Oleh Ngainun Naim
Menulis merupakan salah tema yang sering ditanyakan saat
saya mengisi berbagai acara, termasuk oleh para mahasiswa di kampus tempat saya
mengajar. Mereka umumnya mengeluhkan sulitnya menulis, bagaimana membangun
spirit menulis, kapan mulai menulis, dan sebagainya. Pertanyaan, keluhan, dan juga
harapan yang berkaitan dengan dunia menulis sesungguhnya merupakan sebuah modal
besar yang harus dirawat. Maksudnya, kemauan mereka berbicara mengenai menulis
sesungguhnya merupakan titik awal dari keinginan untuk bisa menulis.
Keterampilan menulis idealnya memang harus dikuasai
dengan baik oleh mahasiswa. Menguasai
keterampilan menulis merupakan salah satu kunci sukses studi. Tentu saja,
ada juga kunci sukses yang lainnya. Tetapi dibandingkan dengan kunci sukses
studi yang lainnya, keterampilan menulis membutuhkan proses yang panjang dan
keseriusan melatihnya.
Mengapa menulis menjadi salah satu kunci sukses studi?
Ada banyak alasannya. Pertama, kuliah—baik
di level S1, S2, atau S3—mengharuskan mahasiswa untuk membuat makalah atau
paper. Bisa Anda bayangkan bagaimana repotnya mengikuti perkuliahan jika
keterampilan menulis tidak dikuasai secara baik. Bisa jadi kuliah akan
membuatnya tersiksa. Setiap ada tugas membuat makalah, ia akan mengalami
siksaan psikologis yang hebat karena beratnya beban yang harus ditanggung.
Sebagai akibatnya, makalah yang dibuat juga tidak akan bagus. Tulisan yang
dibuat dalam kondisi tertekan—apa pun bentuk tekanannya—biasanya kurang
optimal. Memang harus juga diakui banyak juga orang yang telah terlatih secara
baik untuk bisa menulis dalam kondisi tertekan, khususnya tekanan waktu. Tetapi
orang yang semacam ini biasanya adalah penulis yang sudah ahli, atau paling
tidak, ia merupakan penulis yang bisa menikmati kondisi tertekan semacam ini.
Jika saja seorang mahasiswa memiliki ”mentalitas proses”,
maka ia akan tetap berusaha untuk menulis berdasarkan kemampuannya. Segala cara
akan ditempuh asalkan tugasnya selesai. Menulis akan dijalani sebagai bagian
dari proses belajar. Ia akan tetap menulis berdasarkan kemampuannya sendiri. Mahasiswa
semacam ini ia akan merasakan kelegaan yang luar biasa begitu tugas menulisnya
selesai.
Tetapi tidak semua mahasiswa memiliki ”mentalitas
proses”. Banyak yang menempuh jalan pintas. Misalnya meminta bantuan orang lain
untuk membuat tugas makalah atau membuat makalah dengan mengunduhnya dari
internet tanpa editing yang memadai. Plagiasi semacam ini cukup sering terjadi.
Saya mencermati ada begitu banyak tulisan di Kompasiana yang menyoroti tentang persoalan
ini.
Kedua, kuliah akan diakhiri dengan tugas riset yang kemudian ditulis. Di tingkat S1 disebut
skripsi, S2 disebut tesis, dan S3 disebut disertasi. Tugas akhir ini mengharuskan penguasaan keterampilan menulis yang jauh
lebih serius dan mendalam dibandingkan dengan tugas makalah. Menguasai
keterampilan menulis akan mengantarkan mahasiswa untuk lulus kuliah tepat
waktu, atau bahkan lebih cepat dari jadwal waktu standar. Berbagai informasi
tentang mahasiswa yang studinya selesai dengan cepat menunjukkan bahwa pada
umumnya mereka didukung oleh keterampilan menulis yang baik.
Kuliah sesungguhnya bukan pekerjaan yang ringan. Banyak
yang gagal di tengah jalan. Tetapi yang justru mengenaskan adalah gagal di
ujung akhir perkuliahan. Tugas akhir berupa penelitian dan menulis laporan
penelitian biasanya menjadi persoalan serius yang tidak mudah untuk diurai. Pada
titik inilah, keterampilan menulis menjadi kunci penting yang seyogyanya
dikuasai secara baik.
Trenggalek—Tulungagung, 29-11-2013
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.