Oleh Ngainun Naim
Politisi dan dunia buku seolah dua dunia yang saling
berjauhan. Entahlah,
kesan umum saya semacam itu. Politisi itu
urusannya dunia politik yang seringkali tidak ilmiah. Politik urusannya dengan
lobi, penentuan kebijakan, dan sejenisnya.
Mohon maaf jika kesan saya kurang positif. Tetapi saya
kira saya tidak sendirian. Ada banyak orang yang memiliki kesan semacam ini. Dan
tidak terlalu susah untuk membuktikannya.
Jujur, saya jenuh melihat debat-debat atau diskusi di
televisi yang melibatkan para politisi. Setiap melihat acara semacam itu, saya
tidak menemukan adanya kearifan. Yang ada hanyalah bagaimana menjadi menang,
mengalahkan yang lain, dan tidak memberikan perspektif positif yang
menggembirakan.
Karena itu, saat tadi pagi (Rabo, 18 Desember 2013) saya
membaca Harian Jawa Pos, saya merasa menemukan sesuatu yang berbeda. Di rubrik ”Sosok
dan Sisi Lain”, ada berita tentang politisi Partai dan psikiater, Nova Riyanti
Yusuf yang ternyata memiliki tradisi membaca yang cukup baik. Saya tidak
mengenal politisi ini. Saya—tentu saja—juga belum pernah bertemu muka. Hanya beberapa
kali saya membaca berita mengenai politisi jelita ini. Di media saya membaca
kalau dia akan maju (lagi) sebagai Caleg DPR RI dari Dapil Kediri, Tulungagung,
Blitar. Dan beberapa kali saya membaca kalau dia juga seorang penulis.
Tulisan ini bukan untuk mendukung aktivitas politik Noriyu—sapaan
akrabnya. Saya menulis tentang Noriyu karena satu hal: aktivitas membaca (dan
menulis). Ke mana pun pergi, Noriyu selalu membawa buku. Dia bahkan membuat
daftar tentang buku yang harus dibacanya setiap minggu. Hal ini dia lakukan
karena waktunya yang terkikis gara-gara aktivitasnya di dunia politik. Hebatnya,
di tengah kesibukan yang tinggi, rata-rata ia mampu melahap 25 judul buku. Ke mana
pun pergi, di tasnya selalu tersedia dua judul buku. ”Jadi, seperti jimat”,
selorohnya.
Buku saya tentang Membaca |
Ya, saya mendukung aktivitas membaca dan menulis
karena aktivitas inilah yang mengantarkan kemajuan masyarakat. Masyarakat yang
maju adalah masyarakat yang memiliki tradisi membaca dan menulis yang baik. Dalam
kerangka ini, aktivitas membaca Noriyu layak untuk diapresiasi, diteladani, dan
disebarluaskan.
Saya membayangkan betapa indahnya jika para politisi—di tengah
kesibukannya—masih menyisakan waktu untuk membaca secara intensif. Jika mereka
tetap aktif membaca, pola dan kinerja politiknya pasti lebih baik. Wawasan yang
luas akan membuat mereka lebih memahami bahwa menjadi politisi bukan aji mumpung, tetapi akan dilakukan
sepenuh hati.
Tulungagung, 18 Desember 2013
Ngainun Naim
www.ngainun-naim.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.