Oleh Ngainun Naim
Mengakui kekurangan—apalagi kesalahan—ternyata bukan hal
mudah. Tidak setiap orang mampu melakukannya. Bahkan ada kecenderungan umum di
mana setiap orang cenderung berkilah untuk menutupi kesalahan yang telah
dilakukannya. Berbagai hal akan dilakukan agar orang lain tidak menyalahkannya.
Saya tidak perlu mencari contoh terlalu jauh. Diri saya
pun mengalami hal semacam ini. Beberapa kali saya tahu telah melakukan
kesalahan, tetapi rasanya berat sekali untuk mengakuinya. Harga diri ini terasa
tercabik-cabik. Apalagi jika orang yang kita beritahu kalau kita salah itu
posisinya di bawah kita.
Sudah jelas-jelas melakukan kesalahan pun masih sering
juga menutup-nutupi. Mencari kambing hitam menjadi salah satu strategi aman
untuk melindungi diri. Misalnya saya terlambat masuk kantor dan ditegur oleh atasan,
maka saya biasanya tidak akan meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi
perbuatan tersebut, melainkan mencari berbagai alasan untuk membenarkan
perbuatan tersebut.
Itulah potret manusia pada umumnya. Padahal, mengakui
kesalahan merupakan perbuatan yang mulia sebagai sarana untuk tidak mengulangi
lagi. Manusia yang baik adalah manusia yang selalu berusaha memperbaiki diri
secara terus-menerus. Perbaikan diri dapat dilakukan jika memang memiliki
kesadaran untuk melakukannya. Jika tidak, perbaikan diri tentu tidak mudah
dilakukan
Coba kita simak fakta yang sekarang ini terjadi. Tidak
sedikit orang-orang pandai yang terkena masalah tetapi mereka selalu ngotot
bahwa yang dilakukannya benar. Berkaitan dengan hal ini, menarik menyimak
pendapat Yusuf Burhanudin dalam bukunya, Saat
Tuhan Menyapa Hatimu (Bandung: Mizania, 2007). Pada halaman 61 buku
tersebut dijelaskan bahwa menurut Anas Ibn Malik, hakikat ilmu tidak hanya
dilihat dari pesatnya ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga harus
dilihat dari ruh ilmu yang mewariskan rasa takut kepada Allah pada pelakunya.
Hilangnya rasa takut kepada Allah menjadikan ilmu tanpa cahaya, ada
perangkatnya namun hilang ruh kebaikannya. Ilmu hanya digunakan sebagai
kegunaan teknis dan mengabaikan spirit kebaikan di dalamnya. Akibatnya,
kedigdayaan ilmu hanya digunakan untuk menebar kejahatan dan kesesatan.
Karena itulah, ilmu yang disinari ruh kebaikan akan
menjadikan pelakunya selalu berusaha menjalankan kebaikan. Bukan berarti mereka
tidak pernah melakukan kesalahan. Tidak ada manusia yang tidak pernah melakukan
kesalahan. Manusia yang baik adalah manusia yang setelah melakukan kesalahan
segera bertobat dan memperbaiki diri.
Tulungagung, 21 Oktober 2013
Ngainun Naim
www.ngainun-naim.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.