Oleh Ngainun Naim
Salah satu kebahagiaan yang saya rasakan adalah saat bisa
membantu teman belajar menulis. Jika dalam perkembangannya teman yang belajar
menulis tersebut bisa menghasilkan tulisan yang baik, kebahagiaan saya semakin
bertambah. Apalagi jika kemudian dia mampu produktif menghasilkan karya.
Jika ditelisik, sesungguhnya peminat dunia menulis itu
cukup banyak. Tetapi karena berbagai sebab, mereka tidak bisa mengembangkan
potensi yang dimilikinya.
Salah satu sebabnya karena tidak ada media untuk
menampung tulisan. Seorang penulis itu membutuhkan apresiasi dari orang lain.
Dulu, ketika media sosial dunia maya belum berkembang pesat seperti sekarang
ini, salah satu ukuran keberhasilan seorang penulis adalah saat karyanya dimuat
di media cetak. Perjuangan untuk bisa dimuat itu jelas tidak ringan. Jumlah
media terbatas, sementara jumlah karya tulis yang masuk bertumpuk. Akibatnya,
hanya sedikit penulis yang karyanya berhasil dimuat. Itupun biasanya adalah
para penulis yang sudah punya nama. Sementara penulis baru biasanya harus
menghadapi ujian seleksi redaksi yang panjang. Mungkin tulisan yang kesekian
puluh baru bisa masuk.
Di sinilah justru yang menjadi persoalan. Tidak sedikit
penulis pemula yang tidak tahan menunggu. Mereka merasa putus asa dan akhirnya
meninggalkan dunia menulis. Mereka merasa dunia menulis bukan dunianya.
Buktinya, berkali-kali mengirim naskah ternyata tidak juga ada satu pun yang
dimuat.
Sekarang, media untuk memuat tulisan tidak hanya media
cetak. Media sosial memberikan peluang menulis yang sangat luas. Hadirnya media
ini dalam kenyataannya telah menumbuhsuburkan potensi menulis yang selama ini
terpendam. Kompasiana adalah salah satu contohnya. Saya membaca ada begitu
banyak penulis yang produktif di Kompasiana. Mereka menemukan dunia baru
setelah berkenalan dengan blog keroyokan ini. Karya tulisnya rajin menyapa
pembaca nyaris tanpa jeda. Ada yang sehari menulis sampai tiga atau empat
artikel. Ada yang rutin sehari sekali. Ada yang seminggu 3-4 naskah dan
sebagainya.
Media, dengan demikian, sekarang ini bukan lagi menjadi
persoalan. Ada banyak media yang dapat dimanfaatkan untuk menampung tulisan.
Tinggal bagaimana menulis dan menjaga spirit untuk terus menulis.
Para penulis pemula biasanya memiliki hasrat yang sangat
besar untuk menulis, tetapi kurang diimbangi dengan praktik menulis. Saya
sendiri bukan penulis yang baik. Saya masih belajar dan terus belajar agar
menghasilkan karya yang baik. Menurut keyakinan saya, menulis itu lebih
merupakan dunia praktik daripada teori. Teori penting, tetapi yang lebih
penting lagi adalah praktik menulis. Buat apa menguasai teori menulis yang
sangat luas dan mendalam jika tidak satu karya pun dihasilkan? Memang tetap
saja ada manfaatnya menguasai teori, tetapi penguasaan teori tidak menjamin
seseorang bisa menulis. Yang membuat seseorang bisa menulis adalah praktik menulis.
Saya memiliki pengalaman menarik berkaitan dengan seorang
teman yang belajar menulis. Teman tersebut merupakan peserta sebuah acara di
mana saya pernah menjadi narasumber di sebuat perguruan tinggi swasta di
Madiun. Beberapa hari setelah mengisi acara tersebut, dia berkirim SMS
berkaitan dengan menulis. Saya jawab setiap pertanyaan yang dia kirim. Jawaban SMS yang saya
kirim rupanya membuat dia semakin rajin bertanya. Nyaris tiap hari dia kirim
SMS. Saya pun berusaha menjawab setiap SMS yang dia kirimkan.
Tetapi lama kelamaan SMS yang dia kirim makin menggelikan
dan menjengkelkan. Salah satunya dia bertanya tentang cara menerbitkan buku.
Pertanyaan teknis yang membuat saya tersenyum kira-kira begini: ”Kalau misalnya
saya sudah sampai di kantor penerbit buku, siapa pak yang harus saya temui
pertama kali?”. Saya baca SMS itu dengan agak geli. Masak sampai persoalan
semacam itu ditanyakan, begitu pikir saya. Secara reflek saya jawab, ”Satpam
mas”.
Beberapa hari kemudian dia SMS lagi, lalu saya tanya:
”Sudah mencoba membuat tulisan?”, tanya saya. ”Belum Pak”, jawabnya.
Saya pun kemudian memberi saran kepada dia bahwa menulis
itu jangan banyak tanya, tetapi segeralah praktik menulis. ”Anda tetap tidak
akan bisa menulis dengan banyak bertanya, tetapi dengan banyak menulis”.
Kediri, 19 Oktober 2013
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.