Oleh Ngainun Naim
Entah yang ke berapa kali saya menulis yang berkaitan
dengan buku. Saya tidak ingat persis. Mungkin sudah puluhan kali.
Buku memang selalu memesona. Saya berulangkali
mendapatkan inspirasi, pencerahan, dan pengetahuan baru dari buku. Memang hanya
sebagian kecil saja buku-buku saya yang sudah terbaca, sementara sebagian
besarnya teronggok kurang rapi di berbagai tempat. Tetapi selalu saja, begitu
kondisi memungkinkan, buku menjadi pilihan untuk dibeli, dipinjam, atau dibaca.
Tulisan ini juga lahir karena buku. Saya belum sempat
membaca secara tuntas buku yang memberikan inspirasi tersebut. Hanya sekilas
saja saya lihat di bagian pengantarnya. Dan tiba-tiba, terbersit keinginan
untuk menulis artikel ini.
Buku ini terbeli secara tidak sengaja. Ceritanya, hari
sabtu sore (09/11/2013) anak saya menelpon saat saya sedang ikut workhsop di
sebuah hotel di Tulungagung. Ia meminta saya memberikan surprise karena ia memang sedang ulang tahun. Saya, tentu saja,
mengiyakan.
Saya berpikir keras hadiah apa yang bisa membuat anak
saya surprise. Ada beberapa
alternatif. Salah satunya adalah buku.
Saya memang berusaha mendekatkan anak saya dengan buku.
Menjelang tidur di malam hari, jika sedang di rumah dan tidak capek berat, saya
biasanya membacakan buku untuk anak saya. Buku yang saya bacakan temanya
beranekaragam. Di antaranya adalah cerita nabi dan orang-orang shaleh. Saya
berharap kelak ia bisa meneladaninya.
Selesai acara sesi sore, saya meluncur ke Toko Buku
Togamas Tulungagung. Saya berkeliling mencarikan buku. Beberapa waktu
berkeliling, saya tidak menemukan buku sebagaimana yang saya maksudkan. Justru
saya mendapatkan buku untuk diri saya sendiri. Salah satunya adalah karya Dr.
Nadirsyah Hosen. Judulnya Mari Bicara
Iman (Jakarta: Zaman, 2011).
Buku ini pernah mau saya beli beberapa waktu lalu, tetapi
saya urungkan karena pertimbangan dana. Sore kemarin, saya segera saja
membelinya karena ada diskon besar.
Ada bagian menarik yang kemudian menjadi sumber ide untuk
tulisan ini, yaitu pada bagian pengantar. Di situ Dr. Nadirsyah menyebutkan bahwa
beliau merupakan intelektual kelas milis
(hlm. 12). Meskipun konteksnya berbeda, saya pernah disebut oleh seorang
teman sebagai intelektual kelas blog. Hal ini disebabkan karena saya lumayan
sering menulis di blog. Saya sendiri sesungguhnya merasa tidak pantas dengan
sebutan intelektual. Saya bukan siapa-siapa dan tidak layak untuk disebut
sebagai intelektual. Saya hanya orang yang sedang belajar menulis dan berharap
tulisan yang saya buat bisa memberikan manfaat kepada sesama.
Berkaitan dengan manfaat ini, ada kalimat menarik di buku
Dr. Nadirsyah yang membuat saya mendapatkan inspirasi yang mendasar. Ceritanya,
salah satu tulisan Dr. Nadirsyah dijadikan naskah buletin jumat di Lombok.
Temannya mengirimi pesan membanggakan. ”Nikmatnya jadi ustad di internet,
ribuan kilometer antum sedang asyik tidur, sementara pahala mengalir dari
mana-mana sampai ke pelosok Lombok” (hlm. 13).
Kalimat ini menurut saya sangat menggetarkan. Saya
terkesiap sekaligus terinspirasi untuk menjaga stamina menulis. Ya, menulis merupakan
sarana ibadah. Jika tulisan saya memberikan manfaat, Insyaallah pahalanya akan
mengalir kepada saya.
Tentu saja, saya tidak boleh berharap terlalu berlebihan.
Kalaupun ada yang memetik manfaat dari tulisan saya, tentu saya sangat
berbahagia. Kalaupun tidak ada, atau bahkan tidak ada yang membacanya sama
sekali, masih ada pembacanya yang setia, yaitu saya sendiri.
Tulungagung,
10 November 2013
Ngainun
Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.