Oleh Ngainun Naim
Sebuah undangan masuk ke dinding facebook saya. Di bagian
awal undangan terdapat sebuah kalimat menarik. ”Tidak semua kopi bermutu
tinggi. Hanya kopi dan buku yang sarat dengan ilmu”. Kata pembuka ini menurut
saya, cukup menarik dan berenergi.
Halaman depan Kedai Sinau |
Memadukan antara kopi dengan buku sebenarnya bukan hal
istimewa. Walaupun bukan peminum berat kopi, tetapi nyaris setiap hari saya
mengonsumsi kopi. Rasanya enak dan memberi sensasi tersendiri. Kopi biasanya
menemani saya saat membaca dan menulis.
Tetapi memadukan antara warung kopi dan dunia buku jelas
merupakan hal menarik. Rasanya nggak nyambung. Warung kopi merupakan tempat
orang mencari kenikmatan, santai, dan melepas kepenatan. Sementara membaca buku
biasanya dimaknai sebagai aktivitas yang serius. Justru karena memadukan dua
hal yang seolah tidak nyambung inilah maka kehadiran KEDAI SINAU yang beralamat
di Jalan Brigjend Soetran No. 11 Trenggalek ini menjadi menarik.
Pamflet Seminar di Kedai Sinau |
Selain mendapatkan undangan via facebook, seorang teman
pegiat literasi Trenggalek, Nurani Soyomukti, juga memberikan informasi
sekaligus memberitahukan agar saya datang. Saya pun menjawab, ”Insyaallah”.
Tahun baru 2014 ditandai dengan hujan sejak pagi hari.
Undangan acara memang tanggal 1 Januari dengan rangkaian acara pada siang hari
”Khataman Al-Qur’an” dan malam harinya launching
Kedai Sinau. Pagi hari tidak mungkin saya datang karena jalan-jalan menikmati
tahun baru bersama dengan anak istri. Baru setelah jam 16.00 saya sampai ke
Kedai Sinau.
Saat saya datang, teman-teman dan tamu undangan sedang
membaca beberapa surat pendek juz 30. Saya pun langsung bergabung dengan
mereka. Setelah doa, semua yang hadir diajak makan nasi lodho. Rasanya nikmat
sekali. Apalagi kemudian kami disuguhi minuman khas Kedai Sinau, yaitu Jahe
plus Tape. Mereka menamakannya ”Wedang Cor”. Rasanya mirip Saraba, minuman khas
Makasar.
Wedang Cor, minuman kas Kedai Sinau |
Saya berbincang santai dengan Nurani Soyomukti tentang
berbagai hal: dunia menulis, membaca, sosial, politik, sastra, dan macam-macam.
Perbincangan berlangsung seru sampai kemudian ada informasi kalau sastrawan
terkenal asal Ngawi, Kusprihyanto Namma akan berkunjung ke tempat tersebut.
Waduh, ini merupakan kesempatan yang sangat berharga. Saya pernah mendengar
nama sastrawan ini tahun 1994-an saat saya masih duduk di bangku kuliah S1.
Sore ini, saya berhasil bertemu langsung dengan beliau. Ternyata, mertua beliau
berasal dari Trenggalek, tepatnya Kecamatan Munjungan. Beliau datang bersama
keluarga.
Dari kiri ke kanan: Saya, Nurani Soyomukti, Istri Kusprihyanto Namma, Kusprihyanto Namma, dan Ali |
Kehadiran Kedai Sinau sangat penting artinya untuk
menumbuhkan tradisi membaca di Trenggalek. Saya berharap, akan terjadi
transformasi—betapa pun kecilnya—seiring kehadiran Kedai Sinau. Semoga.
Trenggalek, 1 Januari 2013
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.