Oleh Ngainun Naim
Mantan Menteri Agama, Prof. Dr. K.H. M. Tholhah Hasan dalam sebuah acara di
Pondok Pesantren Al-Fatah Mangunsari Tulungagung menyatakan bahwa salah satu ”penyakit”
yang menghinggapi banyak orang—termasuk orang alim sekalipun—adalah dengki. Penyakit ini menyebabkan orang
yang terinfeksi tidak rela melihat orang lain menerima anugerah, apalagi
anugerahnya lebih baik dibandingkan yang diterimanya. Ia sakit hati saat orang
lain lebih baik dari dirinya. Akibat penyakit ini tidak hanya merugikan diri
sendiri, melainkan juga menyebabkan terjadinya persoalan dalam kehidupan sosial
secara luas.
Sesungguhnya kita tidak asing lagi dengan kata ini. Ya, dengki merupakan
kata yang banyak diucapkan, didiskusikan, atau dijadikan tema pengajian.
Semuanya mengingatkan bahwa dengki itu bukan hal yang baik. Dengki jangan
dipelihara. Dengki menjadi titik awal untuk menghancurkan orang lain.
Menurut Dr. Nadirsyah Hosen dalam buku Mari
Bicara Iman (Jakarta: Zaman, 2011), dengki adalah persoalan hati. Dari
dengki akan lahir buruk sangka. Dari buruk sangka akan lahir fitnah dan
tuduhan. Dan seseorang akan ”senang” jika fitnah dan tuduhan yang dibuatnya
bisa didengar oleh orang lain. Fitnah itu pun menyebar. Begitulah.... Dengki
melahirkan perilaku-perilaku buruk lainnya (h. 46-47).
Pendapat Dr. Nadirsyah ini menarik untuk kita renungkan dan kita jadikan
refleksi dalam konteks kehidupan personal dan sosial kita. Secara personal,
orang yang mengidap penyakit dengki tidak pernah merasakan tenang. Ia akan selalu
gelisah. Kehidupannya hanya berisi ketidakpuasan dan kebencian terhadap orang
lain. Jika ada tetangganya mendapatkan rejeki, ia akan sibuk mencari logika
untuk menjatuhkannya. Ia akan bahagia kalau orang lain justru sengsara. Kondisi
ini terus berlanjut selama sifat dengki menjangkiti dirinya.
Secara sosial, sifat dengki ini telah menyebabkan tatanan kehidupan menjadi
tidak harmonis. Aspek kerukunan bisa terganggu karena masing-masing individu
berusaha mencari titik kelemahan orang lain. Sisi positif yang seharusnya lebih
dikedepankan justru tidak kelihatan pada individu dan komunitas yang mengidap
dengki ini.
Oleh karena itu, mari kita kelola diri kita. Mari kita gunakan sudut
pandang positif. Lihatlah bahwa sisi positif yang dimiliki orang lain merupakan
anugerah dan sarana bagi diri untuk belajar. Marilah belajar memuji daripada
mencaci. Memuji akan membuat hidup kita selalu penuh senyum kebahagiaan. Memang
tidak mudah untuk melakukannya, tetapi kita sesungguhnya mampu jika mau. Semoga
kita semua menjadi manusia yang tidak terhinggapi dengki dan iri hati.
Tulungagung, 12 November
2013
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.