Fenomena Vicky,
Kerumitan Dalam Tinjauan yang Rumit
Oleh Ngainun Naim
Seminggu terakhir ini jejaring sosial dipenuhi dengan status, komentar, dan
tulisan ala Vicky, mantan tunangan Zaskia Gotic. Ada yang sekadar komentar
ringan, status bergaya Vicky, usulan menulis skripsi model bahasa Vicky, hingga
ulasan serius dalam tulisan teman-teman Kompasianer.
Saya awalnya cukup menikmati fenomena ini. Rasanya ada yang lucu, norak,
berani, dan kadang menjengkelkan. Semuanya merupakan apresiasi atas fenomena
yang sedang berkembang. Tetapi saat fenomena ini terus berlangsung, rasanya ada
hal yang penting untuk dikritisi.
Zaman serba cepat seperti sekarang ini memang memungkinkan persebaran
segala hal secara sangat cepat. Baju, gaya hidup, hingga cara berbicara bisa
sangat cepat berkembang pesat dan mendapatkan ”pengikut” dalam waktu yang
relatif cepat.
Pertanyaan mendasarnya adalah mengapa orang begitu cepat menyambut sebuah
fenomena—Vicky misalnya—dengan sangat antusias? Jejaring sosial yang semakin
luas memang menjadi salah satu faktornya. Tetapi menurut saya itu belum
memberikan jawaban secara mendasar mengenai faktor penyebabnya.
Selama beberapa hari ini, saya kebetulan membaca buku-buku filsafat. Saya menemukan
sebuah buku menarik karya ahli filsafat Indonesia, Dr. F. Budi Hardiman. Judul bukunya
sangat menarik, yaitu Mistik Keseharian
Heidegger (Jakarta: KPG, 2005). Buku
yang cukup rumit dan membuat kening berkerut saat membacanya ini menyuguhkan
banyak hal menarik. Salah satunya saya kira bisa dipakai sebagai alat analisis
untuk memahami fenomena Vicky.
Menurut Heidegger, karakteristik dominan dari orang kebanyakan (das man) adalah keterlenaan terhadap
hal-hal yang praktis, meriah, gemerlap, sensasional, glamor, npopuler, dan
berbentuk massa (masif). Orang kebanyakan mengejar kesepakatan-kesepakatan
global dan populer dalam berbagai hal: cara berpakaian, cara bicara, berpikir,
dan juga bercita rasa. Mereka larut dalam banalitas kehidupan sehari-hari yang
gersang dan dangkal tanpa pernah menyelami serpihan-serpihan makna yang mencuat
darinya. Mereka membaca, melihat, mengamati, dan menilai sebagaimana kebanyakan
orang lain mengamati dan menilai.
Di tengah arus orang kebanyakan (das
man) ini seharusnya muncul orang yang tidak ikut arus, atau paling tidak
membangun pemahaman dan kesadaran kritis terhadap fenomena yang sedang
berkembang. Fenomena Vicky, dalam kerangka ini, seharusnya diposisikan secara
kritis. Ia tidak harus diikuti secara membabi buta, tetapi dipahami dalam
konteks yang lebih luas.
Mungkin Anda tidak setuju dengan perspektif ini. Vicky dengan bahasanya
sudah menghadirkan kerumitan sehingga sulit dipahami. Apalagi dibungkus dengan
perspektif filsafat Heidegger yang kerumitannya jauh melampaui bahasa Vicky.
Jika Anda semakin pening karena semakin rumit, ya mohon maaf. Judul tulisan ini
memang ”Kerumitan dalam Tinjauan yang Rumit”. Salam Persahabatan.
Paviliun RSUD Trenggalek,
15 September 2013
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.