Menulis
Itu Soal Hidup dan Keberanian
Oleh Ngainun Naim
Tulisan
saya dua hari lalu, Jika Satu Halamanpun
Tidak Kita Tulis, Bagaimana Bisa Maju?, mendapatkan beberapa tanggapan dari
teman-teman pembaca, khususnya saat saya sebarkan di blog pribadi dan FB. Adanya tanggapan tersebut menggembirakan saya karena menunjukkan bahwa
tulisan tersebut ternyata ada yang membaca. Beberapa di antaranya menyampaikan
bahwa tulisan saya memberikan motivasi kepada mereka untuk semakin giat
menulis.
Namun ada satu tanggapan yang menurut saya penting untuk
dicermati dari seorang teman pembaca, yaitu tentang sulitnya menyisihkan waktu
untuk menulis. Kesibukan sehari-hari yang bejibun menjadikan keinginan menulis
sebatas sebagai keinginan. Saya membaca secara tersirat sesungguhnya kawan tersebut
memiliki keinginan untuk menulis, tetapi sulit baginya untuk menyisihkan waktu
buat menulis.
Soal waktu. Ya, soal kesibukan yang biasanya selalu
menjadi alasan untuk menulis. Memang, jika kita cermati, kesibukan kita kian
hari biasanya bukan kian berkurang melainkan kian meningkat tajam. Waktu seolah
habis untuk beraktivitas dan tidak menyisakan sedikit pun kesempatan untuk
menulis.
Benarkah? Soal waktu untuk menulis ini mengingatkan saya
kepada tulisan Edy Zaqeus dalam bukunya yang monumental, Resep Cespleng Menulis Buku Bestseller, Cet. III (Jakarta:
Fivestar, 2008). Pada buku tersebut, Edy membagi orang sibuk menjadi beberapa
tipe. Pertama, tipe orang-orang yang
sibuk total. Mereka ini hampir mustahil mengalokasikan waktu memadai untuk
beraktivitas di luar urusan keseharian mereka.
Kedua, tipe orang yang sibuk, tetapi masih punya sedikit waktu luang, yang
biasanya dihabiskan untuk rekreasi bersama keluarga atau menjalankan hobinya.
Ketiga, tipe orang sibuk yang masih punya sedikit waktu luang, namun belum
dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan produktif.
Mereka yang termasuk kategori ketiga ini yang memiliki
peluang untuk menulis. Karena itu, kata Edy, ”kita harus mampu menjadikan segala
medan, waktu, dan orang sebagai stimulatir proses kreatif. Yang dibutuhkan
kemudian adalah menetapkan waktu-waktu khusus, katakanlah 1-2 jam setiap
harinya, untuk fokus menyusun bahan dan menuliskannya”.
Secara sederhana sesungguhnya persoalan manajemen waktu. Atau
dalam bahasa Sindhunata, menulis itu soal hidup dan keberanian. Jika kita
menjadikan menulis sebagai bagian tidak terpisah dari hidup kita, maka kita
akan berani melakukan langkah inovatif untuk melakukannya. Jadi tidak ada
alasan untuk tidak memiliki waktu.
Trenggalek, 15 Oktober 2013
Ngainun
Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.