Lupa Itu Wajar, Tetapi Pelupa
Itu Keterlaluan
Oleh Ngainun Naim
Konon Gus Dur
memiliki kemampuan mengingat yang luar biasa. Beliau bisa ingat banyak sekali nama orang juga. Nomor-nomor telepon kolega
yang penting juga beliau bisa ingat dengan baik. Belum lagi bacaan-bacaan yang
pernah beliau telusuri atau informasi yang pernah beliau dengar. Setidaknya
cerita semacam itu yang saya dengar dari teman yang selama beberapa tahun
mendampingi beliau.
Mungkin Gus Dur memang manusia yang mendapatkan anugerah kelebihan dari
Allah, salah satunya kelebihan dalam hal mengingat. Kemampuan ini merupakan
kemampuan istimewa karena tidak semua orang memilikinya. Justru tidak sedikit
orang yang memiliki sifat pelupa akut.
Konon orang Mesir memiliki tingkat hafalan yang sangat bagus. Kurikulum
pendidikan di Al-Azhar University mengharuskan para mahasiswa hafal al-Qur’an.
Jika lulus S-1 harus hafal 10 juz, lulus S-2 hafal 20 juz, dan lulus S-3 harus
hafal 30 juz. Karena itu lebih dari 10 persen penduduknya hafal al-Qur’an.
Sejarah Islam mengenai hafalan al-Qur’an dan hadis mengukuhkan asumsi ini.
Orang di zaman awal Islam mengandalkan hafalan untuk menyimpan pengetahuan
agama Islam, khususnya al-Qur’an dan hadis. Satu sisi, hafalan merupakan sebuah
keistimewaan. Di sisi lain, fenomena ini menjadi objek yang mudah dikritik
karena hafalan bukanlah sebuah bukti yang memiliki keotentikan tinggi
sebagaimana bukti tertulis. ”Jika hafalan lupa, tulisan mengingatnya”, demikian
kata sebuah pepatah.
Pelupa
Bagaimana dengan orang Indonesia? Jawabnya jelas sangat variatif. Ada orang
yang memang memiliki tingkat menghafal tinggi, ada yang sedang, ada yang lemah,
dan bahkan ada yang pelupa.
Sebuah pendapat menyatakan bahwa sesungguhnya pelupa itu disebabkan karena
kita tidak atau kurang memberikan terhadap objek yang kita ingat. Jika
mengingat asumsi ini, tulisan Pak Emcho, Jurus
Jitu Mengingat Nama yang menjadi HL pada 13 September kemarin, menemukan
titik relevansinya. Tips yang diberikan Pak Emcho merupakan upaya untuk
memberikan perhatian terhadap objek tertentu, yaitu nama. Orang lupa pada
dasarnya adalah orang yang memang kurang memberikan perhatian. Jika saja dia
memberikan perhatian, tentu dia tidak akan lupa.
Hal yang kurang diperhatikan adalah hal-hal yang dianggap remeh atau tidak
penting. Sementara hal yang penting hampir pasti mendapatkan perhatian.
Misalnya bulan Desember tanggal 7 akan melakukan akan nikah, hampir dapat
dipastikan kedua calon mempelai tidak akan lupa. Bagaimana mungkin orang bisa
lupa dengan hari yang begitu bersejarah dalam kehidupannya?
Hal remeh biasanya memang kurang diperhatikan. Di sinilah kasus lupa paling
sering terjadi. Kelihatannya sederhana tetapi dapat membawa efek yang kurang
baik. Contoh sederhana yang cukup sering terjadi adalah kunci sepeda motor.
Banyak orang yang begitu sampai di rumah, kunci sepeda langsung dimasukkan ke
saku baju atau celana dan tidak memberikan perhatian di mana ia menaruhnya.
Persoalan baru muncul ketika sepeda akan dipakai lagi. Ia bingung mencarinya.
Istri, anak, dan anggota keluarga lain akan menjadi sasaran pertanyaan. Ribut
karena kunci baru berhenti ketika ditemukan kuncinya.
Kalau kondisi semacam ini sering terjadi dan dalam banyak hal, relasi dalam
keluarga bisa terganggu. Pertengkaran atau cek cok sangat mudah tersulut. Bahkan
relasi dengan teman atau kolega juga mungkin untuk terganggu karena kelupaan
demi kelupaan yang acapkali terjadi.
Kelupaan pada level akut bisa berubah menjadi kelucuan. Seorang teman yang
pelupa bercerita bagaimana ia ribut mencari kacamata yang dipakainya. Dan
jawaban istrinya cukup menohok. ”Pa,
kacamata dipakai kok ribut dicari”, jawab istrinya.
Tentang Seorang Pelupa
Seorang teman yang memiliki sifat pelupa pernah berkisah kepada saya. Hampir
dalam segala hal ia lupa. Saya lalu memberinya saran sederhana. ”Kamu buat
catatan kecil tentang segala sesuatu dalam aktivitas yang kamu sering
kelupaan”, kata saya.
Lama saya tidak bertemu sampai suatu ketika saya bertemu kembali. Saya pun
menanyakan hasil dari saran saya. ”Gagal total mas”, katanya. Saya pun heran.
Saya tanya bagaimana sampai seperti itu, dengan santai ia menjawab. ”Catatannya
saja saya lupa naruhnya di mana”. Sontak kami pun tertawa terbahak-bahak.
Ia memang pelupa akut. Sampai sekarang pun sepertinya tidak banyak yang
berubah. Saya menyebutnya keterlaluan, tetapi ia santai saja menanggapinya.
Jadi, lupa itu memang wajar, tetapi pelupa itu keterlaluan.
Salam persahabatan!
Trenggalek, 14
September 2013
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.