Oleh Ngainun Naim
Saya sedang mempersiapkan sebuah tulisan pendek untuk blog dan FB ketika
sebuah pesan email masuk di HP saya. Saya cek ada seseorang menandai saya di
FB. Mas Musytarif Muhammad rupanya membuat catatan yang menandai saya. Saya
buka catatan Mas Musytarif. Saya tertegun tetapi kemudian merasakan
kegembiraan.
Rupanya catatan yang saya buat kemarin pagi setelah subuh dan kemudian saya
unggah di FB, blog, dan kompasiana telah dibaca oleh banyak orang. Sampai sore
ini, di Kompasiana catatan tersebut telah dibaca oleh 84 orang, di blog dibaca
19 orang, dan di FB dilike oleh 19 orang serta mendapatkan 6 komentar.
Tulisan Mas Musytarif sesungguhnya makin memperkaya tulisan saya. Ia
menguraikan dalam perspektif yang lebih luas. Catatannya saya rasakan sebagai
sebuah ikhtiar ilmiah yang harus terus disemai agar menjadi lebih luas dan
bermanfaat.
Saya tidak akan mengomentari balik tulisan Mas Musytarif. Saya hanya akan
menambah perspektif saja yang saya ambilkan dari buku saya, Character Building. Pada salah satu
bagian buku tersebut saya menulis tentang Keunikan Manusia. Salah satu aspek
penting yang perlu dipahami adalah dunia anak itu berbeda dengan dunia orang
tua. Keunikan anak seharusnya disemai dan diberdayakan sedini mungkin.
Menurut Kak Seto, ada beberapa hal
mendasar yang penting untuk diperhatikan dalam memahami anak-anak. Pertama, anak bukan orang dewasa mini.
Anak adalah tetap anak-anak, bukan orang dewasa ukuran mini. Mereka memiliki
keterbatasan-keterbatasan bila harus dibandingkan dengan orang dewasa. Selain
itu, mereka juga memiliki dunia tersendiri yang khas dan harus dilihat dengan
kacamata anak-anak. Untuk itu, menghadapi mereka dibutuhkan adanya kesabaran,
pengertian serta toleransi yang mendalam. Mengharapkan mereka bisa mengerti sesuatu
dengan cepat dengan membayangkan bahwa mereka adalah orang-orang dewasa seperti
kita, tentu bukan merupakan sikap yang bijaksana.
Kedua, dunia bermain. Dunia mereka adalah dunia bermain, yaitu
dunia yang penuh dengan spontanitas dan menyenangkan. Sesuatu akan dilakukan
oleh anak dengan penuh semangat apabila terkait dengan suasana yang
menyenangkan. Namun sebaliknya akan dibenci dan dijauhi oleh anak apabila
suasananya tidak menyenangkan. Seorang anak akan rajin belajar, mendengarkan
keterangan guru atau melakukan pekerjaan rumahnya apabila suasana belajar
adalah suasana yang menyenangkan dan menumbuhkan tantangan.
Ketiga, berkembang. Selain tumbuh secara fisik, anak juga
berkembang secara psikologis. Ada fase-fase perkembangan yang dilaluinya.
Perilaku yang ditampilkan anak akan sesuai dengan ciri masing-masing fase
perkembangan tersebut. Dengan memahami bahwa anak berkembang, kita akan tetap
tenang dan bersikap bijaksana dalam menghadapi berbagai gejala yang mungkin
muncul pada setiap tahap tertentu perkembangannya tersebut.
Keempat, senang meniru. Anak-anak pada dasarnya senang meniru
karena salah satu proses pembentukan tingkah laku mereka diperoleh dengan cara
meniru. Anak-anak yang gemar membaca umumnya adalah anak-anak yang mempunyai
lingkungan di mana orang-orang lain di sekitarnya mempunyai kebiasaan membaca
yang baik tersebut.
Para tokoh besar yang memiliki tradisi membaca yang kuat umumnya juga
mendapatkan benih-benih kegemaran membaca dari keluarganya. Ketersediaan bahan
bacaan dan teladan membaca yang diberikan oleh anggota keluarga menjadikan
anak-anak memiliki keinginan untuk menirunya. Begitulah, tradisi membaca dalam
keluarga biasanya akan berlanjut dari generasi ke generasi. Anak-anak akan
meniru dan melakukannya dengan penuh rasa senang terhadap aktivitas membaca
karena anggota keluarga yang lainnya juga melakukan hal yang sama.
Oleh karena itu, dalam mendidik anak diusahakan agar orang tua dan
lingkungan memberikan teladan yang baik. Sebab apa pun yang dilakukan oleh
orang-orang di lingkungan anak—ucapan, sikap atau perilaku—akan ditiru, baik
itu positif maupun negatif. Teladan baik akan mendorong anak memiliki pribadi
yang baik. Sebaliknya, teladan buruk juga akan mendorong anak memiliki
kepribadian buruk.
Anak-anak yang perilakunya buruk biasanya juga meniru dari lingkungannya
sebab tidak ada manusia yang lahir dengan karakter buruk. Semuanya memiliki
potensi dan nilai-nilai kebaikan. Jika kemudian mereka memiliki perilaku buruk,
hampir dapat dipastikan karena adanya pengaruh faktor eksternal. Para perokok
misalnya, umumnya jarang yang melakukan karena dorongan dari diri pribadi.
Pergaulan dan ajakan teman yang biasanya menjadikan seseorang memiliki
kebiasaan merokok.
Media massa pernah memberitakan tentang seorang anak usia 4 tahun di Malang
Jawa Timur yang memiliki kebiasaan merokok. Anak tersebut merokok sehari lebih
dari sebungkus. Kebiasaan ini tampaknya tidak mendapat perhatian secara memadai
dari orang tuanya. Kebiasaan ini lahir ternyata karena si anak setiap hari
melihat ayahnya yang merokok.
Kelima, kreatif. Anak-anak pada dasarnya adalah kreatif. Mereka
memiliki ciri-ciri yang oleh para ahli sering digolongkan sebagai ciri-ciri
individu yang kreatif, misalnya rasa ingin tahu yang besar, senang bertanya,
imajinasi yang tinggi, minat yang luas, tidak takut salah, berani menghadapi
resiko, bebas dalam berpikir, senang akan hal-hal yang baru, dan sebagainya.
Namun sering dikatakan bahwa begitu anak masuk sekolah, kreativitas anak pun semakin
menurun. Hal ini sering disebabkan karena pengajaran yang diberikan terlalu
menekankan pada cara berpikir secara konvergen, sementara cara berpikir secara
divergen kurang dirangsang.
Dalam hal ini guru perlu memahami kreativitas yang ada pada diri anak-anak
dengan bersikap luwes dan kreatif pula. Bahan-bahan pelajaran di sekolah
hendaknya tidak sekadar menuntut anak untuk memberikan satu-satunya jawaban
yang benar menurut guru saja. Kepada mereka tetaplah perlu diberi kesempatan
untuk mengembangkan imajinasinya secara ‘liar’ dengan menerima dan menghargai
adanya alternatif jawaban yang kreatif.
Kesempatan dan penghargaan yang diberikan oleh guru sangat penting artinya
bagi eksistensi diri anak. Guru seharusnya menyadari bahwa anak itu unik.
Antara satu dengan lainnya memiliki karakter yang berbeda. Perbedaan ini
menjadi kunci penting dalam menentukan sikap, perilaku, dan perlakuan saat
mengajar. Tidak bisa semua anak diperlakukan secara sama.
Implementasi lebih jauh dari filosofi bahwa setiap anak itu unik adalah
memberi kesempatan kepada setiap keunikan yang dimiliki oleh anak untuk
dieksplorasi dan dikembangkan. Penyeragaman merupakan cara yang kurang bijak.
Upaya penyeragaman sangat mungkin justru mengeliminir, atau bahkan—pada tingkat
yang ekstrim—mematikan, terhadap segenap potensi yang dimiliki oleh anak. Guru
harus melatih setiap anak untuk mengembangkan apa yang dimilikinya. Pemberian
alternatif jawaban merupakan salah satu sarana dalam kerangka tersebut.
Memang bukan hal mudah untuk mengimplementasikan konsep ini. Dalam berbagai
diskusi dengan teman-teman guru, salah satu persoalan yang muncul adalah
bagaimana mengkompromikan antara tuntutan kurikulum dengan idealitas dalam
mengeksplorasi dan mengembangkan potensi anak tersebut. Sebab, bukan hal mudah
untuk menjalankan keduanya. Jika mengacu kepada acuan kurikulum sepenuhnya,
banyak hal yang kurang mampu digali dari diri anak-anak yang beraneka ragam.
Tetapi jika hanya asik dengan penggalian keanekaragaman anak didik, maka apa
yang menjadi target dari pemerintah tidak akan tercapai. Konsekuensi dari hal
ini tidak ringan. Misalnya, nilai anak-anak akan kurang sesuai harapan, atau
bahkan tidak lulus UAN. Lebih jauh, konsekuensi berikutnya sangat panjang,
mulai nasib karier guru, nasib kepala sekolah, dan seterusnya.
Diskusi terhadap persoalan semacam ini berlangsung sangat serius dan
membutuhkan waktu yang tidak pendek. Beberapa alternatif pemikiran yang pernah
muncul adalah; kompromi, yakni bagaimana menjadikan antara tuntutan kurikulum
dengan penggalian keunikan siswa secara seimbang. Jawaban ini memang bisa jadi
pilihan yang cukup rasional. Tetapi bagaimana membangun keseimbangan tersebut?
Lagi-lagi muncul dilema dan kerumitan. Muatan kurikulum yang sedemikian padat
rasanya terlalu berat jika dikurangi untuk tujuan lain. Sementara penggalian
keunikan siswa secara total juga kurang mungkin dengan alokasi waktu yang
tersedia.
Persoalan demi persoalan memang selalu muncul dan menimbulkan kerumitan
tersendiri. Formula yang ditawarkan pada dasarnya tidak ada yang permanen sebab
antara satu sekolah dengan sekolah lain memiliki tradisi, kebijakan, dan
karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, pada level ini, yang dituntut
adalah kreativitas dan kemampuan guru membaca realitas yang ada. Guru dituntut
untuk mampu menyelaraskan antara tuntutan kurikulum dengan penggalian keunikan
siswa dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang ada. Namun demikian,
seyogyanya dibangun mekanisme yang mendukung di antara semua komponen sekolah
agar upaya yang dilakukan mampu memberikan hasil yang memuaskan. Jangan sampai
upaya semacam ini hanya menjadi eksperimen guru secara individual. Cara semacam
ini terlalu riskan dan berat dalam mencapai hasil optimal. Berbagai hambatan
dan tantangan akan menggagalkan tujuan yang telah dirancang secara matang.
Dukungan secara penuh berbagai pihak terkait menjadi modal penting untuk
mencapai hasil optimal pembelajaran.
Tulungagung, 7 Oktober 2013
Ngainun Naim
Rujukan:
Ngainun Naim, Character Building (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012).
Kak Seto,”Peran
Pendidikan dalam Membangun Karakter Anak”, dalam Arismantoro (Peny.) Character Building, Bagaimana Mendidik Anak
Berkarakter (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.