Ngainun Naim
Tugas mengisi
acara di Fakultas Dakwah UIN Ar-Raniry Banda Aceh usai sudah. Saya kembali ke
hotel untuk istirahat. Tubuh terasa lelah setelah perjalanan panjang darat dari
Tulungagung—Surabaya, lalu dilanjutkan dengan penerbangan dari Surabaya ke
Banda Aceh transit Medan. Mengisi acara seharian juga lumayan melelahkan.
“Kita keluar
jam 7 malam ya mas”, kata Syahril, Ketua Panitia acara via WA.
“Ok mas”,
jawabku.
Ada waktu
beberapa jam untuk istirahat sambil menunggu Mas Syahril datang.
Ini merupakan
kedatanganku yang ketiga kali ke Banda Aceh. Kedatangan pertama tahun 2017.
Saat itu aku datang mewakili Jurnal Episteme yang diundang oleh Subdit
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Kementerian Agama untuk hadir dalam acara
koordinasi nasional jurnal terakreditasi. Kedua kali aku datang ke IAIN Langsa Aceh
sebagai pembicara sebuah acara. Dan kedatanganku pada 22-23 November 2018 ke
Banda Aceh juga dalam rangka berbicara tentang dunia menulis.
Tepat pukul
19.00 Mas Syahril kirim WA. Ia sudah sampai di lobi hotel. Saya pun segera
keluar kamar menuju lobi.
“Malam ini
kita akan menikmati mie khas Aceh, Mas”, katanya.
Saya segera
mengikuti langkahnya menuju parkir mobil. Malam itu, Mas Syahril mengajak saya
menjelajahi jalanan Kota Banda Aceh yang pernah diterjang Tsunami hebat. Sambil
menyetir, dia bercerita bagaimana dia bersama keluarga berjuang menyelamatkan
diri dari bencana Tsunami. Sepanjang perjalanan, cerita demi cerita dituturkan
dengan datar. Ada nada kepedihan, namun juga selalu memantik optimisme.
Sebuah warung
yang tidak besar tampak penuh sesak oleh pengunjung. Warung itu cukup
legendaris. Namanya Mie Razali. Mas Syahrul segera saja masuk. Rupanya seorang
temannya sudah memesan meja khusus untuk kita bertiga sehingga kami tinggal
menuju meja yang telah dipesan. Teman Mas Syahril sudah menunggu di kursi yang
dipesan.
Warung Mie Razali |
“Presiden
Jokowi pernah makan di warung ini Mas”, kata Mas Syahrul.
Seorang
pelayan segera mendekat dengan membawa daftar menu. Saya memesan mie yang
menjadi khas warung itu dan jus jambu. Memang, selain kopi, saya suka dengan
jus.
Pelayanan di
warung ini cukup cepat. Tidak sampai sepuluh menit pesanan sudah sampai.
Sepiring penuh mie dan segelas jus sudah siap untuk dinimati.
Mie dengan porsi jumbo |
Saya
membayangkan sulit rasanya menghabiskan mie dengan volume yang sedemikian
jumbo. Tetapi ternyata dugaan saya salah. Pelan tetapi pasti mie yang
sedemikian banyak masuk ke pusaran perut. Sungguh, rasa nikmat membuat saya
terus saja menyantap sendok demi sendok sampai tandas tak tersisa. Ya, Mie
Razali yang legendaris itu memang sangat lezat.
Mie sesungguhnya cukup sering saya konsumsi, khususnya ketika dulu kos. Bagi anak kos, mie adalah menu penyelamat untuk mempanjang hidup. Rasa bukan lagi ukuran karena yang penting perut ada isinya. Rasa mie itu tentu saja ya hanya begitu-begitu saja. Tetapi Mie Razali berbeda. Rasanya sungguh sangat lezat.
Tulungagung, 28 Nopember 2018
Mie sesungguhnya cukup sering saya konsumsi, khususnya ketika dulu kos. Bagi anak kos, mie adalah menu penyelamat untuk mempanjang hidup. Rasa bukan lagi ukuran karena yang penting perut ada isinya. Rasa mie itu tentu saja ya hanya begitu-begitu saja. Tetapi Mie Razali berbeda. Rasanya sungguh sangat lezat.
Tulungagung, 28 Nopember 2018
Luar biasa
BalasHapusTerima kasih.
Hapus