Oleh Ngainun Naim
Tulisanku untuk pertama kalinya dimuat di Majalah Jaya
Baya. Itu berarti terjadi pada tahun 1994. Jaya Baya adalah majalah berbahasa
Jawa yang sampai sekarang pun aku tidak memahami semua bahasanya. Saat itu,
karena kondisi ekonomi yang sangat parah, aku tidak memiliki banyak pilihan
selain berusaha keras bagaimana agar bisa makan dan sekolah. Mengandalkan
kiriman orang tua jelas jauh dari memadai. Aku sendiri tahu bagaimana beratnya
kondisi ekonomi keluargaku saat itu.
Kondisi semacam ini menjadi pemantik bagiku untuk mencari
tambahan penghasilan semata-mata hanya demi satu hal: bertahan hidup di Surabaya
dan bisa menyelesaikan kuliah. Berkali-kali aku nyaris putus asa. Apa mungkin
kuliahku bisa selesai dalam kondisi yang serba kekurangan semacam itu? Berbagai
pikiran menghantuiku, termasuk bagaimana seandainya aku pindah kuliah, atau
pulang saja. Tetapi di sisi lain, aku tidak siap dengan resiko menjadi drop out. Aku masih menyimpan mimpi
menjadi sarjana.
Saat semacam ini, tiba-tiba aku ingat di Majalah Jaya
Baya ada rubrik Ana-Ana Bae. Rubrik
ini berisi kisah-kisah humor. Kucoba menulis dalam rubrik ini. Sebagai penulis
pemula, tentu saja tidak mudah menghasilkan tulisan humor yang hanya setengah
halaman. Berkali-kali aku membuat konsep di kertas kosong bekas makalah kuliah.
Berkali-kali aku gagal. Tetapi terus kucoba, sampai akhirnya selesai juga. Aku
kemudian meminjam mesin ketik Cak Dayat (En Hidayat, seorang sastrawan asal
Sumenep yang kebetulan satu kos denganku). Waktu itu kami kos di Jemur Wonosari
Gang VII belakang IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Aku sebenarnya tidak terlalu berharap agar tulisanku
dapat dimuat, karena aku sadar akan kualitasnya yang jauh dari standar. Tetapi
rupanya nasib berkata lain. Tulisanku dimuat, tentu saja setelah melewati
berbagai editing yang hampir total dari redaksi. Tentu, bangganya minta ampun.
Akhirnya ada juga tulisanku yang bisa dimuat media. Dan untuk kerja kerasku
saat itu, ada mendapatkan honor Rp. 6.000,. Tentu ini jumlah yang cukup lumayan
bagiku. Paling tidak bisa untuk hidup sekitar seminggu (sebuah kehidupan yang
hemat, tentunya).
Pengambilan honor ini juga sebuah dinamika. Aku harus
minta tanda tangan pak RT. Dia senyum melihat aku mendapatkan honor sejumlah
itu. Aku katakan dengan jujur bahwa itu adalah pertama kalinya aku menulis dan
mendapatkan honor. Sesudah mendapatkan tanda tangan beliau, bersama seorang
teman (Muslih, asal Nganjuk), berdua aku naik sepeda onthel ke kantor pos besar
di Jemursari. Bahagia sekali waktu itu. Aku kira siapa pun aku maklum bagaimana
aku bisa merasakan kebahagiaan yang semacam itu.
Ngainun
Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.