Judul : The Power of Reading, Menggali Kekuatan Membaca untuk Melejitkan
Potensi Diri
Penulis : Ngainun Naim
Penerbit : Aura Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, April 2013
Tebal : xvi+199 hlm
ISBN :978-602-9969-42-9
Peresensi: Saiful Mustofa, Alumni STAIN Tulungagung. Aktif bergiat di Pusat Kajian Filsafat dan Teologi (PKFT) Tulungagung.
“A good leader is a reader, seorang pemimpin yang baik adalah seorang pembaca,”
demikian kata-kata bijak yang sering dikutip oleh banyak orang. Dengan kata lain, indikator
seorang pemimpin yang ideal ternyata juga berdasarkan pada sejauhmana
kebiasaannya membaca. Memang sudah tak diragukan lagi bahwa kegiatan membaca
adalah salah satu cara untuk meningkatkan kecerdasan dan kualitas hidup
manusia. Sebab membaca, dalam pengertian umumnya adalah upaya untuk mengakses
informasi, memperdalam pengetahuan, pandangan dan bahkan untuk mencari hiburan
yang murah.
Dengan membaca orang akan lebih kritis dalam menyikapi suatu permasalahan yang
sedang dihadapi. Sebaliknya, orang yang jarang atau tidak pernah membaca akan
cenderung bersikap konservatif dan memandang segala sesuatu dari satu sudut
saja.
Kita ambil contoh di dunia pendidikan. Guru yang gemar membaca, tipikal
mengajarnya akan berbeda dengan guru yang jarang atau mungkin tidak pernah
membaca. Bagi yang gemar membaca buku, biasanya akan menyuguhkan sesuatu yang
baru atau menceritakan banyak hal meskipun itu di luar spesifikasi kajiannya.
Sedangkan sebaliknya, bagi yang jarang membaca hanya akan mengulang-ulang
perkataannya sampai dia pensiun. Atau julukan kerennya, “manusia kaset”.
Lebih dari itu, jika memandang masyarakat kita, agaknya kita harus mengakui
bahwa tradisi membaca memang belum menjadi prioritas. Padahal, salah satu
ukuran maju tidaknya suatu bangsa juga dilihat dari sejauh mana minat bacanya.
Dalam hal ini, taruhlah negeri Sakura Jepang sebagai role model-nya. Di berbagai tempat umum, masyarakat Jepang selalu memanfaatkan waktu
luang untuk membaca. Bahkan jika kita amati, hampir di setiap film produksi
Jepang─terutama kartun─selalu menampakkan background ruang tamu atau kamar yang berisi
perpustakaan pribadi. Hal demikian menyematkan bahwa tradisi membaca seperti
telah mendarah daging di sana. Sedangkan di negara kita, orang lebih senang
menghabiskan banyak waktu di depan televisi, shopping ke mall, atau sekadar
melakukan rutinitas pekerjaan sehari-hari tanpa ada kaitannya dengan perihal
membaca.
Hal itu diperkuat dengan hasil survey UNESCO tentang minat membaca masyarakat
Indonesia. Survey tersebut menunjukan bahwa minat membaca masyarakat Indonesia
sangat rendah. Tahun 2006, minat membaca masyarakat Indonesia berada pada
posisi paling rendah di kawasan Asia. Sementara Internatioanl Educational
Achievement mencatat kemampuan membaca siswa Indonesia berada di posisi paling
rendah se-kawasan ASEAN. Kesimpulan itu diambil dari penelitian atas 39 negara.
Dan Indonesia menempati urutan ke-38. Dua hal itulah yang antara lain
menyebabkan United Nation Development Progam (UNDP) menempatkan kita pada
urutan rendah dalam hal pembangunan sumberdaya manusia (hal.4).
Setidaknya atas dasar itulah alasan doktor muda jebolan UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta ini tetap getol mentradisikan membaca dan menulis melalui setiap
karyanya. Sekilas buku ini mungkin tampak sepele, karena adanya penyuguhan
definisi membaca yang sudah lazim sekaligus hambatan-hambatannya seperti: tidak
ada waktu luang, terlalu banyak menonton televisi, harga buku yang mahal dan
lain sebagainya.
Namun sebagai pembeda dengan buku-buku lain yang sejenis, penulis sengaja
menyisipkan sepak terjang tokoh yang dinilai mampu menginspirasi atau menyulut
spirit pembaca mulai awal hingga akhir pembahasannya. Jadi semacam penyelaras
antara sebuah kegamangan dan harapan yang gemilang.
Misalnya sosok Prof. Dr. Rhenaldi Khasali─Ketua
Magister Manajemen UI─yang masih mampu menelurkan karya dari waktu ke waktu meski himpitan
tugas sehari-sehari nyaris tak ada minus. “Menulis itu harus diiringi dengan
membaca yang kuat,” papar Rhenald dalam sebuah kesempatan. Beliau selalu
membaca dalam berbagai kesempatan waktu luang yang ada (hal. 22).
Atau yang lebih fenomenal lagi adalah menyimak perjalanan hidup Prof. Dr. T.M.
Hasbi Ash Shidieqy─tokoh besar yang terkenal dengan gagasannya tentang fiqh Indonesia.
Ditinjau dari jenjang pendidikannya, prestasi beliau sungguh luar biasa.
Bayangkan, beliau hanya mengenyam pendidikan setingkat MTs namun dapat meraih
gelar doktor dan profesor sekaligus. Apa rahasianya? Tentu saja karena Prof.
Hasbi memiliki wawasan dan karya tulis yang sangat banyak dan diakui secara
luas. Karena prestasi hidupnya ini, gelar justru datang kepada beliau (hal.
87). Sederhananya, siapapun orangnya berpotensi sama untuk menjadi orang besar
tergantung seberapa besar niat dan usaha untuk mewujudkannya.
Tidak hanya itu, sosok The Liang Gie, Henry Guntur Tarigan dan Hernowo juga tak
ketinggalan ikut urun rembuk dengan aneka metode membacanya. Dalam hal ini,
penulis mencoba meramu pemikiran ketiga tokoh besar itu dalam kaitannya dengan
tekhnik-tekhnik membaca yang efektif dan efisien. Sebab diakui atau tidak, daya
ingat orang itu tidak sama kemampuannya. Oleh karena itu butuh trik khusus
untuk menyiasati agar apa yang dibaca tidak berlalu begitu saja tanpa ada
bekasnya. “Membaca tanpa merenungkan ibarat makan tanpa mencerna,” kata Edmund
Burke.
Ya, pada intinya buku yang ada dihadapan Anda ini tidak lain ingin menegaskan
bahwa aktivitas membaca merupakan kegiatan yang sungguh begitu banyak
manfaatnya. Sampai-sampai, hampir tak ada satupun hal yang berkaitan dengan
aspek peningkatan taraf hidup manusia yang lekang dari aktivitas membaca.
Jika harus menilai kekurangan dari buku ini dari sisi kualitas, sejujurnya saya
katakan nyaris tidak ada. Sebab dengan penjelasan yang mudah dicerna, penulis
mencoba mengurai sedikit demi sedikit permasalahan sekaligus pemecahan
masalahnya. Teori-teori yang digunakan untuk mendukung analisisnya pun juga
tidak terkesan muluk-muluk seperti buku-buku lain yang kadang cenderung
mengadopsi bahasa dan konsep yang melangit. Dengan kata lain, dalam karyanya
kali ini, tampaknya penulis mencoba mengeksplorasi pikirannya secara totalitas
tanpa harus terlalu bergantung pada referensi tertentu yang terkait.
Penulis : Ngainun Naim
Penerbit : Aura Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, April 2013
Tebal : xvi+199 hlm
ISBN :978-602-9969-42-9
Peresensi: Saiful Mustofa, Alumni STAIN Tulungagung. Aktif bergiat di Pusat Kajian Filsafat dan Teologi (PKFT) Tulungagung.
Dengan membaca orang akan lebih kritis dalam menyikapi suatu permasalahan yang sedang dihadapi. Sebaliknya, orang yang jarang atau tidak pernah membaca akan cenderung bersikap konservatif dan memandang segala sesuatu dari satu sudut saja.
Kita ambil contoh di dunia pendidikan. Guru yang gemar membaca, tipikal mengajarnya akan berbeda dengan guru yang jarang atau mungkin tidak pernah membaca. Bagi yang gemar membaca buku, biasanya akan menyuguhkan sesuatu yang baru atau menceritakan banyak hal meskipun itu di luar spesifikasi kajiannya. Sedangkan sebaliknya, bagi yang jarang membaca hanya akan mengulang-ulang perkataannya sampai dia pensiun. Atau julukan kerennya, “manusia kaset”.
Lebih dari itu, jika memandang masyarakat kita, agaknya kita harus mengakui bahwa tradisi membaca memang belum menjadi prioritas. Padahal, salah satu ukuran maju tidaknya suatu bangsa juga dilihat dari sejauh mana minat bacanya. Dalam hal ini, taruhlah negeri Sakura Jepang sebagai role model-nya. Di berbagai tempat umum, masyarakat Jepang selalu memanfaatkan waktu luang untuk membaca. Bahkan jika kita amati, hampir di setiap film produksi Jepang─terutama kartun─selalu menampakkan background ruang tamu atau kamar yang berisi perpustakaan pribadi. Hal demikian menyematkan bahwa tradisi membaca seperti telah mendarah daging di sana. Sedangkan di negara kita, orang lebih senang menghabiskan banyak waktu di depan televisi, shopping ke mall, atau sekadar melakukan rutinitas pekerjaan sehari-hari tanpa ada kaitannya dengan perihal membaca.
Hal itu diperkuat dengan hasil survey UNESCO tentang minat membaca masyarakat Indonesia. Survey tersebut menunjukan bahwa minat membaca masyarakat Indonesia sangat rendah. Tahun 2006, minat membaca masyarakat Indonesia berada pada posisi paling rendah di kawasan Asia. Sementara Internatioanl Educational Achievement mencatat kemampuan membaca siswa Indonesia berada di posisi paling rendah se-kawasan ASEAN. Kesimpulan itu diambil dari penelitian atas 39 negara. Dan Indonesia menempati urutan ke-38. Dua hal itulah yang antara lain menyebabkan United Nation Development Progam (UNDP) menempatkan kita pada urutan rendah dalam hal pembangunan sumberdaya manusia (hal.4).
Setidaknya atas dasar itulah alasan doktor muda jebolan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini tetap getol mentradisikan membaca dan menulis melalui setiap karyanya. Sekilas buku ini mungkin tampak sepele, karena adanya penyuguhan definisi membaca yang sudah lazim sekaligus hambatan-hambatannya seperti: tidak ada waktu luang, terlalu banyak menonton televisi, harga buku yang mahal dan lain sebagainya.
Namun sebagai pembeda dengan buku-buku lain yang sejenis, penulis sengaja menyisipkan sepak terjang tokoh yang dinilai mampu menginspirasi atau menyulut spirit pembaca mulai awal hingga akhir pembahasannya. Jadi semacam penyelaras antara sebuah kegamangan dan harapan yang gemilang.
Misalnya sosok Prof. Dr. Rhenaldi Khasali─Ketua Magister Manajemen UI─yang masih mampu menelurkan karya dari waktu ke waktu meski himpitan tugas sehari-sehari nyaris tak ada minus. “Menulis itu harus diiringi dengan membaca yang kuat,” papar Rhenald dalam sebuah kesempatan. Beliau selalu membaca dalam berbagai kesempatan waktu luang yang ada (hal. 22).
Atau yang lebih fenomenal lagi adalah menyimak perjalanan hidup Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shidieqy─tokoh besar yang terkenal dengan gagasannya tentang fiqh Indonesia. Ditinjau dari jenjang pendidikannya, prestasi beliau sungguh luar biasa. Bayangkan, beliau hanya mengenyam pendidikan setingkat MTs namun dapat meraih gelar doktor dan profesor sekaligus. Apa rahasianya? Tentu saja karena Prof. Hasbi memiliki wawasan dan karya tulis yang sangat banyak dan diakui secara luas. Karena prestasi hidupnya ini, gelar justru datang kepada beliau (hal. 87). Sederhananya, siapapun orangnya berpotensi sama untuk menjadi orang besar tergantung seberapa besar niat dan usaha untuk mewujudkannya.
Tidak hanya itu, sosok The Liang Gie, Henry Guntur Tarigan dan Hernowo juga tak ketinggalan ikut urun rembuk dengan aneka metode membacanya. Dalam hal ini, penulis mencoba meramu pemikiran ketiga tokoh besar itu dalam kaitannya dengan tekhnik-tekhnik membaca yang efektif dan efisien. Sebab diakui atau tidak, daya ingat orang itu tidak sama kemampuannya. Oleh karena itu butuh trik khusus untuk menyiasati agar apa yang dibaca tidak berlalu begitu saja tanpa ada bekasnya. “Membaca tanpa merenungkan ibarat makan tanpa mencerna,” kata Edmund Burke.
Ya, pada intinya buku yang ada dihadapan Anda ini tidak lain ingin menegaskan bahwa aktivitas membaca merupakan kegiatan yang sungguh begitu banyak manfaatnya. Sampai-sampai, hampir tak ada satupun hal yang berkaitan dengan aspek peningkatan taraf hidup manusia yang lekang dari aktivitas membaca.
Jika harus menilai kekurangan dari buku ini dari sisi kualitas, sejujurnya saya katakan nyaris tidak ada. Sebab dengan penjelasan yang mudah dicerna, penulis mencoba mengurai sedikit demi sedikit permasalahan sekaligus pemecahan masalahnya. Teori-teori yang digunakan untuk mendukung analisisnya pun juga tidak terkesan muluk-muluk seperti buku-buku lain yang kadang cenderung mengadopsi bahasa dan konsep yang melangit. Dengan kata lain, dalam karyanya kali ini, tampaknya penulis mencoba mengeksplorasi pikirannya secara totalitas tanpa harus terlalu bergantung pada referensi tertentu yang terkait.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.