Oleh Ngainun Naim
Berita yang kita baca akan memberikan dampak terhadap
cara pandang kita. Jika setiap hari kita terus saja diserbu dengan berita
negatif, cara pandang kita pun akan terpengaruh. Sebaliknya, jika kita sering
mengkonsumsi berita positif, maka kita pun juga akan terpengaruh secara
positif.
Sayangnya, media kita lebih menyukai berita dengan nuansa
negatif. Kasus korupsi, penggerebekan, penangkapan, debat politik, dan
sejenisnya lebih menarik perhatian dibandingkan berita tentang prestasi,
kedisiplinan, perbaikan mental, dan sejenisnya. Tidak hanya media saja.
Masyarakat pun tampaknya juga lebih menyukai hal-hal yang negatif dan
kontroversi dibandingkan dengan hal positif-normatif.
Di tengah serbuan berita bombastis tentang politik,
korupsi, dan dunia hiburan, saya menemukan berita menyejukkan tentang ibadah
korban. Bukan berita headline.
Letaknya pun hanya di halaman dalam. Tetapi berita tersebut terasa menghunjam
dan menusuk dimensi kemanusiaan. Berita tersebut bukan tentang ribuan orang
yang berdesakan berebut daging korban, tetapi tentang ’orang kecil’ yang harus
berjuang keras menyisihkan hartanya agar bisa berkorban.
Membaca berita tentang bagaimana ’orang-orang kecil’
tersebut berjuang, saya merasakan keharuan mendalam. Saya seperti
’ditelanjangi’. Mereka yang hidupnya tidak lebih baik secara ekonomi
dibandingkan saya ternyata memiliki spirit ibadah yang sedemikian menggetarkan.
Mereka harus berjuang keras bertahun-tahun menabung agar bisa berkurban.
Substansi perjuangan mereka saya kira bukan pada prosesi ibadahnya saja, tetapi
juga pada komitmen ibadah dan proses panjang untuk mewujudkannya. Berita
tersebut membuat saya malu sekaligus bersyukur. Malu karena saya belum mampu
melakukannya. Bersyukur karena spirit yang mereka miliki membuat saya ingin
memperbaiki diri.
Berita pertama saya baca di Harian Jawa Pos Radar
Tulungagung edisi Senin, 14 Oktober 2013. Judulnya, ”Abdul Mursid dan Sumarlin
Pasutri Berkurban Sapi, Kumpulkan Uang dari Berjualan Cilok dan Upah
Pramuwisma”. Pasangan suami istri ini tinggal di Desa Sobontoro Kecamatan
Boyolangu Kabupaten Tulungagung. Pada tahun ini, untuk keempat kalinya pasangan
suami istri tersebut menjalankan ibadah korban. Tahun ini menjadi lebih
istimewa karena hewan kurbannya adalah sapi, walaupun dibeli secara bersama
dengan beberapa tetangganya. Pasangan suami istri ini adalah pasangan istimewa
karena untuk makan sehari-hari saja terkadang sulit, tetapi semangat
berkurbannya tidak terbendung. Mereka juga belum memiliki rumah sendiri. Rumah
yang mereka tempati adalah warisan orang tuamu.
Spirit berkurban yang sedemikian besar dilandasi
keyakinan keduanya bahwa berkurban itu memberikan berkah. Keyakinan inilah yang
membuat keduanya berusaha untuk menyisihkan uang setiap harinya tanpa ada
ketentuan besarnya.
Berkah memang menjadi misteri hidup. Berkah itu tidak
bisa dilihat secara kasat mata dan dinalar mengikuti hukum-hukum ilmiah. Ia
ada, hadir, dan dirasakan oleh yang mendapatkannya. Bentuknya bisa berupa
ketenangan batin, peningkatan kualitas hidup, keturunan yang sukses, dan sebagainya.
Spirit besar berkorban juga dilakukan oleh Bambang,
seorang pengayuh becak di Pasuruan yang berkorban seekor sapi seharga Rp 13
juta. Tidak hanya tahun ini saja Bambang berkorban sebab tahun ini merupakan
kali ketiga Bambang berkorban.
Sebagaimana dimuat di Harian Jawa Pos edisi Selasa, 15
Oktober 2013, Bambang mulai berkorban pada tahun 2009. Saat itu, ia berkorban
seekor kambing. Tiga tahun setelah itu, yakni tahun 2012, ia kembali berkorban
dua ekor kambing. Dan tahun ini, tahun 2013, ia berkorban seekor sapi.
Aspek yang penting diteladani dari sosok Bambang adalah
semangatnya yang sangat besar untuk berkorban. Profesi sebagai tukang becak
tidak menyurutkan niatnya berkorban. Sama seperti yang dilakukan pasangan Abdul
Mursid-Mursalin dari Tulungagung, Bambang juga rajin menabung. Setiap
mendapatkan penghasilan, ia menyisihkannya dengan memasukkan ke dalam bantalan
becak yang merupakan tempat duduk yang sengaja dia lubangi.
Tabungan sebesar Rp 13 juta yang dia gunakan untuk
berkurban pada tahun ini merupakan hasil jerih payahnya selama 10 tahun
menabung. Ini ditambah dengan tabungan dari uang istrinya sebagai tukang pijat.
Saya sangat yakin ada begitu banyak orang yang melakukan
hal yang sama. Hanya saja mereka tidak terekspose media. Atau mungkin mereka
tidak mau dipublish. Spirit beribadah kurban yang sedemikian besar di tengah
keterbatasan ekonomi adalah teladan hidup yang sangat luar biasa. Berita
keteladanan semacam ini yang saya kira justru perlu untuk kita sebar luaskan.
Melalui cara semacam ini, kebaikan sosial diharapkan dapat cepat terwujudkan.
Semoga.
Tulungagung--Trenggalek, 17 Oktober 2013
Ngainun Naim
www.ngainun-naim.blogspot.com
Beberapa hari ini, saya menunggu tulisan jenengan yang di blog, ustad. Semoga segera diposting lagi. Suwon.....
BalasHapus