Oleh Ngainun Naim
Hari sabtu sebenarnya hari libur kantor, tetapi
hari ini saya harus ke kantor. Penyebabnya karena saya ingin bertemu,
berdiskusi, dan mengambil ilmu dari seorang ilmuwan muda Yogyakarta yang ahli
hermeneutika, Dr. Sahiron Syamsuddin, M.A. Hari ini beliau mengajar matakuliah
Linguistik Al-Qur’an di Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) Program
Pascasarjana IAIN Tulungagung.
Pak Sahiron—demikian saya memanggil beliau—sudah
saya kenal sejak saya kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saya
mengenalnya, walaupun beliau tidak mengenal saya. ”Saya kayaknya pernah lihat
dan akrab dengan wajah sampean”, katanya saat saya bertemu di kantor PPs IAIN
Tulungagung. Saya pun mengiyakan karena pernah beberapa kali bertemu beliau di
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Doktor yang menyelesaikan Master di Kanada dan
Doktor di Jerman ini merupakan ilmuwan tangguh. Beliau bukan hanya ilmuwan
lokal, tetapi internasional. Berbagai forum internasional telah beliau ikuti.
Buku-buku dan berbagai tulisan karyanya juga bertebaran. Penelitian di luar
negeri juga sangat sering beliau lakukan. Sebelum sempat datang ke Tulungagung,
beliau baru saja melakukan penelitian di Jerman dan Belanda.
Namun demikian, Pak Sahiron adalah ilmuwan yang
santun. Beliaunya santai dan tidak birokratis. Dengan santai, saya—bersama
beberapa teman—menemani beliau berbincang sebelum mengajar. Dari perbincangan
singkat tersebut, saya menemukan seolah kami tidak berjarak. ”Santai saja, gak
usah repot-repot”, kata beliau.
Begitulah,
ilmuwan besar sekelas beliau ternyata sangat santun. Justru sikap semacam ini
yang semakin menguatkan karakter beliau. Ilmuwan besar yang rendah hati justru
semakin terhormat. Sebaliknya, jika seorang ilmuwan sulit ditemui, birokratis,
dan hal-hal yang membuat orang lain mengeluh justru tidak akan meningkatkan
kewibawaannya. Hari ini, dari Pak Sahiron, saya mendapatkan hikmah yang luar
biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.