Reaktualisasi Pesan
Luhur Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA
Oleh Ngainun Naim
Kita kehilangan tokoh besar. Tokoh yang hidupnya sarat dengan perjuangan.
Keteladanannya seolah menjadi obor pencerah di tengah arus hedonisme dan
pragmatisme yang kian menjadi-jadi. Hidup Pak Tandyo yang terepresentasikan
dalam perilaku dan pemikirannya menerangi dan menjadi rujukan bagi kemanusiaan
yang terjangkiti penyakit akut.
Secara personal saya tidak mengenal secara akrab Prof. Tandyo. Seingat
saya, saya hanya dua kali bertemu secara fisik. Pertama saat saya masih
mahasiswa di mana saya menjadi notulen seminar dan Pak Tandyo sebagai
narasumbernya. Pertemuan kedua adalah saat saya menjadi peserta sebuah seminar.
Hanya itu saja pertemuan saya, tetapi pertemuan tersebut meninggalkan kesan
mendalam dalam diri saya.
Hidup Pak Tandyo sarat dengan pesan. Disebut pesan karena apapun yang
beliau lakukan banyak memberikan nilai positif yang memancarkan energi besar
kepada orang lain di sekitarnya, baik yang bertemu muka secara langsung maupun
yang membaca kiprah dan pemikirannya.
Kolom beliau di Jawa Pos tentang tokoh Dal Dil Dul (kalau tidak salah
bertajuk ”Kiat Hidup di Tengah Perubahan”)
di awal tahun 1990-an saya baca dengan penuh kekaguman. Tetapi
sayangnya, kolom itu terhenti pemuatannya. Saya tidak tahu persis apa sebabnya,
tetapi konon beliau tidak mau merubah format dan substansi tulisannya atas
permintaan ”orang kuat” yang kurang berkenan.
Ada beberapa hal penting yang dapat saya petik dari sosok Pak Tandyo. Pertama, kesederhanaan. Saat menjadi
narasumber seminar di Tulungagung, beliau naik bis dari Surabaya. Sesampai di
Tulungagung, beliau berjalan kaki menuju lokasi acara. Padahal, jarak yang
ditempuh lumayan jauh. Saat datang dan bercerita bahwa beliau jalan kaki, tentu
saja panitia merasa bersalah dan meminta maaf. Tetapi dengan tenang beliau
menjelaskan bahwa berjalan kaki itu bagian dari keseharian beliau. ”Kaki juga
memiliki hak untuk berjalan”, kata beliau. Ini merupakan satu prinsip hidup
yang penting untuk diteladani.
Tulisan Bagong Suyanto, ”Pak Tandyo, the Last Samurai” di Jawa Pos 3
September juga menyebutkan bahwa mencari Pak Tandyo itu di gedung FISIP Unair
itu sangat mudah.
”Lihatlah di lantai bawah, di depan ruang perlengkapan, apakah di sana ada
sepeda butut yang di depannya ada keranjang yang sudah berkarat. Pak Tandyo,
meski di rumahnya ada mobil, setiap hari berangkat ke kampus selalu menunggangi
kendaraannya yang butut itu”, tulis Bagong Suyanto.
Kedua, filosofi hidup lurus. Sebagaimana ditulis di Jawa Pos edisi 3 September,
filosofis itu berbunyi, ”urip iku sing
lurus-lurus wae, nggak usah neko-neko. Sing penting cukup lan halal” (hidup
itu yang lurus-lurus saja, tidak usah macam-macam. Yang penting cukup dan
halal). Filosofi ini penting sekali karena menandakan adanya ketegasan
menjalani hidup. Hidup lurus itu sebenarnya sederhana, tetapi tidak ringan
untuk dijalankan. Godaan untuk orang sebesar beliau tentu tidak ringan. Tetapi
hidup beliau menunjukkan bahwa beliau mampu menjalani kehidupan secara lurus
sebagaimana filosofi yang dipeganginya.
Ketiga, meninggalkan nama baik. Hidup manusia itu hanya sekali. ”Kita harus merawat
nama baik kita”, pesan Bung Hatta. Dan itu juga yang tampaknya dilakukan oleh
Pak Tandyo. Nama baik itu terekam kuat dalam benak publik. Hal ini juga
didukung oleh dedikasi beliau dalam dunia keilmuan. Coba simak pesab n beliau sebagaimana ditulis Bagong Suyanto. ”Jadi
doktor atau profesor jangan seperti pohon pisang, sekali berbuah kemudian mati.
Jadi profesor, tetapi tidak pernah membuat buku, ibaratnya adalah kesatria
Jepang yang tidak memiliki semangat samurai”.
Kini Pak Tandyo telah meninggalkan kita semua. Spirit dan pesan luhur
kehidupannya yang layak untuk direaktualisasikan agar kita menjadi bangsa yang
bermartabat. Selamat jalan Pak Tandyo.
Salam!
Tulungagung, 5
September 2013
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.