Oleh Ngainun
Naim
Menjadi orang yang
selalu optimis tanpa mengeluh—menurut saya—bukan hal yang mudah. Saya sendiri
menyadari bahwa sikap optimis-positif itu sangat penting agar hidup ini menjadi
indah. Sebab sikap optimis-positif menjadikan segala sesuatu dalam kerangka
yang baik. Tetapi realitas hidup ini memang tidak sederhana. Pada saat
tertentu, mengeluh dan pesimis juga datang menyapa.
Tulisan ini bukan
nasehat buat orang lain, tetapi nasehat kepada diri saya sendiri. Kalaupun
kemudian ada di antara teman-teman pembaca sekalian yang bisa memperoleh
manfaat atau inspirasi, itu aspek yang harus saya syukuri. Tetapi saya ingin
menjadikan tulisan ini sebagai bahan refleksi diri agar bisa menjadi manusia
yang semakin baik dari hari ke hari.
Seorang teman pernah
mengeluhkan bagaimana ia sangat capek. Kegiatan demi kegiatan ia jalani seolah
tanpa henti. Sementara seorang teman yang lainnya mengeluhkan bagaimana
rumitnya mengelola keuangan keluarga. Penghasilannya rasanya selalu kurang.
Teman yang tinggal di ibu kota mengeluhkan macet, banjir, dan seterusnya. Tidak
ada nuansa positif yang dimunculkan.
Keluhan demi keluhan
rasanya ada di sekitar kita. Tidak hanya di pergaulan nyata, di dunia maya pun
keluhan dan pesimisme hidup bertaburan. Begitu banyaknya keluhan sampai seorang
teman menulis catatan mengenai fenomena mengeluh ini dengan judul ”Republik
Pengeluh”.
Saya memiliki
pengalaman menarik berkaitan dengan fenomena ini. Lebih dari sepuluh tahun
lalu, sepeda motor saya bocor. Untungnya tempat bocor hanya berjarak beberapa
meter dari tukang tambal ban. Saat saya datang, tukang tambal ban ini masih
menyelesaikan pekerjaaanya yang lain, yaitu menata koran yang ia jual. Setelah
selesai, barulah ia menangani sepeda motor saya yang bocor bannya.
Sesungguhnya tidak
ada yang istimewa pada orang itu, tetapi ada kata-katanya yang terngiang sampai
hari ini. ”Saat kita belum punya pekerjaan, kita mengeluh dalam mencari kerja.
Saat pekerjaan datang, kita mengeluh mengerjakannya. Memang ndak ada
syukurnya”, katanya. Kata-kata ini menghunjam keras dalam kesadaran saya. Saya,
dengan penuh kejujuran harus mengakui, termasuk dalam kategori kalimat tukang parkir
tersebut. Saya termasuk orang yang kurang bersyukur. Mengeluh dan mengeluh
tampaknya lebih sering saya lakukan daripada bersyukur dan bersyukur. Sikap ini
sedikit demi sedikit harus saya rubah. Terlalu banyak karunia Allah yang tidak
saya syukuri.
Masalah itu memang
menjadi bagian dari dinamika hidup kita. Rasanya kok tidak mungkin ada manusia
yang hidupnya tidak memiliki masalah sama sekali. Semua orang pasti memiliki
masalah. Tetapi sebuah masalah tidak akan menjadi masalah jika kita merubahnya
sebagai tantangan dan bagian dari dinamika hidup.
Seorang mahasiswa
pernah bercerita kepada saya mengenai bagaimana sulitnya ia membuat tugas
menulis makalah. Ada banyak hal yang saya sampaikan sebagai sumbang saran,
tetapi hal penting yang saya tekankan kepada dia agar ia menikmati tugas
tersebut. Melalui cara itu, tugas menulis makalah tidak akan menjadi masalah lagi.
Justru tugas tersebut menjadi tantangan yang harus ditundukkan atau bahkan
menjadi kenikmatan tersendiri.
Jadi, mengapa
mengeluh? Ada banyak sebabnya. Saya—sekali lagi—ingin menasehati diri saya
sendiri agar tidak atau paling tidak, mengurangi mengeluh dan meningkatkan rasa
syukur. Semoga niat baik ini dapat terlaksana. Amin.
Trenggalek—Tulungagung,
11 Desember 2013
Ngainun Naim
www.ngainun-naim.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.