan air mata ini. Aku menangis pada waktu itu baru masuk kelas 1 Mts.
Dari situ aku sadar bahwa teman yang baik adalah teman yang selalu mengajak pada kebaikan. Dan aku merasakan bahwa alm. Deni adalah orang yang baik.
Semoga Allah menerima amal dia aaamiiin..
Cerita pada tahun 2009 nan..
Terima kasih banyak ya mas
HapusEndingnya benar benar irit dan tegas mengobarkan keberanian...
BalasHapusTerima kasih atas kunjungannya. Salam.
Hapus