Oleh Ngainun Naim
Semasa duduk di Madrasah Aliyah, saya memiliki seorang guru yang sangat
rajin membaca. Ke mana-mana beliau menenteng beberapa buku tebal. Kebiasaan itu
menjadikan kami menyebut beliau sebagai ”Perpustakaan Keliling”.
Dampak dari kebiasaan membaca beliau adalah luasnya wawasan dan pengetahuan
yang beliau miliki. Setiap kali mengajar, rasanya selalu ada banyak ilmu yang
saya peroleh. Beliau mampu mengaitkan berbagai hal dalam pelajaran. Saya yakin
hal itu disebabkan karena beliau rajin membaca.
Saat kuliah saya mendapatkan lebih banyak lagi role model dalam membaca. Saya merasa senang saat diajar oleh dosen
yang rajin membaca, memiliki pengetahuan luas, dan produktif berkarya. Rasanya
ingin sekali meniru para dosen tersebut.
Membaca dan kontribusinya bagi kemajuan hidup—individu maupun
masyarakat—sudah tidak perlu diragukan lagi. Membagun tradisi membaca sangat
besar artinya untuk menciptakan individu-individu yang berkualitas.
Berkaitan dengan tradisi membaca ini, kita bisa belajar banyak kepada para
ilmuwan maupun tokoh-tokoh besar. Salah seorang di antaranya adalah Syaikh Ali
Thanthawi. Beliau bercerita tentang bagaimana aktivitasnya membaca. “Jika
dihitung bilangan jam waktu yang kupergunakan untuk membaca, niscaya lebih dari
sepuluh jam setiap hari, karena sejak kecil aku hampir jarang keluar rumah.
Jika dikalkulasi rata-rata setiap jamnya sepuluh halaman, dengan perbandingan
sepuluh halaman untuk buku berat dan sepuluh halaman untuk buku ringan, niscaya
setiap hari aku telah membaca dua ratus halaman. Maka coba kalkulasikan sendiri
berapa halaman yang telah kulahap semenjak pertama kali menelaah buku hingga
dalam rentang waktu tujuh puluh tahun.
Tujuh puluh tahun yang dalam setahunnya ada dua belas bulan, tiap bulan
terdiri dari tiga puluh hari, lalu kali seratus halaman per hari. Sejak dulu
hingga kini, aku masih eksis membaca berbagai disiplin ilmu, semacam tafsir,
fikih, tarikh, sastra (Arab dan Prancis) dan disiplin ilmu yang lain.”
Jika diambil rata-rata, beliau dalam sehari mampu menghabiskan 100 halaman.
Dengan demikian, sampai usia tujuh puluh tahun telah membaca paling tidak
2.520.000 halaman. Dan jika dalam sehari mampu menelaah sampai 200 halaman,
berarti beliau telah membaca 5.040.000 halaman dalam rentang waktu 70 tahun.
Syaikh Thanthawi juga berkata, ”Aku juga telah menulis lebih banyak
dibanding orang-orang yang kukenal, kecuali beberapa orang semisal Amir Syakib
Arsalan dan Abbas Mahmud al-Akkad. Dan artikelku yang dimuat media massa lebih
dari tiga belas ribu halaman, sedangkan yang hilang sejumlah itu juga dan
bahkan lebih” (Jasiem M. Badr al-Muthowi’, 2004: 34-35).
Kita bisa meneladani apa yang telah beliau lakukan. 100 halaman memang
bukan jumlah yang sedikit. Dibutuhkan keseriusan untuk melakukannya. Kesibukan,
rasa malas, dan berbagai hambatan lainnya menjadikan 100 halaman sering tidak
mudah untuk dikerjakan. Justru karena itulah jika Anda mampu membaca 100
halaman setiap harinya maka Anda akan menjadi orang pandai.
Salam!
Trenggalek-Tulungagung, 24 Oktober 2013
Ngainun Naim
Referensi:
Jasiem M. Badr al-Muthowi’. Efisiensi Waktu, Konsep Islam, terj. M.
Azhari Hatim dan Rofi’ Munawwar. Surabaya: Risalah Gusti, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.