Oleh Ngainun Naim
Menulis memang merupakan dunia unik yang—bagi saya—selalu
menarik untuk ditulis. Namanya juga dunia menulis maka wajar saja kalau menarik
untuk ditulis. Walaupun sebenarnya, diperbincangkan dan didiskusikan juga tidak
kalah menariknya.
Saya sendiri merasakan seperti mendapatkan energi baru
untuk menulis kalau membaca buku tentang menulis, berdiskusi dengan sesama
penulis, berguru ilmu kepada penulis hebat, atau mengisi acara menulis. Setelah
memperbincangkan dunia menulis, saya biasanya menjadi lebih bersemangat lagi
untuk menulis. Walaupun harus jujur saya akui, semangat itu juga fluktuatif. Kadang
naik, kadang turun. Bagi saya, ini wajar. Namanya juga manusia. Tetapi yang
jauh lebih penting adalah komitmen. Ya, komitmen untuk terus menjaga dan
merawat tradisi menulis ini.
Menulis telah saya jadikan semacam identitas diri. Memang
belum banyak karya tulis yang saya buat, tetapi karena menulis—walaupun masih
sedikit—itulah, orang tidak jarang yang mengidentikkan saya dengan menulis.
Bagi saya, ini anugerah besar yang harus saya rawat.
Ada banyak anugerah lain yang saya peroleh dengan
menulis. Jaringan, kepercayaan, relasi, dan berbagai manfaat lain telah saya
rasakan dari dunia menulis.
* * *
Saya ingin menjadi penulis yang baik. Salah satu
kriterianya—menurut saya—adalah selalu belajar dan terus berusaha memperbaiki
tulisan. Sejauh yang saya rasakan, memang tidak banyak perubahan dalam
struktur, karakter, dan model tulisan saya. Tetapi harus saya tulis dengan
jujur bahwa saya selalu berusaha memperbaiki tulisan saya. Persoalan kemudian
menurut pembaca tidak ada yang meningkat, saya kira itu menjadi catatan untuk
saya kembali belajar dan belajar.
Salah satu cara belajar memperbaiki tulisan adalah dengan
belajar dan menyerap ilmu dari penulis lain. Melalui cara semacam ini, saya
mendapatkan perspektif baru, proses baru, dan semangat baru untuk teruss menulis.
Cara semacam inilah yang hari selasa, 17 Desember 2013
kemarin saya lakukan. Ceritanya, kampus tempat saya bekerja ada kegiatan bedah
buku. Buku yang dibedah merupakan sebuah buku yang luar biasa karena
ketebalannya saja lebih dari 2000 halaman. Ya, buku itu terbagi dalam dua jilid
besar. Penulisnya adalah seorang doktor muda lulusan UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Dr. Waryani Fajar Riyanto, M.Ag.
Buku ini sesungguhnya merupakan biografi intelektual
Rektor UIN Sunan Kalijaga selama dua periode, yaitu Prof. Dr. H.M. Amin
Abdullah. Ada tiga aspek yang dibahas dalam buku supertebal ini, yaitu person, knowledge, dan institution. Melihat ketebalannya, bisa
dibayangkan bagaimana penulisnya melakukan riset dan kerja serius. Hebatnya
lagi, buku supertebal ini dikerjakan ”hanya” selama 10 bulan.
* * *
Catatan ini tidak akan mengulas isi buku tersebut. Semoga
ada kesempatan lainnya untuk mengulas. Saya akan berbagi pengalaman dengan para
pembaca sekalian berkaitan dengan proses kepenulisan Mas Fajar, penulis buku
tersebut.
Kebetulan, saya yang diminta panitia menghubunginya.
Kebetulan juga, saya yang menjadi moderator bedah bukunya sehingga beruntung
saya punya kesempatan untuk banyak berbincang dengan Mas Fajar, termasuk
tentang bagaimana proses kreatifnya menulis, bagaimana menjaga energi menulis,
dan bagaimana menulis karya yang sedemikian banyak dan tebal. Selain dua buku
tebal yang saya ceritakan di awal tulisan ini, Mas Fajar sepanjang karier
akademiknya telah menulis sekitar 100 judul buku. Ini tentu prestasi yang
sangat luar biasa.
Saat saya tanya bagaimana ia bisa sedemikian produktif?
Ia menjawab dengan rumus sebagaimana judul tulisan ini, yaitu heart, head, dan hand. Heart maksudnya hati. Tentu bukan hati secara fisik, tetapi
bagaimana mengelola hati dan menata hati dalam menulis. Menulis harus dilakukan
dengan niat yang baik. Orientasi material yang sering mengiringi sedapat
mungkin dipinggirkan. Hal inilah yang memberikan energi besar kepadanya untuk
terus menulis dan menulis. Ia menyebutnya sebagai ”Kerja Ikhlas”. Saya kira itu wajar karena dia sendiri menggeluti
dunia tasawuf. Ia sendiri seorang mursyid sebuah tarekat yang berpusat di
Mesir.
Head maksudnya adalah bekerja cerdas. Menulis membutuhkan strategi dan metode yang tepat
sehingga bisa menghasilkan karya berbobot. Rumus ini saya kira tidak jauh
berbeda dengan uraian teman-teman yang sering menulis tentang topik ini.
Yang ketiga adalah hand, tangan. Maksudnya adalah kerja keras. Untuk menghasilkan karya
yang besar dan produktif, tidak ada rumus lain selain bekerja keras. Menulis,
menulis, dan menulis menjadi kunci penting yang harus ditanamkan jika ingin
menghasilkan karya tulis yang banyak dan berbobot. Para penulis sukses umumnya
para pekerja keras.
Jujur, saya mendapatkan banyak ilmu baru dalam dunia
menulis dari doktor yang umurnya masih 34 tahun tersebut. Perpaduan secara
seimbang antara kerja ikhlas, kerja
cerdas, dan kerja keras atau heart,
heand, dan hand telah memberikan
perspektif baru bagi saya dalam menekuni dunia menulis.
Trenggalek, 18 Desember 2013
Ngainun
Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.