Sukses Itu Bukan
Hanya Usaha Sendiri, Tetapi Juga Usaha Orang Tua
Oleh Ngainun Naim
”Jangan pernah sombong dengan capaian kita sekarang
karena kita bisa seperti ini berkat usaha keras orang tua kita”, kata seorang
teman akrab di kantor. Sebagai teman akrab, saya menilai dia sudah cukup
berhasil. Usia masih dikisaran 40 tahun, telah menyandang gelar doktor, punya
rumah dan mobil yang cukup bagus, serta berbagai ukuran sukses secara materi
lainnya telah dia miliki. Tetapi jangan tanya apa yang masih kurang karena
manusia itu akan selalu kurang. Jika saja diberi kesempatan untuk memperoleh apapun
di dunia ini, kata puas itu tidak akan pernah diraih.
Saya justru tertarik dengan ucapannya mengenai peran
penting orang tuanya. Dia bercerita bahwa dia bisa memperoleh apa yang sekarang
ini karena visi, usaha, dan kerja keras orang tuanya. Di zaman ia kecil, sangat
sedikit orang tua yang memiliki visi pendidikan. Orang tuanyalah yang
memaksanya berani tampil beda dengan menyekolahkan dirinya di tengah arus
sebagian besar masyarakat yang mulai tertarik mencari rejeki di luar negeri.
Sekarang, ia merasakan betul bahwa pilihan orang tuanya tidak salah.
Saya kira bukan hanya teman saya saja yang mengalami hal
semacam itu. Sebagian besar—jika tidak semua—orang bisa meraih kesuksesan
karena jejak yang ditanamkan oleh orang tua. Tanpa peran orang tua, mustahil
kesuksesan dapat direngkuh.
Spiritualitas
yang Kokoh
Peran orang tua mengantarkan kesuksesan anak tidak hanya sebatas
pada visi, misi, pendanaan, dan pemberian kesempatan kepada anak-anaknya saja.
Sejauh pengamatan dan juga dari tulisan-tulisan yang pernah saya baca, ada satu
faktor penting yang selama ini kurang mendapatkan perhatian, yaitu
spiritualitas orang tua. Mungkin Anda tidak percaya atau menganggapnya sebagai
hal yang irasional. Itu sah-sah saja.
Menurut ilmu filsafat yang pernah saya pelajari, rasio
itu memiliki kemampuan yang terbatas. Memang, banyak aspek yang telah
dihasilkan dari kemampuan rasio manusia. Ini harus kita catat secara tepat. Kemajuan
yang sekarang ini bisa kita rasakan juga karena kemampuan rasio. Tetapi yang
perlu dicatat, tidak semua hal dapat diselesaikan oleh rasio. Ada beberapa hal
yang membutuhkan alat bantu lain untuk memahami dan menyelesaikannya.
Adanya persoalan moral, etika, sosial, dan berbagai
persoalan lainnya menunjukkan bahwa rasio tidak boleh dijadikan sebagai
satu-satunya alat ukur untuk menentukan kebenaran. Rasio perlu dibantu alat
lain. Dalam epistemologi filsafat Islam, dikenal yang namanya intuisi. Saya tidak
membahas tentang intuisi pada tulisan ini. Anda yang berminat membaca bisa
merujuk buku-buku tentang epistemologi. Salah satunya adalah buku karya Prof.
Dr. Mujamil Qomar, M.Ag yang berjudul Epistemologi
Pendidikan Islam yang diterbitkan oleh Penerbit Erlangga Jakarta.
Berdasarkan perspektif ini, saya ingin menegaskan bahwa
usaha spiritual yang dilakukan oleh orang tua memiliki implikasi terhadap
kondisi anak. Orang tua yang rajin mendoakan anaknya, rajin shalat sunah, rajin
puasa, dan berbadah demi kesuksesan anak-anaknya menjadikan anak-anaknya
memiliki peluang yang lebih besar untuk sukses dibandingkan dengan orang tua
sekuler yang tidak melakukan usaha-usaha spiritual untuk anak-anaknya.
Catatan Gus Rizal
Berkaitan dengan persoalan inilah, saya ingin mengutip
status Gus Rizal, seorang teman saya di facebook. Secara personal saya belum pernah
bertemu dengannya, tetapi saya tahu ayahnya; pamannya juga teman saya semasa SMA.
Saya menyukai statusnya di FB yang cukup mencerahkan. Salah satu statusnya
adalah mengenai persoalan yang sedang saya tulis ini.
Saya kebetulan menyimpan status yang dia tulis pada 15
Agustus lalu. Ia menulis berdasarkan jawaban banyak orang yang anak-anaknya
sukses. Inilah hasil penelusurannya:
1. "Orangtua saya rajin
puasa Senin Kamis dan bangun malam. Surat favoritnya ya Yasin sama
Waqiah...!"
2.
"Seingat saya, ibu
saya selalu puasa Daud semenjak saya mondok hingga beliau wafat...”
3. "Orangtua saya dulu
orang nggak punya. Tapi seingat saya ibu saya tak pernah lupa sedekah setiap
menjelang berangkat ke sawah. Kalau bapak ya hanya muadzin di langgar, tapi
gemar sowan ke para ulama, minta doa. Bukan untuk dirinya tapi untuk
keberhasilan anak-anaknya..."
4. "Hehehe, saya bisa
begini ya karena orangtua. Saya sering disuruh minum air sisa minuman para
kiai, sambil bapak saya sekalian minta didoakan. Kalau makan ya makannya sego
berkat. Kata bapak, sego berkat mengandung barakah karena sudah diberi doa. Kalau
emak gemar sholawatan. Biasanya selepas Tahajud beliau wiridkan sholawat Fatih
dan Nariyah sampai subuh.”
5. "Saya ingat, Abah
sering menyantuni anak yatim dan menyekolahkannya/ memondokkannya. Abah juga
puasa Dawud puluhan tahun. Kalau buka ya ngrowot (non-nasi, hanya tetumbuhan).
Kalau Umi istiqomah setiap bulan ngasih jatah beras dan uang ke orang yang
tidak mampu..."
6. "Kalau yang rajin
tirakat ya bapak sama emak. Biasanya puasa sunnah dan bangun malam. Kompak
betul beliau berdua. Biasanya, menjelang saya ujian, dari SD sampai saya ujian
doktor, intensitas ibadah dan tirakat beliau berdua meningkat. Saya bisa jadi
profesor ya berkat beliau berdua...."
Tulisan ini tidak memiliki pretensi apa-apa. Saya hanya
ingin mengajak diri saya—syukur-syukur ada yang juga tertarik—agar semakin
menghormati orang tua. Apa yang sekarang ini bisa saya peroleh adalah berkat
kerja keras beliau, secara materi maupun spiritual. Salam!
Trenggalek,
13 September 2013
Ngainun
Naim
www.ngainun-naim.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.