Oleh Ngainun Naim
Menulis sesungguhnya telah menjadi bagian yang erat dalam
hidup saya. Saya bermimpi untuk menjadi penulis saat duduk di bangku Madrasah
Tsanawiyah. Pemicunya adalah seorang guru bahasa Inggris. Namanya Pak Muhammad
Amrullah.
Saat itu, beliau mengajar bahasa Inggris. Di luar itu,
beliau merupakan seorang penulis. Artikelnya beberapa kali saya baca di Majalah
Mimbar Pembangunan Agama (MPA) yang diterbitkan Kantor Wilayah Kementerian
Agama Jawa Timur, Majalah AULA yang diterbitkan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama
Jawa Timur, Majalah Jaya Baya, dan Panjebar Semangat. Saat melihat artikel
beliau dimuat, ingin sekali saya menirunya. Saya membayangkan betapa indahnya
saat nama saya terpampang di sebuah media massa.
Butuh waktu beberapa tahun untuk menuai hasil. Mimpi
semenjak MTs baru terbayar saat saya duduk di bangku akhir kuliah S-1. Semenjak
tulisan saya dimuat, perlahan tetapi pasti, saya terus berusaha menulis.
Kini, beberapa tahun setelah pemuatan artikel awal saya,
hari-hari saya selalu saya usahakan untuk menulis. Melalui menulis, saya
merasakan bahwa hidup saya lebih bermakna. Menuangkan gagasan dalan tulisan
untuk kemudian dibagi melalui jejaring sosial yang saya ikuti terasa nikmat
sekali. Rasanya lega sekali saat sebuah tulisan selesai ditulis, lalu
disebarluaskan.
Beberapa orang pernah bertanya mengenai untung-ruginya
menulis di media sosial, khususnya blog dan facebook. Saya biasanya menjawab
bahwa menulis bagi saya seperti sedekah. Saya hanya berharap agar tulisan saya
memberikan pencerahan buat pembaca. Melalui cara semacam ini, saya berharap
mendapatkan keberkahan hidup.
Ruginya? Tentu saja ada. Misalnya tulisan diplagiat,
dikritik karena menulis tidak bermutu, dan sebagainya. Saya membiarkan semua
itu. Bagi saya, menulis adalah menulis. Menulis adalah hidup saya.
Sejak jumat lalu, saya merasa berhutang kepada diri
sendiri. Saya sama sekali tidak bisa menulis. Menulis rutin yang biasanya saya
mulai pagi hari tidak bisa saya kerjakan. Penyebabnya—ini alasan personal untuk
membenarkan diri sendiri—karena saya kelelahan.
Hari selasa sampai kamis, saya ikut workshop. Kamis sore
mengajar dua kelas. Sampai di rumah tubuh sudah lelah. Saya tidak bisa menulis
saat fisik capek. Saya berjanji pada diri sendiri untuk menulis di pagi hari.
Tetapi janji itu gagal. Hal yang sama kembali terulang pada hari sabtu dan
minggu ini.
Rasanya memang ada yang kurang. Karena itu, saat minggu
sore saya memiliki kesempatan menulis, maka tema inilah yang saya angkat. Saya bisa
menulis karena—salah satunya—inspirasi guru saya. Kepada beliau ucapan terima
kasih tentu tidaklah cukup.
Salam Persahabatan!
Trenggalek, 2 November 2013
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.