Oleh Ngainun Naim
Tahun baru adalah
momentum membangun harapan. Harapan agar kehidupan di tahun ini lebih baik
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Harapan agar berbagai hal yang kurang sesuai harapan agar tidak terulang
kembali.
Harapan sesungguhnya menjadi penanda kedinamisan hidup. Kita bisa menjalani
hidup secara baik dan penuh semangat karena memiliki harapan. Jika tidak ada
harapan, maka hidup ini menjadi tidak ada artinya lagi. Semuanya terasa hambar
dan tidak ada makna.
Sebagai seorang pengajar, saya memiliki harapan agar anak didik saya
sukses. Saya akan merasakan kebahagiaan saat melihat mereka sukses studi,
sukses menapaki kehidupan setelah studi, dan sukses dalam kariernya. Bahkan
saya akan sangat berbahagia manakala kesuksesan mereka sangat hebat dan jauh
melampaui apa yang sekarang ini saya capai. Karena harapan inilah, saya
berusaha untuk memberikan yang terbaik sesuai dengan kemampuan saya.
Seorang teman menulis di wall FB-nya tentang resolusi di tahun 2014 ini.
Kira-kira begini bunyinya, ”Resolusi hidup di tahun 2014: membeli mobil baru,
daftar haji, dan memiliki rumah yang mandiri dari mertua”. Resolusi hidup teman
ini, tentu menarik. Itu merupakan harapan mulia. Saya turut mendoakan agar
doanya terkabul.
Saya sendiri juga memiliki mimpi di tahun baru ini. Tetapi tidak sehebat
dan sebesar resolusi teman tersebut. Salah satu revolusi yang saya buat—mohon
maaf jika ini tidak istimewa—saya ingin menulis artikel ringan untuk blog,
seperti jenis tulisan ini, sebanyak jumlah hari dalam setahun. Artinya, saya
ingin menulis 365 judul artikel dalam setahun. Tidak harus setiap hari
membuatnya atau menayangkannya di internet karena kondisi kadang memang tidak
memungkinkan. Tetapi saat tidak bisa, saya akan menggantinya di waktu yang
lain.
Itu salah satu resolusi sederhana dalam hidup saya di tahun 2014. Tentu ada
juga yang lainnya. Tetapi hal yang jauh lebih prinsip kemudian adalah bagaimana
saya memperjuangkan mimpi itu. Mimpi itu penting, tetapi jika dibiarkan dan
tidak diwujudkan menjadi tidak ada artinya.
Berkaitan dengan mimpi ini, saya teringat sebuah buku kecil yang cukup
menggelitik. Penulisnya adalah Ahimsa Riyadi. Adapun judul bukunya Quranic Quotient for a Lasting Success,
Panduan Menggunakan Kecerdasan Al-Quran untuk Kesuksesan Dunia Akhirat (Jakarta:
Pustaka IMaN, 2005). Di ditulis di buku tersebut bahwa mimpi merupakan
pesan-pesan simbolis yang datang dari pengetahuan yang tersembunyi dalam inti
eksistensi. Tidak semua mimpi merupakan ”mimpi yang benar”; kebanyakan mimpi
terjadi karena kebutuhan diri yang rendah, atau karena pikiran yang
menggerakkan berbagai kejadian.
Lebih jauh Ahimsa Riyadi menulis bahwa yang jauh lebih penting adalah mimpi
saat kita terjaga. Mimpi semacam itu adalah benih yang telah kita taburkan di
atas lahan yang kita miliki. Tugas kita selanjutnya adalah menjaga agar benih
itu tetap hidup, memberinya pupuk yang menyegarkan dan mengoptimalkan
pertumbuhannya, menyiraminya dengan air setiap saat ia memerlukan, menyianginya
dari rumput-rumput liar yang akan mengganggu pertumbuhannya, lalu kelak ketika
memetik dan memanennya kita mendapatkan
hasil yang memuaskan. Mungkin kita sendirian yang memetiknya, tapi mungkin juga
beramai-ramai bersama anak-anak, istri, saudara, tetangga, kerabat, dan
orang-orang yang di dekat kita sehingga akhirnya benih yang telah kita tanam
memberikan manfaat berlimpah. Tidak hanya buat kita, tetapi juga buat banyak
orang (hlm. 55-56).
Mimpi, sebagaimana ditulis Ahimsa Riyadi, memang penting. Walaupun ada juga
orang sukses yang—katanya—tidak punya mimpi. Tetapi sesungguhnya ia
memilikinya, namun ia tidak menyebutnya sebagai mimpi. Karena itulah, marilah
kita membangun mimpi yang baik agar di tahun 2014 ini kehidupan kita menjadi
lebih baik, lebih berkah, dan memberikan kemanfaatan buat diri, keluarga, dan
sesama. Semoga.
Trenggalek, 1 Januari 2014
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.