Judul
Buku: Berguru ke Kiai Bule, Serba-serbi Kehidupan Santri di Barat
Penulis: Sumanto Al Qurtuby, dkk.
Penerbit:
Noura Books, Jakarta
Edisi:
Januari 2013
Tebal: xliv+275 halaman
Peresensi: Ngainun Naim
Jika disebut kata “santri”, umumnya orang membayangkan sebagai pelajar yang
tinggal di pesantren dengan segala kesederhanaannya. Santri dan pesantren umumnya
diidentikkan dengan tradisionalitas. Implikasinya, dunia pesantren adalah dunia
unik yang kerap ketinggalan zaman. Kesan semacam ini sebenarnya tidak salah.
Realitas sosial dunia pesantren memang menjadi salah satu faktor lahirnya
penilaian semacam itu. Dunia pesantren sendiri juga tidak banyak
mempermasalahkannya.
Tetapi kesan semacam ini tidak lagi sepenuhnya benar. Dunia pesantren dan
kaum santri sudah berkembang teramat pesat. Kini jangan lagi Anda bayangkan
santri hanya di dunia pesantren saja. Santri sekarang ini tidak hanya ada di
pesantren saja, tetapi telah melebarkan sayapnya ke dunia yang jauh lebih luas.
Mereka menembus ruang-ruang kuliah seantero dunia. Bidang ilmu yang dikaji pun
tidak hanya hal-ikhwal ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu lain dalam disiplin
yang sangat luas.
Santri zaman sekarang telah mengalami transformasi. Akses untuk mengenyam
pendidikan ke luar negeri pasca tumbangnya rezim Orde Baru membuat kalangan
santri masuk menerabas iklim kompetisi yang ketat. Dan terbukti, tidak sedikit
kalangan santri yang masuk menerobos berbagai universitas di dunia.
Jika selama ini santri lekat dengan stigma negatif, seperti eksklusif,
ketinggalan zaman, doktriner, dan berbagai stigma negatif lainnya, kini stigma
itu sedikit atau banyak terkoreksi oleh fakta. Buku ini merupakan bukti tentang
perubahan stigma santri tersebut. Bahkan bisa dikatakan jika buku ini mementahkan
berbagai stigma negatif yang kerap dialamatkan kepada kaum sarungan tersebut.
Tidak hanya itu. Mereka juga tidak berguru dan mengaji kepada kiai saja,
tetapi seiring dengan meluasnya batas pesantren, mereka kini mengaji pada para
kiai bule. Namun demikian, perspektif kepesantrenan tetap mereka jaga dan
bahkan kelola untuk ditumbuhkembangkan. Mereka tetap rajin merawat tradisi, mengaji,
dan mengangkat spirit transformasi Islam ala pesantren. Secara menarik editor
buku ini, Sumanto Al Qurtuby menulis di bagian pengantar bahwa meskipun para
santri yang menulis di buku ini mempelajari berbagai macam disiplin ilmu dan
dididik oleh (sebagian besar) para orientalis non-Muslim mereka tetap saja
seorang santri yang lucu (penuh humor) dan ”lugu”. Mereka—kaum ”santri baru”
ini—meskipun tinggal di kota-kota modern dan metropolitan Barat juga bukan
lantas larut dalam arus kebudayaan baru di mana mereka tinggal. Sebagai santri
mereka mampu memilah dan memilih mana tradisi dan kebudayaan yang dianggap baik
dan sebaliknya. Mereka juga tidak dengan serta-merta mencampakkan tradisi
pesantren dan NU tempat mereka dibesarkan (h. xxi).
* * *
Membaca buku ini seperti mendengarkan orang bertutur karena isinya memang
pengalaman para ’santri baru’ yang belajar di berbagai tempat di belahan dunia.
Kisah-kisahnya nya sangat unik, menyentuh, inspiratif, dan mencerahkan. Seolah
ada energi yang mentransformasikan ke dalam diri saat membaca bagian demi
bagian dari buku unik ini.
Tulisan pertama ditulis oleh Sumanto Al Qurtuby dengan judul ”Belajar Islam
di Amerika”. Bagian ini menjelaskan tentang bagaimana perjuangan seorang
Sumanto yang S-1 ia selesaikan di IAIN Walisongo Semarang dan S-2 di
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Sebagaimana umumnya lulusan
universitas di Indonesia, ia harus berjuang ekstra keras agar lolos mendapatkan
beasiswa studi. Di Amerika, ia studi S-S-2 lagi. Dan impiannya adalah mendapatkan
beasiswa S-3 dari Boston University. Penuturan Sumanto tentang perjuangannya
memenangkan beasiswa sangat detil dan menyentuh. Tidak hanya itu, ia juga
menceritakan secara ringkas tentang Buston University. Dan yang menarik, ia
mengulas para guru besar di Boston dengan segenap prestasi akademiknya yang
mengagumkan. Rasanya ada jurang yang terlalu jauh antara dunia akademik di
Indonesia dengan gambaran dunia akademik yang dipaparkan Sumanto. Karena itu,
tulisan Sumanto—setidaknya bagi saya—merupakan media untuk memperbaiki diri
agar memberikan dedikasi pada dunia keilmuan. Teladan para guru besar dunia
yang menjadi guru Sumanto—seperti Profesor Augustus Richard Norton, Herbert W
Mason, Thomas Barfiled, Merlin Swartz, Charles Lindholm, Sthephen Prothero,
Shahla Haeri, Jenny White, Houchanh Chehabi, dan Peter L. Berger—selayaknya
menjadi ’kaca benggala’ untuk ditransformasikan dalam dunia akademik di
Indonesia.
Kisah yang ditulis Al Makin, ”Melangkah dari Sapen: Angan-Angan Pencerahan”, tidak kalah heroik. Sapen adalah
sebuah kampung di sebelah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang menjadi titik awal
petualangan intelektual Al Makin ke berbagai belahan dunia. Di kampung ini
banyak pemikir lahir, seperti Ahmad Wahib, Simuh, Mukti Ali, M. Amin Abdullah,
Yudian W Asmin—dan Al Makin sendiri tentunya.
Secara menarik Al Makin berkisah bahwa kini memang zaman global.
Persentuhan dengan dunia luar menjadi realitas yang tidak mungkin dihindari.
Dan belajar ke luar negeri menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari. Mengapa
harus ke luar negeri? Secara menarik Al Makin menulis:
Jawaban bisa beragam. Tetapi yang pasti: sudah saatnya
kita bangun, mengambil air wudhu, berdoa, baca koran, baca jurnal, baca buku,
dan mengikuti dunia yang terus berputar. Dunia terus maju. Jika kita tidak
mengikuti, kata pujangga Muhammad Iqbal, kita tergilas. Terseret tertatih-tatih
oleh putaran roda waktu, kata Ebiet G. Ade. Tergilas oleh zaman itu sendiri (h.
44).
Al Makin beruntung karena selepas S-1, ia mendapatkan kesempatan S-2 di
McGill University Kanada dan S-3 dari Heidelberg, Jerman. Perjuangan dan
dinamika intelektual ia ceritakan secara memukau. Tulisan Al Makin terasa khas
dan menawan. Di akhir tulisannya ia menulis bahwa setelahn melanglang buana ke
berbagai negara, akhirnya ia kembali ke jejak awalnya: Sapen.
Arief Maftuhin yang juga dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta memiliki
cerita yang juga unik. Fokus dosen muda yang menempuh S-2 di University of
Washington ini tergambar secara jelas dalam tulisannya, “Shalat-Shalat ala
Amerika”. Menurut pengakuannya, saat studi di Amerika, ia ”lebih rajin” shalat
daripada saat di tanah air. Melalui tulisan ini, ia menceritakan pernik-pernik
perjuangan melakukan shalat, tentang kisah unik berjamaah di ”alun-alun” kampus
yang mengundang perhatian banyak orang, juga bagaimana ia shalat di
lorong-lorong buku di perpustakaan. Di mana saja Maftuhin berjuang untuk shalat
karena memang shalat bukan hal mudah untuk dikerjakan di negeri seperti Amerika
Serikat. Justru karena menjalankannya yang penuh perjuangan inilah maka shalat
di Amerika memiliki makna yang berbeda dengan shalat saat di tanah air.
Muhammad Fahmi Mubarak menulis tentang ”Pernikahan Teman Baikku dengan
Gadis Amerika”. Tulisan ini unik karena menceritakan pengalaman multikultural
seorang santri dalam dinamika Amerika yang sekuler. Ada banyak pelajaran
berharga dan menarik yang diulas dalam bahasa santai. Tulisan Fahmi penting
untuk dibaca dalam konteks membangun toleransi, persaudaraan, persahabatan, dan
kerukunan hidup.
Pengalaman yang erat dengan dunia pesantren ternyata ditemukan Ismail Fajri
Alatas saat menempuh program doktor dalam ilmu sejarah dan antropologi di
University of Michigan, Ann Arbor. Awalnya Fajri memilih menarik diri dari
interaksi sosial keagamaan karena pengalaman kurang menyenangkan dalam aspek
ini saat ia menempuh studi S-1 di Melbourne, Australia dan S-2 di Singapura. Namun
justru karena hal ini, ia merasakan ’kemarau spiritualisme’.
Di tengah kondisi yang semacam ini, Fajri menemukan nuansa yang lama tidak
ditemukan, yaitu nuansa pesantren. Saat kuliah, ia bertemu Profesor Michael
Bonner yang mengajar ala kiai pesantren. Sang profesor duduk di ujung meja
dikelilingi murid yang siap dengan teks masing-masing. Saat kelas dimulai,
Profesor Bonner akan menunjuk seorang murid untuk mulai membaca teks secara
lantang dan disimak oleh murid yang lain. Jika terdapat kesalahan, Profesor
akan bertanya mengapa demikian. Barulah jika murid gagal menjawab, Profesor
Banner membeberkan kesalahannya dan memberikan koreksinya. Setelah si murid
selesai membaca, dia harus menerjemahkannya (h. 80). Pola pembelajaran ini
mirip metode sorogan yang banyak diterapkan di berbagai pesantren di Indonesia.
Aspek yang mengesankan Fajri adalah saat dia hadir di komunitas Muslim
Amerika yang mengadakan peringatan maulid Nabi. Tentu saja, ini menggembirakan
Fajri karena serasa menemukan kembali tradisi Islam di tengah oase Amerika yang
sekular. Katanya, ”Negeri ini malah mengingatkanku pada tradisi yang selama ini
kukenal di Jawa. Ternyata, Tuhan dengan segala kemurahan-Nya telah menyinari
segala penjuru bumi dengan cahaya-Nya” (h. 92).
Tidak kalah menariknya adalah pengalaman pasangan suami istri Lathiful
Khuluq dan Nunung Nuraeni. Melalui tulisan yang berjudul ”Berislam di Tengah
Gelombang: Pengalaman Keluarga Muslim di Kota Metropolitan Montreal, Kanada”,
pasangan yang studi di Kanada ini memaparkan berbagai dinamika kehidupan,
studi, mendidik anak, dan berbagai pernik kehidupan lainnya. Uraian keduanya
dapat menjadi panduan mengenai bagaimana hidup di tengah belantara modernitas
yang keras.
* * *
Secara keseluruhan ada 12 tulisan dalam buku ini. Masing-masing memaparkan
berbagai perspektif tentang kehidupan santri yang ’menerabas tradisi’. Membaca keseluruhan
buku ini memperlihatkan bahwa kaum santri sekarang ini telah banyak mengalami
transformasi kehidupan. Santri sekarang tidak hanya hidup di dunia pesantren
saja, tetapi makna pesantren telah berkembang luas.
Jumlah mereka yang menembus tradisi ini memang belum banyak, tetapi peluang
ke depan sangat terbuka lebar. Jika akses ini terus dibuka maka ke depan akan
kita saksikan semakin banyak santri yang melanglang buana ke seantero dunia. Apa
yang mereka lakukan diharapkan akan memberikan pengaruh nyata pada dunia
pesantren dan umat Islam secara luas di Indonesia. Semoga.
Tulungagung, 13
Desember 2013
Ngainun Naim
www.ngainun-naim.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.