Judul Buku: Filsafat “Wujud” Seyyed Hossein Nasr
Penulis: Ahmad Sidqi
Penerbit: Lawan Yogyakarta
Edisi: September 2013
Tebal: x+134 halaman
Buku filsafat selalu menghadirkan pesona. Membacanya
membutuhkan konsentrasi tinggi dan energi yang lebih dibandingkan dengan buku
nonfilsafat. Menelusuri jejak pemikiran filsafat seperti memasuki belantara
luas yang penuh kekayaan. Memang tidak mudah untuk menemukan kekayaannya,
tetapi justru di sinilah nilai lebih dunia filsafat.
Salah seorang filosof kontemporer yang penting untuk
diperhitungkan adalah Seyyed Hossein Nasr. Nasr adalah filosof prolifik yang
menjadi tokoh terdepan Filsafat Perennial. Pemikiran dan kiprah Nasr menjadikan
dunia filsafat Barat yang selama ini mendominasi dunia mendapatkan pembanding
yang tangguh. Hal ini disebabkan karena pemikiran Nasr yang kritis-konstruktif
terhadap peradaban Barat.
Nasr yang asli Iran ini sekarang tinggal di Amerika
Serikat. Walaupun tinggal di Barat, bukan berarti Nasr mengikuti peradaban
Barat dengan segenap produknya. Justru pada titik inilah terlihat orisinalitas
dan kreativitas pemikiran Nasr.
Karena itu, buku-buku Nasr selalu menghadirkan hal-hal
baru yang menarik. Karya-karyanya terus saja terbit secara intensif. Wajar jika
Nasr dan pemikirannya menjadi objek kajian yang tidak pernah kering.
Buku yang ditulis Ahmad Sidqi, seorang intelektual muda
berbakat ini menghadirkan salah satu pikiran penting Nasr, yaitu filsafat
wujud. Buku yang awalnya merupakan tesis penulisnya di Universitas Gajah Mada
Yogyakarta ini dilengkapi dengan riset penulisnya di Amerika Serikat. Tidak
hanya riset, Sidqi juga berguru secara langsung kepada beberapa intelektual
ternama, termasuk kepada Nasr.
Salah satu topik yang banyak disorot oleh Nasr adalah
tentang modernitas. Memang harus diakui bahwa modernitas telah merubah
kehidupan manusia secara drastis. Berbagai hal yang tidak terbayangkan
sebelumnya kini hadir dan menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan. Bahkan
manusia kini telah kecanduan dan tidak bisa dipisahkan lagi dari modernitas
dengan segenap produk yang dihasilkannya.
Selain mengandung banyak nilai lebih, sesungguhnya
modernitas juga menyimpan persoalan akut. Tidak sedikit ekses negatif yang
mengiringi. Sayang, pengetahuan tentang kelemahan modernitas dan ekses
negatifnya ini kurang mendapatkan apresiasi yang memadai. Implikasinya, tidak
ada perspektif obyektif dan juga minim aksi antisipasi.
Pada titik inilah, Nasr mengisi ruang yang belum banyak
mendapatkan perhatian ini. Nasr memiliki modal berlimpah untuk melakukannya. Ia
adalah salah satu teolog Islam yang mampu meramu metafisika, sains, dan agama.
Model filsafat Nasr terletak pada ajaran teologi Islam. Bahkan Nasr
menganjurkan kembali kepada tradisi Islam. Sebagai teolog, Nasr mengkritik banyak
hal, terutama modernisasi yang dianggap menggerus nilai spiritual Islam (h. 7).
Sebagai intelektual tangguh, Nasr tidak hanya mengkritik.
Ia juga membangun argumentasi yang kokoh untuk keluar dari kemelut modernitas.
Sebagai intelektual garda depan filsafat perennial, maka tawaran Nasr adalah
Islam Tradisional.
Pilihan terhadap Islam tradisional ini karena Nasr
menilai modernitas tidak mampu memandang realitas kehidupan secara keseluruhan.
Islam tradisional memandang realitas dalam bingkai yang lebih besar yang
terhubungkan dengan keilahian. Tradisi ibarat pohon yang akarnya terbenam dalam
hakikat Ilahi. Dari pohon inilah tumbuh batang dan rantingnya yang tumbuh
sepanjang masa. Tradisi yang ditawarkan Nasr menjadi landasan pemikirannya (h.
21-22).
Pilihan terhadap Islam Tradisional ini kemudian menjadi
titik pijak bagi pemikiran Nasr dalam berbagai hal, termasuk filsafat wujud. Sidqi
berhasil memetakan secara jernih tentang filsafat wujud. Sebagaimana ditulis
Sidqi, wujûd itu merupakan kepastian
yang universal yang memiliki nilai, kemurnian, dan kesucian dalam kemutlakan
segala hal yang bersifat umum. Namun, wujûd
yang suci dan murni tersebut teremanasi dan terikat dalam proses menjadi
(h. 51-52).
Paparan Sidqi tentang filsafat wujud cukup mendalam. Juga
uraiannya tentang relevansi mengkaji pemikiran Nasr dalam konteks kemodernan. Sidqi,
sejauh yang saya baca di buku ini, berhasil menangkap dengan jernih pemikiran
Nasr.
Sebagai sebuah karya, selain berbagai sisi positifnya,
ada beberapa hal teknis yang penting untuk perbaikan edisi berikutnya. Pertama, kutipan pemikiran Nasr dalam
bahasa Inggris perlu untuk diterjemahkan. Jadi ada edisi Inggris dan Indonesia.
Hal ini penting karena tidak semua orang menguasai bahasa Inggris. Edisi terjemahan
akan memudahkan pembaca untuk memahami konteks pemikiran Nasr.
Kedua, perlu editing ulang agar buku ini terasa lebih enak dibaca. Beberapa kesalahan
teknis pengetikan juga perlu diperhatikan.
Terlepas dari kesalahan teknis tersebut, buku ini
memiliki kontribusi yang sangat penting dalam memperkaya khazanah pemikiran
filsafat dan pemikiran Islam. Salam!
Ngainun Naim
Tulungagung, 29 Oktober 2013
www.ngainun-naim.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.