Oleh Ngainun Naim
Sejak senin malam lalu aku berada di Jakarta. Aku hadir
sebagai peserta sebuah konferensi internasional yang diadakan di Hotel
Shangrila. Bagiku, ini merupakan kesempatan berharga untuk belajar, menimba
ilmu, dan berkenalan dengan kolega-kolega baru.
Ada sangat banyak pengetahuan dan hal baru yang aku
peroleh. Pengetahuan semacam ini jelas tidak aku peroleh dari tempat aku
bekerja sehari-hari. Keluar dari rutinitas kerja seperti yang sekarang ini aku
alami memberiku secercah kesempatan untuk menyerap energi baru, termasuk dalam
menulis catatan-catatan reflektif.
Beberapa orang menjadi teman baru. Di kesempatan ini pula
aku (kembali) bertemu dengan seorang kenalan lama. Ini merupakan
pertemuan—kalau tidak salah—yang keempat kalinya dengan sahabat tersebut.
Pertama kali bertemu dengannya di sebuah acara di Bogor beberapa tahun lalu.
Kesempatan pertemuan berikutnya adalah saat ia datang ke kampus tempatku
bekerja dalam sebuah acara bedah buku. Kebetulan, ia merupakan seorang penulis
buku yang produktif. Kesempatan berikutnya adalah dalam acara yang sayannya aku
tidak seberapa ingat. Dan di Jakarta ini kami kembali bertemu.
Tentu saja, ini merupakan sebuah pertemuan yang
menggembirakan. Selama ini, kami aktif berkomunikasi, khususnya melalui HP. Ia
pernah memintaku menulis artikel untuk jurnal yang dikelolanya. Adiknya yang
bungsu juga kuliah di tempatku. Jadi memang ada keakraban di antara kami.
Tetapi baru pada kesempatan ini aku mendapatkan banyak pelajaran darinya.
Pelajaran itu adalah tentang religiusitasnya.
Awalnya siang kemarin pada saat istirahat siang ia
mengajak ke kamarku untuk istirahat sebelum masuk ke sesi berikutnya. Dengan
senang hati aku menyambut ajakannya. Di kamar, setelah berbincang, dia mengajak
shalat berjamaah. Aku pun menyambut ajakannya. Kesempatan berjamaah bersama ini
belum memberiku kesan mendalam. Aku pikir aku juga sering melakukannya, baik di
rumah maupun di kantor.
Tadi pagi, aku menelponnya untuk mengajak sarapan. Aku
terkejut dengan jawabannya. ”Maaf mas, aku puasa”. Aku tertegun dengan
jawabannya, lalu meminta maaf. Aku pun berangkat sarapan seorang diri.
Siang harinya, saat istirahat, kembali ia mengajakku
shalat berjamaah. Pada kesempatan inilah aku menemukan banyak pelajaran
berharga. Entah sengaja atau tidak, ia bercerita bahwa salah satu kebiasaan
yang ia jaga adalah shalat berjamaah. Ia selalu berusaha menjalankannya
semaksimal mungkin.
Tidak hanya itu. Ia juga memiliki kebiasaan shalat
tahajud selama bertahun-tahun. ”Besok pagi jam 3 kita keluar bersama ke masjid
itu mas”, ajaknya dengan menunjuk masjid yang berdiri megah di samping Hotel
Shangrilla. Aku tersenyum dan tidak mengiyakan. Jam 3 merupakan jam yang berat
bagiku untuk bangun, apalagi harus keluar hotel untuk shalat. Berat sekali
rasanya. Aku sendiri sesungguhnya meyakini sepenuhnya bahwa shalat tahajud memiliki
banyak manfaat dalam kehidupan ini. Tetapi jujur harus aku akui bahwa aku belum
mampu menjalankannya setiap hari. Hanya saat-saat tertentu saja aku mampu
menjalankannya. Ajakannya membuatku malu.
Ya, di Jakarta selama beberapa hari ini aku telah mendapatkan
pelajaran berharga dari seorang teman yang religius. Aku masih jauh dari kata
religius. Hanya muncul tekad dalam diriku untuk selalu memperbaiki diri ini.
Semoga berhasil.
Jakarta, 5 Desember 2013
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.