Oleh Ngainun Naim
Buku itu sepanjang diposisikan sebagai sumber
pengetahuan, akan selalu aktual. Selalu saja ada nilai-nilai dan manfaat yang
dapat kita petik, asalkan kita membangun sikap positif dan membuka kesadaran
kita untuk menyerap setiap kandungan pengetahuan dan hikmah yang terkandung di
dalamnya. Karena itu, ada buku yang selalu saja dibaca, dikaji, diteliti, dan
digali maknanya tanpa mengenal zaman.
Buku karya Sarumpaet |
Lihat saja bagaimana komunitas pesantren dengan penuh
ketulusan mengkaji kitab klasik. Kitab klasik mengandung banyak nilai yang
berpengaruh besar terhadap para pembacanya. Persoalan aktualisasi, tergantung
kepada para pengkajinya untuk merekonstruksi agar sesuai dengan kebutuhan
zaman.
Tidak hanya kitab klasik, buku berbahasa Indonesia edisi
klasik juga memiliki pesona bagi pengkajinya. Zaman boleh berubah, tetapi
kandungan isinya tetap saja bisa diaktualisasikan sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan.
Beberapa waktu lalu, tanpa sengaja saya menemukan buku
karya R.I. Sarumpaet. Buku dengan judul ”Hidup Tenteram dan Sukses” ini
diterbitkan oleh Indonesia Publishing House pada tahun 1974. Jadi sudah 39
tahun dari masa terbitnya.
Saya buka buku klasik yang nyaris rusak itu secara
hati-hati. Saya tidak ingat persis kapan dan di mana membelinya. Perkiraan
saya, saya membelinya di kios Pak Kabul yang terletak di selatan perempatan
rumah sakit Tulungagung. Dulu saya memang pelanggan Pak Kabul. Tetapi sejak
beberapa tahun terakhir saya jarang lagi mengunjungi kios tersebut. Entahlah,
kenapa saya tidak lagi memiliki kesempatan bertandang ke sana.
Buku yang saya ulas ini memang buku lama, tetapi secara
personal saya menemukan ada banyak ilmu di dalamnya. Saya ambil contoh adalah
bab 4 yang berjudul ”Lihat, Pikir, dan Bicarakanlah yang Baik Saja”. Bab ini,
menurut saya, penting untuk dibaca dan diterapkan dalam kehidupan sekarang ini,
setidaknya kehidupan saya pribadi.
Kehidupan sekarang ini dipenuhi dengan berbagai imaginasi
negatif. Berita di koran, internet, radio, televisi, dan berbagai media lainnya
sarat dengan hal-hal negatif. Akumulasi berbagai informasi negatif ini pada
akhirnya membentuk perspektif negatif pula. Nah, saran R.I. Sarumpaet untuk
selalu melihat, berpikir, dan berbicara tentang yang baik-baik terasa tepat dan
menemukan relevansinya.
Menurut Sarumpaet, sebagaimana termuat di halaman 28-29,
ada beberapa kerugian yang harus kita terima jika banyak hal negatif mampir dan
mempengaruhi kita. Pertama, sel otak
kita akan lebih banyak berisi kesan-kesan yang tidak baik. Otak kita akan
meninggalkan kesan berdasarkan kesan yang masuk. Jika yang dominan masuk yang
negatif, ya kesan inilah yang mendominasi dan menguasai kesadaran kita.
Kedua, kesehatan fisik bisa berpengaruh. Biar bagaimanapun keburukan-keburukan
yang kita perhatikan setiap hari, akan mendongkolkan hati. Tidak mustahil yang
buruk itu mempengaruhi alat pencernaan. Tidak tertutup kemungkinan juga
menganggu tidur. Dengan demikian, hal semacam itu pada akhirnya mempengaruhi
kesehatan tubuh.
Ketiga, kegembiraan kita berkurang. Seorang yang tidak memiliki kedongkolan dalam
hatinya, akan cerah wajahnya. Akan jernih mukanya bersalaman dan bercakap-cakap
dengan sesamanya. Tetapi orang yang dongkol, biasanya tidak cerah dan tidak
jernih. Orang bijaksana tidak menambah
beban hidupnya dengan kebodohan dan kesalahan orang lain.
Keempat, orang lain kena getahnya. Oleh sebab kita dipengaruhi segala sesuatu yang
buruk, kita kurang gembira. Kita gampang tersinggung.
Kelima, waktu banyak terbuang.
Saat menulis catatan ini, saya menemukan tulisan A.S.
Laksana di Harian Jawa Pos edisi
Minggu, 17 Maret 2013. Tulisan A.S. Laksana ini menemukan spirit sama dengan
tulisan yang saya ulas ini. Atau justru kebalikannya, tulisan saya ini yang
memiliki spirit sama dengan tulisan A.S. Laksana. Spirit yang saya maksud
adalah spirit perspektif positif.
Tulisan A.S. Laksana yang muncul setiap hari minggu di Harian
Jawa Pos adalah salah satu tulisan
favorit saya. Saya sering menemukan ide, gagasan, dan pencerahan setelah
menikmati paparan sastrawan kondang ini. Gaya bahasanya memikat, dan—ini yang
menurut saya penting—selalu menawarkan optimisme di tengah kondisi yang
karut-marut.
Pada tulisan yang berjudul ”Upaya Memberi Terang dalam
Pikiran”, A.S. Laksana kembali mengajarkan—setidaknya kepada diri saya—tentang
bagaimana agar pikiran selalu jernih. Saran yang beliau berikan sangat
mendasar, yaitu bagaimana membangun perspektif tersebut sampai pada alam bawah
sadar.
Saya tersentak menyimak paparan beliau. Apa yang beliau
katakan sangat mendasar. Banyak orang yang ingin sukses tetapi justru menuai
kegagalan karena secara tidak sadar dalam dirinya terbangun perspektif negatif.
Beliau memberi contoh tentang menulis. Dengan lugas beliau menulis, ”Anda berhasrat menjadi penulis dan
berulang-ulang mengeluhkan bahwa menulis itu sulit, maka keluhan tersebut hanya
akan memperteguh keyakinan Anda sendiri bahwa menulis memang sulit”.
Coba Anda simak pernyataan tersebut. Banyak orang ingin
sukses tetapi keyakinannya tidak kuat. Ia mudah patah semangat. Keyakinan yang
tidak penuh ini menjadi modal potensial untuk menghancurkan bangunan impian
kesuksesan. Karena itu, harus dibangun keyakinan kuat bahwa kesuksesan itu
sangat mungkin untuk diraih. Dan A.S. Laksana memberikan saran yang sangat
fundamental, yaitu, ”saya selalu
menyarankan kepada mereka yang belajar menulis untuk menanamkan kesadaran
terbaik yang bisa meningkatkan kecakapan mereka. Minimum, mereka bisa
menyampaikan sebelum tidur, ”Bawah sadar, bawah sadar, keluarkan dari gudangmu
cerita menarik yang bisa kutulis esok pagi.”
Saran tersebut berlandaskan kepada keyakinan A.S. Laksana
bahwa pikiran itu ia ibaratkan ”lahan subur”.
Ia bisa ditanami apa saja. Tetapi watak lahan itu pasif. Jika setelah
menama sesuatu dibiarkan saja, tentu tidak akan tumbuh tanaman yang subur dan
berkembang biak. Tetapi jika setelah ditanam juga dirawat, dipupuk, disemai,
maka akan lahir tanaman yang subur dan memberikan hasil besar.
Oleh karena itu, kata-kata bijak A.S. Laksana yang saya
kira sangat penting sebagai bahan refleksi bersama adalah tentang pentingnya
menanamkan kesadaran terbaik. Kata Laksana, ”Menanamkan kesadaran terbaik adalah bentuk kebajikan yang bisa Anda
lakukan terhadap diri sendiri. Masalahnya, orang yang memiliki niat baik
cenderung kurang tekun bila dibandingkan dengan orang yang memiliki niat buruk.
Padahal, ketekunan adalah prinsip utama keberhasilan. Orang yang punya niat
buruk biasanya sangat tekun menjalankan niatnya dan tidak akan pernah berhenti
berupaya sebelum apa yang ia inginkan tercapai. Sebaliknya, orang yang ingin
melakukan hal baik, ketika menjumpai sedikit hambatan, biasanya akan cepat
patah.”
Jika orang ingin sukses, memang dibutuhkan tekad yang
sangat kuat. Nasehat A.S. Laksana di atas mengingatkan kita kepada banyak
petuah dalam ajaran agama bahwa untuk melakukan kebaikan, dibutuhkan kesabaran
yang tidak kecil. Dorongan dan hasrat berbuat baik memang banyak tantangannya,
sementara kejahatan biasanya didukung dengan hasrat yang kokoh. Karena itu,
jika ingin sukses dan menebarkan kebaikan, saya kira saran A.S. Laksana penting
untuk dipertimbangkan; menjadikannya sebagai tujuan sampai pada level bawah
sadar. Terima kasih banyak kepada A.S. Laksana atas nasehatnya yang selalu
mengajak untuk ”berpikir terang”. Trenggalek,
29/3/2013.
Salam Literasi!
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.