Ngainun
Naim
Jarum jam sudah
menunjukkan pukul 15.30 pada hari Jumat, 20 September 2019. Saya harus
mengakhiri sesi diskusi Karya Tulis Ilmiah dengan mahasiswa Bahasa Arab IAIN
Bengkulu. Saya belum check out dari
Hotel Syariah Qierin Bengkulu yang menjadi tempat saya menginap. Pesawat yang akan
mengantarkan saya pulang terbang pukul 17.40.
Waktu sangat terbatas. Mas
Azizi yang mengantarkan saya mengajak ke rumah pengasingan Presiden Sukarno.
“Jadi hanya satu tempat
ya Pak yang kita kunjungi?”
“Iya mas. Waktunya mepet.
Yang penting ada yang bisa saya kunjungi”, jawab saya.
Mobil yang dikemudikan
oleh Mas Azizi meluncur dengan tenang di jalanan Kota Bengkulu yang tenang. Bengkulu
memang belum seramai kota-kota di Jawa Timur semacam Surabaya dan Malang.
Mas Azizi adalah dosen
PNS IAIN Bengkulu. Sebelumnya selama sekitar 2 tahun menjadi Dosen Tetap Bukan
PNS IAIN Curup. Beberapa tahun lalu saya bertemu dengan beliau saat saya
mengisi acara di STAIN Curup. Kehadiran saya ke Bengkulu juga atas undangan Mas
Azizi sebagai panitia.
Tidak butuh waktu lama.
Sekitar 30 menit sudah sampai. Mobil kemudian parkir bersama beberapa mobil dan
juga bus. Rupanya tempat yang kami tuju ini menjadi destinasi utama wisatawan
yang ke Bengkulu.
Mas Azizi mengajak saya
memasuki lokasi. Beliau membayar tiket. Saya tidak tahu persis berapa harus
membayar. Dari kejauhan secara samar saya lihat tiga ribu rupiah atau lima ribu
rupiah. Saya tidak tahu pasti.
Saya segera berfoto di
depan tulisan besar di dekat pintu masuk. Di situ tertulis “RUMAH KEDIAMAN BUNG
KARNO DI PENGASINGAN DI BENGKULU 1938-1942”. Sebuah tugu menandai identitas
lokasi tersebut.
Usai berfoto, kami berdua
berjalan menuju rumah pengasingan. Beberapa orang terlihat ada di teras rumah
dan di sekitar rumah. Saya lihat ada papan putih bertulis “Cagar Budaya Rumah
Pengasingan Bung Karno”. Saya mendekat dan ingin berfoto dengan latar belakang
papan tersebut, tetapi di bawahnya ada orang yang bersandar pada besi samping
papan. Saya tunggu ternyata mereka tidak beranjak juga. Tidak ada pilihan lagi.
Saya selfie dengan jarak agak jauh. Lumayan sebagai bukti bahwa saya pernah
mengunjungi lokasi tersebut.
Saya bergerak pada sisi
yang berbeda dari depan rumah. Saya lihat rumah itu sungguh luas. Pemandangannya
sangat indah. Asri. Sejuk. Saya pun mengambil gambar dari sisi ini. Baru
setelah itu saya masuk ke rumah.
Setiap melihat dan
memasuki rumah kuno, ada perasaan tertentu yang hinggap. Entahlah, rasanya
sulit mengungkapkan. Ada kenangan. Ada imajinasi. Ada bayangan tentang masa
lalu. Dan berbagai hal lainnya. Semuanya campur aduk menjadi satu.
Saya baca di kaca teras
rumah tentang larangan. DILARANG MAKAN DI DALAM RUANG RUMAH PENGASINGAN BUNG
KARNO. DILARANG MINUM DI DALAM RUANG RUMAH PENGASINGAN BUNG KARNO. DILARANG
MEROKOK DI DALAM RUANG RUMAH PENGASINGAN BUNG KARNO.
Saya amati bagian demi
bagian dari teras rumah. Baru setelah itu masuk ke ruang tamu. Ada tulisan
dibingkai dalam kaca yang berisi sejarah rumah pengasingan tersebut. Tulisan
yang bisa memberikan informasi tentang apa, mengapa, bagaimana, dan
informasi-informasi penting lainnya terkait rumah tersebut. Juga sebuah
informasi tentang ramalan Bung Karno yang kemudian terbukti pada waktu
selanjutnya.
Ruang demi ruang saya
masuki. Di salah satu ruang saya melihat sepeda dalam kaca. Sepeda kuno. Sepeda
yang mengingatkan saya pada sepeda milik bapak saya. Kendaraan yang dalam
imajinasi saya dulu dipakai oleh Bung Karno untuk beraktivitas.
Di tengah ruang tamu ada
meja 4 kursi dan 1 meja. Sebuah perangkat yang saya bayangkan dulu diduduki
oleh Bung Karno saat menerima tamu. Diskusi dan membincang tentang nasib
bangsa.
Apa saja pakaian yang
dikenakan oleh Bung Karno? Baju dalam lemari memberikan informasi tentang baju
apa saja yang dimiliki dan dikenakan oleh Bung Karno. Baju-baju yang tertata
rapi menunjukkan bagaimana Bung Karno adalah seorang yang memperhatian fashion.
Di ruang belakang rumah
ada patung Bung Karno sedang mengendarai sepeda. Mirip patung Pak Jokowi di
berbagai bandara. Sayang, kita dilarang berfoto dengan naik sepeda tersebut.
Pilihan terbaiknya adalah foto berdiri di samping patung tersebut. Semoga
energi Bung Karno bisa menginspirasi saya dalam hidup.
Saya kemudian masuk
kembali ke dalam rumah. Masuk ke ruang yang belum saya masuki. Ada kamar tidur.
Ada informasi dalam bingkai tentang Inggrit Garnasih yang baik hati, tabah, dan
juga keras hati. Informasi singkat tersebut memberikan saya pengetahuan yang
sangat berharga. Di sampingnya ada lukisan Ibu Fatmawati. Ibu negara yang
berjasa besar bagi bangsa ini. Namanya diabadikan menjadi nama Bandara.
Satu ruangan lagi yang
saya masuki. Ruangan perpustakaan. Satu lemari penuh berisi buku-buku milik
Bung Karno. Bung Karno adalah pecinta buku dan pembaca yang serius. Wajar jika
pengetahuannya sangat luas. Hal itu yang kemudian membentuk beliau sebagai pemimpin
kharismatis dan memiliki jejak sejarah yang tidak bisa kita lupakan.
Hari semakin sore. Waktu
semakin mepet. Sesungguhnya saya belum terlalu puas, tetapi saya harus segera
ke Bandara Fatmawati. Saya harus melanjutkan perjalanan. Saya bahagia sekali karena
pernah mengunjungi tempat tersebut.
Trenggalek, 30 September 2019
Pengalaman yang menarik pak.
BalasHapusTerima kasih Mas
Hapus