Oleh Ngainun Naim
Salah satu persoalan serius yang kita hadapi sekarang ini adalah
meningkatnya gejala demoralisasi. Gejala ini terjadi pada hampir semua aspek
kehidupan. Ada kegelisahan dan keresahan secara luas yang dirasakan oleh
masyarakat, tetapi tidak ada langkah sinergis yang melibatkan semua elemen
masyarakat. Langkah yang dilakukan kebanyakan hanya keluh kesah. Memang ada
yang melakukan langkah-langkah yang lebih produktif dalam bentuk pemikiran atau
aksi, tetapi jumlahnya tidak terlalu dominan. Justru yang dominan adalah mereka
yang merasakan kemuakan dan harapan perbaikan dalam asa semata.
Dalam kerangka perbaikan untuk mengatasi krisis moralitas, menarik
menyimak pemikiran Nurcholish Madjid. Cendekiawan Muslim yang memiliki wawasan
mendalam ini memiliki perhatian terhadap berbagai persoalan moralitas dalam
masyarakat. Sebab, dalam pandangan Cak Nur, akhlak atau moralitas itu penting
maknanya karena merupakan sendi atau landasan ketahanan suatu bangsa dalam
menghadapi pancaroba (1997a: 174). Landasan itu yang menentukan
terhadap kokoh atau tidaknya sebuah bangunan. Ketika dalam proses perubahan
sosial yang berlangsung sedemikian massif, sangat mungkin aspek moralitas tidak
mampu untuk dijaga. Jika terjadi krisis moralitas maka perjalanan bangsa ke
depan akan menghadapi berbagai tantangan yang semakin akut.
Oleh karena itu, menurut Cak Nur, untuk mengantisipasi adanya perubahan
dalam masyarakat, tidak cukup hanya dengan melakukan pendekatan praktis dan
pragmatis. Menurut Cak Nur, hal yang lebih penting justru bagaimana
meningkatkan pembangunan kelembagaan sosial budaya karena adanya hubungan
sistemik-sibernetik antara budaya dan kemasyarakatan budaya. Kata Cak Nur,
perangai, dan juga perilaku seseorang itu tumbuh dan berubah hanya sampai batas
minimal sesuai dengan tuntutan situasi yang terdekat dalam hidupnya (1997b:
191).
Perubahan memang merupakan realitas yang tidak mungkin untuk dihindari.
Dalam dinamika sosial yang berlangsung sedemikian massif, ada aspek yang
menjadi konsekuensinya, yaitu timbulnya krisis. Ukuran krisis itu sebanding
dengan ukuran perubahan yang terjadi. Dan kondisi sosial tertentu akan
mendorong tumbuhnya sistem nilai tertentu (2009: 160).
Krisis yang timbul akibat adanya perubahan sosial kebanyakan bersifat
negatif. Dalam analisis yang dilakukan oleh Cak Nur—panggilan Nurcholish
Madjid—ada beberapa dampak negatif akibat perubahan sosial. Pertama, “deprivasi
relatif”, yaitu perasaan teringkari, tersisihkan atau tertinggal pada orang
lain dan kalangan tertentu dalam masyarakat kita akibat tidak dapat mengikuti
laju perubahan, dan kesulitan menyesuaikan diri dengan perubahan itu. Kedua,
“dislokasi”, yaitu perasaan tidak punya tempat dalam tatanan sosial yang
sedang berkembang. Dalam wujudnya yang amat nyata, dislokasi ini dapat dilihat
pada krisis-krisis yang dialami oleh kaum marginal atau pinggiran di kota-kota
besar akibat urbanisasi. Ketiga, “disorientasi”, yaitu perasaan tidak
mempunyai pegangan hidup akibat yang ada selama ini tidak lagi dapat
dipertahankan karena terasa tidak cocok. Disorientasi ini menyebabkan yang
bersangkutan sulit mengenali diri sendiri (kehilangan identitas). Keempat, “negativisme”,
yaitu perasaan yang mendorong ke arah pandangan yang serba negatif kepada susunan
mapan, dengan sikap-sikap tidak percaya, curiga, bermusuhan, melawan, dan
sebagainya (2009: 160).
Namun demikian, tidak setiap perubahan sosial membawa dampak negatif.
Perubahan justru bisa mendatangkan sisi positif ketika terdapat kesiapan untuk
menghadapinya. Oleh karena itu, aspek mendasar yang harus ditanamkan dalam diri
anak didik adalah bagaimana mereka memiliki landasan yang kokoh dalam
menghadapi perubahan. Landasan tersebut adalah nilai-nilai ajaran agama.
Tulungagung, 1
Oktober 2013
Ngainun Naim
Referensi:
Nurcholish
Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
Paramadina, 1997a).
Nurcholish
Madjid, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, (Jakarta:
Paramadina, 1997b).
Nurcholish
Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Cet. II, (Jakarta: Paramadina dan
Dian Rakyat, 2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.