Rabu, 30 Oktober 2019

Mengunjungi Rumah Pengasingan Bung Karno di Bengkulu


Ngainun Naim


Jarum jam sudah menunjukkan pukul 15.30 pada hari Jumat, 20 September 2019. Saya harus mengakhiri sesi diskusi Karya Tulis Ilmiah dengan mahasiswa Bahasa Arab IAIN Bengkulu. Saya belum check out dari Hotel Syariah Qierin Bengkulu yang menjadi tempat saya menginap. Pesawat yang akan mengantarkan saya pulang terbang pukul 17.40.
Waktu sangat terbatas. Mas Azizi yang mengantarkan saya mengajak ke rumah pengasingan Presiden Sukarno.

“Jadi hanya satu tempat ya Pak yang kita kunjungi?”
“Iya mas. Waktunya mepet. Yang penting ada yang bisa saya kunjungi”, jawab saya.
Mobil yang dikemudikan oleh Mas Azizi meluncur dengan tenang di jalanan Kota Bengkulu yang tenang. Bengkulu memang belum seramai kota-kota di Jawa Timur semacam Surabaya dan Malang.

Mas Azizi adalah dosen PNS IAIN Bengkulu. Sebelumnya selama sekitar 2 tahun menjadi Dosen Tetap Bukan PNS IAIN Curup. Beberapa tahun lalu saya bertemu dengan beliau saat saya mengisi acara di STAIN Curup. Kehadiran saya ke Bengkulu juga atas undangan Mas Azizi sebagai panitia.
Tidak butuh waktu lama. Sekitar 30 menit sudah sampai. Mobil kemudian parkir bersama beberapa mobil dan juga bus. Rupanya tempat yang kami tuju ini menjadi destinasi utama wisatawan yang ke Bengkulu.

Mas Azizi mengajak saya memasuki lokasi. Beliau membayar tiket. Saya tidak tahu persis berapa harus membayar. Dari kejauhan secara samar saya lihat tiga ribu rupiah atau lima ribu rupiah. Saya tidak tahu pasti.
Saya segera berfoto di depan tulisan besar di dekat pintu masuk. Di situ tertulis “RUMAH KEDIAMAN BUNG KARNO DI PENGASINGAN DI BENGKULU 1938-1942”. Sebuah tugu menandai identitas lokasi tersebut.

Usai berfoto, kami berdua berjalan menuju rumah pengasingan. Beberapa orang terlihat ada di teras rumah dan di sekitar rumah. Saya lihat ada papan putih bertulis “Cagar Budaya Rumah Pengasingan Bung Karno”. Saya mendekat dan ingin berfoto dengan latar belakang papan tersebut, tetapi di bawahnya ada orang yang bersandar pada besi samping papan. Saya tunggu ternyata mereka tidak beranjak juga. Tidak ada pilihan lagi. Saya selfie dengan jarak agak jauh. Lumayan sebagai bukti bahwa saya pernah mengunjungi lokasi tersebut.
Saya bergerak pada sisi yang berbeda dari depan rumah. Saya lihat rumah itu sungguh luas. Pemandangannya sangat indah. Asri. Sejuk. Saya pun mengambil gambar dari sisi ini. Baru setelah itu saya masuk ke rumah.

Setiap melihat dan memasuki rumah kuno, ada perasaan tertentu yang hinggap. Entahlah, rasanya sulit mengungkapkan. Ada kenangan. Ada imajinasi. Ada bayangan tentang masa lalu. Dan berbagai hal lainnya. Semuanya campur aduk menjadi satu.
Saya baca di kaca teras rumah tentang larangan. DILARANG MAKAN DI DALAM RUANG RUMAH PENGASINGAN BUNG KARNO. DILARANG MINUM DI DALAM RUANG RUMAH PENGASINGAN BUNG KARNO. DILARANG MEROKOK DI DALAM RUANG RUMAH PENGASINGAN BUNG KARNO.

Saya amati bagian demi bagian dari teras rumah. Baru setelah itu masuk ke ruang tamu. Ada tulisan dibingkai dalam kaca yang berisi sejarah rumah pengasingan tersebut. Tulisan yang bisa memberikan informasi tentang apa, mengapa, bagaimana, dan informasi-informasi penting lainnya terkait rumah tersebut. Juga sebuah informasi tentang ramalan Bung Karno yang kemudian terbukti pada waktu selanjutnya.
Ruang demi ruang saya masuki. Di salah satu ruang saya melihat sepeda dalam kaca. Sepeda kuno. Sepeda yang mengingatkan saya pada sepeda milik bapak saya. Kendaraan yang dalam imajinasi saya dulu dipakai oleh Bung Karno untuk beraktivitas. 

Di tengah ruang tamu ada meja 4 kursi dan 1 meja. Sebuah perangkat yang saya bayangkan dulu diduduki oleh Bung Karno saat menerima tamu. Diskusi dan membincang tentang nasib bangsa.
Apa saja pakaian yang dikenakan oleh Bung Karno? Baju dalam lemari memberikan informasi tentang baju apa saja yang dimiliki dan dikenakan oleh Bung Karno. Baju-baju yang tertata rapi menunjukkan bagaimana Bung Karno adalah seorang yang memperhatian fashion.
Di ruang belakang rumah ada patung Bung Karno sedang mengendarai sepeda. Mirip patung Pak Jokowi di berbagai bandara. Sayang, kita dilarang berfoto dengan naik sepeda tersebut. Pilihan terbaiknya adalah foto berdiri di samping patung tersebut. Semoga energi Bung Karno bisa menginspirasi saya dalam hidup.

Saya kemudian masuk kembali ke dalam rumah. Masuk ke ruang yang belum saya masuki. Ada kamar tidur. Ada informasi dalam bingkai tentang Inggrit Garnasih yang baik hati, tabah, dan juga keras hati. Informasi singkat tersebut memberikan saya pengetahuan yang sangat berharga. Di sampingnya ada lukisan Ibu Fatmawati. Ibu negara yang berjasa besar bagi bangsa ini. Namanya diabadikan menjadi nama Bandara.
Satu ruangan lagi yang saya masuki. Ruangan perpustakaan. Satu lemari penuh berisi buku-buku milik Bung Karno. Bung Karno adalah pecinta buku dan pembaca yang serius. Wajar jika pengetahuannya sangat luas. Hal itu yang kemudian membentuk beliau sebagai pemimpin kharismatis dan memiliki jejak sejarah yang tidak bisa kita lupakan.

Hari semakin sore. Waktu semakin mepet. Sesungguhnya saya belum terlalu puas, tetapi saya harus segera ke Bandara Fatmawati. Saya harus melanjutkan perjalanan. Saya bahagia sekali karena pernah mengunjungi tempat tersebut.

Trenggalek, 30 September 2019

2 komentar:

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.