Jumat, 21 Februari 2020

Akhmad Soleh dan Perjuangan Meraih Gelar Doktor


Ngainun Naim
 
Dr. Akhmad Soleh setelah ujian terbuka doktor
Ruang yang dipakai sidang Ujian Terbuka Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu cukup megah. Ini merupakan ruang yang ketika saya ujian doktor belum terlalu lama dipakai. Mungkin baru 1 atau dua tahun. Ruangan sebelumnya yang ada di FISHUM cukup sederhana dan tidak terlalu luas.
Ujian baru saja usai. Saya resmi dikukuhkan sebagai seorang Doktor Studi Islam ke-310. Sungguh, seperti mimpi. Saya tidak pernah memiliki cita-cita menjadi dosen, apalagi menjadi doktor. Apa yang saya alami bertolak belakang dengan resep yang dianjurkan oleh para motivator.
Jamil Azzaini (2009), misalnya, lewat buku yang sangat laris, Menyemai Impian Meraih Sukses Mulia menulis bahwa ia telah memiliki cita-cita untuk menjadi insinyur pertanian/dosen/guru sejak duduk di bangku SD. Setiap buku tulisannya dipenuhi dengan tulisan cita-cita. Hal itu terus berlanjut hingga ia kuliah.
Kini, demikian dituturkan di buku itu, semua yang ia tulis telah tercapai. Tapi bukan berarti ia berhenti. Ia membangun cita-cita baru. Cita-cita yang ia kembangkan dari cita-cita awalnya.
Usai dikukuhkan sebagai doktor, saya dan istri menuju pintu keluar. Saya berdiri dengan perasaan yang sulit untuk diungkapkan. Bahagia, haru, sedih, dan berbagai rasa campur aduk menjadi satu. Saya hari itu dikukuhkan sebagai seorang doktor.
Ya, hari itu adalah hari yang sangat membahagiakan. Hari yang menjadi penanda selesainya studi S-3 yang sangat melelahkan. Biaya, waktu, tenaga, dan rasa harus rela dikorbankan demi selesainya studi.
Saya masuk S-3 tahun 2007 dan selesai tahun 2011. Butuh waktu selama 4 tahun agar saya menyelesaikan studi. Jangka waktu selesainya studi saya sesungguhnya biasa saja. Tidak terlalu cepat, meskipun juga tidak lambat. Soal prestasi juga biasa. Saya memang bukan siswa dengan prestasi akademik yang menonjol semenjak duduk di bangku SD sampai S-3.
Saya ingat persis hari di mana saya dikukuhkan sebagai doktor oleh Prof. Dr. Musa Asy'ari, Rektor UIN Sunan Kalijaga. Ya, hari rabo tanggal 6 Oktober 2011.
Satu persatu teman, kenalan, dan kolega mengucapkan selamat. Saya dan istri mengucapkan terima kasih atas partisipasi mereka. Tiba-tiba seorang kolega mengulurkan tangannya. Tenggorokan saya tercekat. Saya tidak bisa berucap. Saya tidak sempat mengamati beliau sebelumnya karena ada banyak teman yang datang.
Dia adalah teman sekelas waktu kuliah S-3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Namanya Akhmad Soleh. Seperti biasa, beliau diantar istrinya.
"Selamat ya Pak Naim. Doakan saya segera menyusul", kata Pak Soleh.
"Terima kasih Pak Soleh. Semoga segera ujian terbuka", jawab saya.
Pak Soleh dan istri segera berlalu menuju ruang konsumsi. Saya sendiri masih sibuk menyalami tamu, lalu dilanjutkan foto bersama. Saya tidak sempat lagi berbincang dengan beliau.
Pak Soleh adalah seorang tuna netra. Saat kuliah, istri beliau—Tutik Alawiyah—selalu   setia mengantar. Istri beliau pula yang dengan rajin membacakan buku dan mengetikkan makalah. Juga mengetikkan disertasi Pak Soleh. Jika mencermati perjalanan kuliah beliau, sungguh perjuangan yang sangat luar biasa. Saya tidak bisa membayangkan kuatnya mental, semangat juang, dan stabilitas emosi Pak Soleh.
Sesungguhnya tidak ada beda antara beliau dengan kami teman-teman sekelas. Kami semua akrab satu sama lain. Beliau sangat aktif mengikuti perkuliahan. Tape recorder selalu beliau siapkan. Alat tulis khusus juga setia bersama. Menurut penuturan beliau, sore hari digunakan untuk belajar. Tape recorder beliau putar. Sore itu juga beliau meminta istri atau anaknya untuk membacakan buku. Juga mengetikkan makalah atau tugas lainnya.
Begitulah Pak Soleh. Perjuangannya untuk menjadi doktor sangat panjang dan penuh liku. Beliau tidak patah arang. Perjuangannya kemudian membawa hasil yang luar biasa. Tahun 2014 beliau dikukuhkan sebagai doktor difabel pertama yang dihasilkan oleh UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Ada banyak pelajaran hidup yang saya peroleh dari perjalanan hidup Pak Soleh. Pelajaran pertama yang saya peroleh adalah tentang sabar. Ya, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab (2013), kesabaran itu menuntut ketabahan dalam menghadapi sesuatu yang sulit, berat, dan pahit. Semuanya itu harus dihadapi dan ditanggapi dengan penuh tanggung jawab.
Tanggung jawab menjadi kata kunci dalam konteks ini. Banyak orang yang merespon dengan cara-cara yang tidak bertanggungjawab dalam menghadapi persoalan. Respon semacam ini pada hakikatnya tidak mencerminkan ketabahan. Ketabahan dan tanggung jawab merupakan kata yang saling berkaitan.
Pada konteks Pak Soleh, sabar yang beliau jalani sejalan dengan pemaknaan Shihab yang memaknai sabar bukan sebagai “lemah” atau “menerima apa adanya”. Aspek yang lebih substansial adalah perjuangan yang menggambarkan kekuatan jiwa pelakunya sehingga mampu mengalahkan atau mengendalikan keinginan nafsunya. Perjuangan itu terus dijalani sampai batas maksimal kemampuan.
Jadi sabar itu bukan mengendapkan seluruh keinginan sampai terlupakan di alam bawah sadar. Kondisi semacam ini sesungguhnya membawa ekses negatif yang tidak sederhana. Banyak orang yang mengalami persoalan kejiwaan karena seluruh keinginannya dia pendam. Tidak ada ruang ekspresi untuk menyalurkan berbagai keinginan yang ada dalam dirinya. Substansi sabar adalah “..pengendalian keinginan-keinginan yang dapat menjadi hambatan bagi pencapaian sesuatu yang luhur (baik) dan atau mendorong jiwa sehingga pelakunya mencapai cita-cita yang didambakannya”.
Kesabaran dalam makna yang sesungguhnya saya saksikan pada diri Pak Soleh dan istrinya. Sungguh saya kagum luar biasa pada kegigihannya. Keterbatasan fisik tidak membuatnya minder. Beliau tetap maju dengan penuh semangat. Sangat jarang orang memiliki semangat juang yang sedemikian luar biasa sebagaimana Pak Soleh.
Aspek lain yang bisa saya pelajari pada diri Pak Soleh adalah Istiqamah. Ya, kata ini sesungguhnya begitu mudah untuk diucapkan tetapi berat untuk dilaksanakan. Teori dan praktik berjarak jauh. Tantangannya justru pada keinginan untuk menjalankan istiqamah itu sendiri. Namun hal yang menarik adalah istiqamah itu terkait “proses pembelajaran”. Ada tahapan yang berlangsung lama sampai kemudian istiqamah menjadi tradisi hidup.
Kisah Pak Akhmad Soleh dalam meraih gelar doktor merupakan inspirasi yang tiada bertepi. Pak Akhmad Soleh yang memiliki keterbatasan saja bisa meraih gelar doktor, semestinya kita yang mendapat anugerah fisik yang sempurna memanfaatkannya untuk hal-hal yang bernilai positif. Semoga.



Daftar Bacaan
Jamil Azzaini, Menyemai Impian Meraih Sukses Mulia, Jakarta: Gramedia, 2009
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, Hidup Bersama Al-Quran, Bandung: Mizan, 2013.

Ngainun Naim, Dosen IAIN Tulungagung. Aktif dalam kegiatan literasi. Beberapa bukunya yang bertema literasi adalah Proses Kreatif Penulisan Akademik (2017), The Power of Writing (2015), Spirit Literasi: Membaca, Menulis dan Transformasi Diri (2019) dan Literasi dari Brunei Darussalam (2020).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.