Oleh Ngainun
Naim
Kata sabar memang
begitu mudah untuk diucapkan, tetapi berat sekali di tataran praktiknya.
Pengalaman dan pengamatan saya menunjukkan bahwa kesabaran adalah bagian dari identitas
pribadi. Menjadi orang sabar itu membutuhkan latihan panjang dan kemampuan
mengelola emosi secara matang.
Hasil penelusuran
saya menemukan bahwa kata sabar itu berasal dari bahasa Arab. Bentuk aslinya
adalah shabar dari akar kata shabara-yashbiru-shabran, yang memiliki
beberapa arti. Salah satu artinya adalah: tahan menderita sesuatu (tidak lekas
marah, tidak lekas patah hati, tidak lekas putus asa, dan sebagainya), tenang,
tidak tergesa-gesa, tidak terburu nafsu. Arti lainnya adalah: akraha, alzama=memaksa, mewajibkan; amsaka: menahan, mencegah.
Mahmud Sujuthi
(1995: 66-67) menjelaskan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat tiga buah kisah
tentang ”peristiwa sabar” dalam versi yang berbeda sekaligus menggambarkan tiga
wajah makna sabar.
Kisah pertama
adalah tentang Nabi Ibrahim, sebagaimana termuat dalam ayat 100 sampai ayat 111
Surat Ash-Shaffat. Ayat ini memuat kisah pengorbanan yang tiada tara sepanjang
sejarah hidup manusia. Seorang yang telah ”tega” menyembelih seorang anak yang
sangat dicintai dan disayanginya. Semua itu dilakukan oleh Ibrahim karena satu
alasan: perintah Allah. Berkaitan dengan perintah ini, Sujuthi menulis bahwa
sebagai manusia biasa, bukan tidak mungkin hati Ibrahim bergejolak saat
menerima perintah tersebut. Namun sebagai manusia pilihan, dengan ikhlas dan
tawakkal, Ibrahim ”siap” melaksanakan perintah Ilahi. Apa yang dilakukan
Ibrahim merupakan bentuk sabar dalam
menaati perintah Allah.
Kisah kedua adalah
tentang Nabi Yusuf, waktu digoda oleh Zulaikha, istri tuannya sendiri (ayat 23
sampai 35 Surat Yusuf). Sebagai laki-laki normal, sebenarnya Yusuf juga
tertarik oleh kecantikan Zulaikha. Secara menarik Sujuthi menyebut Zulaikha
sebagai wanita yang sangat ”marak” dan ”menyala”. Hampir-hampir saja Yusuf
terjerumus ke lembah nista, seandainya dia tidak melihat ”burhan”, yaitu
petunjuk yang nyata dari Allah, sehingga nafsu yang sudah bergolak dan berkobar
itu padam seketika. Kisah Nabi Yusuf memberikan indikasi tentang sabar jenis
kedua, yaitu sabar menjauhi maksiat.
Kisah ketiga
adalah tentang Nabi Ayub, yang mendapat ujian dan cobaan yang sangat berat
(Surat Shad ayat 41 s/d 44; Surat Al-Anbiya’ ayat 83). Harta benda habis ludes,
sang istri yang semula setia merawatnya akhirnya tidak tahan lagi dan
meninggalkannya. Duka nestapa dialami Nabi Ayub seorang diri. Namun demikian,
Ayub tidak pernah mengeluh, tidak pernah mengaduh, apalagi menunjukkan sikap
”jengkel” terhadap Allah yang telah menimpakan ujian dan cobaan demikian
hebatnya. Dikala derita sampai pada puncaknya dan rasa sakit yang luar biasa
pedihnya, dengan bibir gemetar dan suara yang nyaris tidak terdengar, Ayub munajat
ke hariaan Ilahi: Ya Rabbi, sesungguhnya
aku telah ditimpa penyakit dan Engkaulah Yang Paling Penyayang. Alangkah
halus dan lembutnya doa permohonan Ayub. Dia ”hanya melaporkan” bahwa penyakit
yang dideritanya sudah sangat berat dan membahayakan jiwanya. Ayub tidak
terus-terang memohon diberi kesembuhan oleh Allah. Dia hanya memuji dan
”melaporkan” saja. Soal sembuh atau tidak itu urusan Allah.
Berkat kesabaran
Ayub yang luar biasa, akhirnya Ayub diberi kesembuhan, diganti lagi anak-anak
dan harta yang telah lenyap dengan yang lebih baik dan lebih banyak, termasuk
kembalinya sang istri yang sangat dicintainya.
Dengan demikian,
Sujuthi (1995: 68) menyimpulkan ada beberapa jenis sabar. Pertama, sabar melaksanakan perintah atau taat. Kedua, sabar menjauhi maksiat. Ketiga, sabar menghadapi musibah. Kajian
pustaka yang dilakukan Sujuthi menemukan adanya sabar keempat, yaitu sabar menerima nikmat. Nikmat tidak hanya harus
disyukuri, tetapi juga harus disabari. Sabar menerima nikmat berarti mengendalikan
diri dalam menggunakan nikmat agar tidak terjerumus dalam sikap berlebihan dan
melampaui batas.
Salam Literasi
Trenggalek,
20/4/2013
Ngainun Naim
Referensi:
Mahmud Sujuthi, Catatan Kecil Seorang Dai: Dari Nasehat
Sampai Syafaat (Surabaya: Al Ihsan, 1995).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.