Jika Satu Halamanpun Tidak Kita Tulis, Bagaimana Bisa Maju?
Oleh Ngainun Naim
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 16.00 saat Prof. Dr.
Mulyadhi Kartanegara mulai mengisi acara. Hari itu, 12 September 2012—berarti
sudah lebih setahun lalu—saya mendapatkan tugas dari pimpinan untuk menjadi
peserta workshop di Hotel Grand Preanger Bandung. Saya merasa mendapatkan anugerah karena selama workshop, para intelektual
garda depan Indonesia hadir memberikan ceramah ilmiah. Salah seorang di
antaranya adalah Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara.
Sesungguhnya saya sudah pernah mendengarkan ceramah Prof.
Mulyadhi setahun sebelumnya di sebuah konferensi. Tetapi entah mengapa sore itu
saya merasakan suasana yang berbeda. Mungkin karena pesertanya yang terbatas
sehingga ceramah terasa mengena. Selain itu juga karena tema yang diangkat,
”Tradisi Ilmiah Islam”, sangat dikuasai oleh beliau. Karena itu, dua jam lebih
beliau berceramah masih terasa kurang.
Salah satu hal yang beliau tekankan adalah tentang
pentingnya tradisi menulis. Prof. Mulyadhi, sebagaimana juga ditulis dibuku
karya beliau, Reaktualisasi Tradisi
Ilmiah Islam (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006), menyebutkan signifikansi
menulis dengan mengutip banyak literatur klasik. Di buku beliau disebutkan
bahwa Muhammad bin Jarir al-Thabari
menulis sebanyak 40 halaman setiap hari selama 40 tahun. Karena itu beliau
menyatakan bahwa tidak mengherankan jika al-Thabari begitu terkenal dan
memberikan kontribusi yang signifikan dalam bidang yang ditekuninya.
Saya sendiri sesungguhnya belum menemukan penjelasan
memadai mengenai bagaimana al-Thabari begitu hebatnya sehingga mampu menulis sedemikian
banyak karya. Tetapi yang menurut saya justru pernyataan beliau berikutnya. ”Kalau kita tidak menulis satu halamanpun
selama bertahun-tahun, maka tidak perlu heran kalau kita tak pernah maju dalam
ilmu. Pernyataan ini menurut saya sangat fundamental. Ya, hanya melalui
menulis kita bisa meraih kemajuan hidup dan kemajuan peradaban.
Prof. Mulyadhi tidak hanya berteori, tetapi membuktikan
sendiri dengan produktif menulis. Saya mengoleksi sebagian karya beliau. Satu
hal unik yang saya temukan sekaligus diakui sendiri oleh beliau bahwa hampir
semua naskahnya ditulis tangan. Beliau sendiri sejauh yang saya tahu bisa
mengoperasikan komputer, tetapi untuk menulis, tulisan tangan memberikan
sensasi yang berbeda. Dengan tulisan tangan di sebuah buku tulis, beliau terus
produktif menghasilkan karya tulis yang sangat bermanfaat. Jadi, mari menulis.
Jika satu halamanpun tidak kita tulis, bagaimana kita bisa maju?
Trenggalek, 13 Oktober 2013
Ngainun Naim
www.ngainun-naim.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.