Ngainun
Naim
Ruang yang dipakai sidang
Ujian Terbuka Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu cukup megah. Ini
merupakan ruang yang ketika saya ujian doktor belum terlalu lama dipakai.
Mungkin baru 1 atau dua tahun. Ruangan sebelumnya yang ada di FISHUM cukup
sederhana dan tidak terlalu luas.
Ujian baru saja usai.
Saya resmi dikukuhkan sebagai seorang Doktor Studi Islam ke-310. Sungguh, seperti
mimpi. Saya tidak pernah memiliki cita-cita menjadi dosen, apalagi menjadi
doktor. Apa yang saya alami bertolak belakang dengan resep yang dianjurkan oleh
para motivator.
Jamil Azzaini (2009),
misalnya, lewat buku yang sangat laris, Menyemai
Impian Meraih Sukses Mulia menulis bahwa ia telah memiliki cita-cita untuk
menjadi insinyur pertanian/dosen/guru sejak duduk di bangku SD. Setiap buku
tulisannya dipenuhi dengan tulisan cita-cita. Hal itu terus berlanjut hingga ia
kuliah.
Kini, demikian dituturkan
di buku itu, semua yang ia tulis telah tercapai. Tapi bukan berarti ia
berhenti. Ia membangun cita-cita baru. Cita-cita yang ia kembangkan dari
cita-cita awalnya.
Usai dikukuhkan sebagai
doktor, saya dan istri menuju pintu keluar. Saya berdiri dengan perasaan yang
sulit untuk diungkapkan. Bahagia, haru, sedih, dan berbagai rasa campur aduk
menjadi satu. Saya hari itu dikukuhkan sebagai seorang doktor.
Ya, hari itu adalah hari
yang sangat membahagiakan. Hari yang menjadi penanda selesainya studi S-3 yang
sangat melelahkan. Biaya, waktu, tenaga, dan rasa harus rela dikorbankan demi
selesainya studi.
Saya masuk S-3 tahun 2007
dan selesai tahun 2011. Butuh waktu selama 4 tahun agar saya menyelesaikan
studi. Jangka waktu selesainya studi saya sesungguhnya biasa saja. Tidak
terlalu cepat, meskipun juga tidak lambat. Soal prestasi juga biasa. Saya
memang bukan siswa dengan prestasi akademik yang menonjol semenjak duduk di
bangku SD sampai S-3.
Saya ingat persis hari di
mana saya dikukuhkan sebagai doktor oleh Prof. Dr. Musa Asy'ari, Rektor UIN
Sunan Kalijaga. Ya, hari rabo tanggal 6 Oktober 2011.
Satu persatu teman,
kenalan, dan kolega mengucapkan selamat. Saya dan istri mengucapkan terima
kasih atas partisipasi mereka. Tiba-tiba seorang kolega mengulurkan tangannya.
Tenggorokan saya tercekat. Saya tidak bisa berucap. Saya tidak sempat mengamati
beliau sebelumnya karena ada banyak teman yang datang.
Dia adalah teman sekelas waktu
kuliah S-3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Namanya Akhmad Soleh. Seperti
biasa, beliau diantar istrinya.
"Selamat ya Pak
Naim. Doakan saya segera menyusul", kata Pak Soleh.
"Terima kasih Pak
Soleh. Semoga segera ujian terbuka", jawab saya.
Pak Soleh dan istri
segera berlalu menuju ruang konsumsi. Saya sendiri masih sibuk menyalami tamu,
lalu dilanjutkan foto bersama. Saya tidak sempat lagi berbincang dengan beliau.
Pak Soleh adalah seorang
tuna netra. Saat kuliah, istri beliau—Tutik Alawiyah—selalu setia
mengantar. Istri beliau pula yang dengan rajin membacakan buku dan mengetikkan
makalah. Juga mengetikkan disertasi Pak Soleh. Jika mencermati perjalanan
kuliah beliau, sungguh perjuangan yang sangat luar biasa. Saya tidak bisa
membayangkan kuatnya mental, semangat juang, dan stabilitas emosi Pak Soleh.
Sesungguhnya tidak ada
beda antara beliau dengan kami teman-teman sekelas. Kami semua akrab satu sama
lain. Beliau sangat aktif mengikuti perkuliahan. Tape recorder selalu beliau
siapkan. Alat tulis khusus juga setia bersama. Menurut penuturan beliau, sore
hari digunakan untuk belajar. Tape recorder beliau putar. Sore itu juga beliau
meminta istri atau anaknya untuk membacakan buku. Juga mengetikkan makalah atau
tugas lainnya.
Begitulah Pak Soleh.
Perjuangannya untuk menjadi doktor sangat panjang dan penuh liku. Beliau tidak
patah arang. Perjuangannya kemudian membawa hasil yang luar biasa. Tahun 2014 beliau
dikukuhkan sebagai doktor difabel pertama yang dihasilkan oleh UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Ada banyak pelajaran
hidup yang saya peroleh dari perjalanan hidup Pak Soleh. Pelajaran pertama yang
saya peroleh adalah tentang sabar. Ya, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. M.
Quraish Shihab (2013), kesabaran itu menuntut ketabahan dalam menghadapi
sesuatu yang sulit, berat, dan pahit. Semuanya itu harus dihadapi dan
ditanggapi dengan penuh tanggung jawab.
Tanggung jawab menjadi
kata kunci dalam konteks ini. Banyak orang yang merespon dengan cara-cara yang
tidak bertanggungjawab dalam menghadapi persoalan. Respon semacam ini pada
hakikatnya tidak mencerminkan ketabahan. Ketabahan dan tanggung jawab merupakan
kata yang saling berkaitan.
Pada konteks Pak Soleh,
sabar yang beliau jalani sejalan dengan pemaknaan Shihab yang memaknai sabar
bukan sebagai “lemah” atau “menerima apa adanya”. Aspek yang lebih substansial
adalah perjuangan yang menggambarkan kekuatan jiwa pelakunya sehingga mampu
mengalahkan atau mengendalikan keinginan nafsunya. Perjuangan itu terus
dijalani sampai batas maksimal kemampuan.
Jadi sabar itu bukan
mengendapkan seluruh keinginan sampai terlupakan di alam bawah sadar. Kondisi
semacam ini sesungguhnya membawa ekses negatif yang tidak sederhana. Banyak
orang yang mengalami persoalan kejiwaan karena seluruh keinginannya dia pendam.
Tidak ada ruang ekspresi untuk menyalurkan berbagai keinginan yang ada dalam
dirinya. Substansi sabar adalah “..pengendalian keinginan-keinginan yang dapat
menjadi hambatan bagi pencapaian sesuatu yang luhur (baik) dan atau mendorong
jiwa sehingga pelakunya mencapai cita-cita yang didambakannya”.
Kesabaran dalam makna
yang sesungguhnya saya saksikan pada diri Pak Soleh dan istrinya. Sungguh saya
kagum luar biasa pada kegigihannya. Keterbatasan fisik tidak membuatnya minder.
Beliau tetap maju dengan penuh semangat. Sangat jarang orang memiliki semangat
juang yang sedemikian luar biasa sebagaimana Pak Soleh.
Aspek lain yang bisa saya
pelajari pada diri Pak Soleh adalah Istiqamah. Ya, kata ini sesungguhnya begitu
mudah untuk diucapkan tetapi berat untuk dilaksanakan. Teori dan praktik
berjarak jauh. Tantangannya justru pada keinginan untuk menjalankan istiqamah
itu sendiri. Namun hal yang menarik adalah istiqamah itu terkait “proses
pembelajaran”. Ada tahapan yang berlangsung lama sampai kemudian istiqamah
menjadi tradisi hidup.
Kisah Pak Akhmad Soleh
dalam meraih gelar doktor merupakan inspirasi yang tiada bertepi. Pak Akhmad
Soleh yang memiliki keterbatasan saja bisa meraih gelar doktor, semestinya kita
yang mendapat anugerah fisik yang sempurna memanfaatkannya untuk hal-hal yang
bernilai positif. Semoga.
Daftar
Bacaan
Jamil Azzaini, Menyemai Impian Meraih Sukses Mulia, Jakarta: Gramedia, 2009
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, Hidup Bersama Al-Quran, Bandung: Mizan, 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.