Penulis Kok Pensiun Menulis
Oleh Ngainun Naim
Ketika sedang di puncak produktivitas, nyaris tidak ada
hari tanpa artikel yang dibuat. Kadang satu artikel selesai sehari, kadang
butuh dua hari untuk menyelesaikannya. Tetapi ia tidak berhenti. Selalu saja
ada ide yang datang menyapa. Saat jenuh menulis artikel, ia berpindah menulis
resensi buku. Begitu jenuh, ia menulis cerpen. Artikel, resensi buku, dan
cerpen adalah tiga jenis tulisan yang terus ia produksi seolah tanpa kenal
lelah.
Produktivitasnya membuat banyak orang kagum. Jarang ada
penulis yang memiliki stamina menulis semacam itu. Selain produktif, karyanya
juga menembus (hampir) seluruh media cetak kala itu. Tidak main-main, media
sekelas Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia, dan media-media besar lainnya telah
ia singgahi. Belum lagi media-media kecil yang nyaris tanpa sensor memuat
karyanya.
Bertahun-tahun ia merajai media cetak. Namanya menjadi
jaminan pemuatan. ”Sebenarnya tidak pasti selalu dimuat”, katanya suatu ketika
saat saya menanyainya, ”tetapi memiliki peluang yang lebih besar dibandingkan
penulis lainnya. Itu buah kerja keras. Saya menulis jauh lebih banyak
dibandingkan teman-teman. Sebelum banyak dimuat seperti sekarang, yang ditolak
jauh lebih banyak”.
Ya, tampaknya kunci penting menulis di media cetak telah
ia kuasai. Disiplin, terus berkarya, membaca isu aktual, dan berbagai kunci
penting lainnya telah menjadi kelebihan baginya. Dan itu yang membuatnya
menjadi penulis tak kelas atas untuk zaman itu.
Zaman Berubah
Itu dulu. Tahun 1990-an. kini namanya tidak terdengar
lagi. Sesekali saya pernah mencari di mesin pencari dan menemukan namanya masih
menulis di sebuah media lokal. Tetapi sangat sedikit dibandingkan karyanya saat
berjaya.
Mempertahankan stamina menulis ternyata tidak mudah.
Banyak penulis prolifik yang merajai dunia penulisan (koran, majalah, dan buku)
pada suatu masa, tetapi beberapa tahun kemudian namanya lenyap tak terdengar
lagi. Sangat jarang ada penulis yang memiliki stamina tinggi yang terus
konsisten berkarya dalam jangka panjang, bahkan sepanjang hidup.
Saat belajar menulis di akhir tahun 1990-an, saya rajin
mencermati beberapa media massa, khususnya rubrik artikel, resensi buku, dan
cerpen. Waktu itu, ada beberapa nama yang seolah tiap minggu namanya nongol di
beberapa media massa. Rasanya iri betul melihat mereka begitu berjaya. Ingin
betul menirunya.
Saya berusaha keras untuk meniru mereka. Hasilnya memang
tidak terlalu istimewa, tetapi paling tidak saya telah berusaha keras belajar
menulis. Beberapa tulisan saya telah sempat nangkring di beberapa media besar,
walaupun tentu tidak banyak. Sebagian besar justru dimuat di media menengah ke
bawah. Honor? Ada yang banyak, bahkan menurut saya sangat banyak. Tetapi tidak
sedikit juga yang dimuat pun saya tidak tahu bentuk edisi cetaknya.
Sekarang ini, setelah lebih dari 15 tahun, nama-nama yang
dulu merajai media massa itu banyak yang tidak terdengar lagi. Kini bermunculan
penulis-penulis generasi baru. Para penulis generasi baru ini sekarang menjadi
raja baru. Pertanyaannya, sampai kapan mereka bertahan?
Tetap Menulis
atau Pensiun
Saya tidak tahu pasti ke mana saja para penulis prolifik
itu sekarang ini. Berdasarkan info-info sekilas yang saya peroleh, ada beberapa
kemungkinan mengapa banyak nama yang dulu merajai dunia media massa tetapi kini
tenggelam. Pertama, sibuk dengan
jabatan. Penulis yang dulu produktif rata-rata belum memiliki jabatan penting.
Mereka umumnya penulis lepas atau penulis yang bekerja dengan jabatan yang
belum terlalu strategis. Seiring perjalanan waktu, banyak yang kemudian menjadi
pejabat. Kesibukan kerja sehari-hari yang menguras energi menjadikan kesempatan
menulis semakin terpinggirkan. Pada awalnya idealisme menulis masih mampu
dipertahankan. Walaupun sangat sibuk, menulis masih mampu diusahakan. Tetapi
seiring kesibukan yang terus meningkat, menulis betul-betul berat untuk
dilakukan. Sesekali masih disempatkan menulis, tetapi karena tulisannya tidak
lagi memiliki aktualitas dan ketajaman analisis sehingga semakin jarang dimuat,
perlahan tetapi pasti dunia menulis pun ditinggalkan.
Kedua, mapan secara ekonomi. Banyak penulis yang menulis karena untuk kepentingan
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Menulis menjadi sandaran untuk biaya
kuliah sekaligus biaya hidup. Banyak sekali penulis dalam kategori ini. Ketika
lulus kuliah dan mendapatkan penghasilan yang berlimpah, menulis tidak lagi
dianggap sebagai hal penting. Dunia menulis pun ditinggalkan.
Ketiga, kehabisan stamina. Menulis itu membutuhkan energi besar. Mungkin saja
seseorang mampu mempertahankan staminanya menulis secara konsisten dalam jangka
waktu tertentu, tetapi lebih banyak lagi yang berguguran. Para penulis yang
sempar merajai dunia menulis di media massa itu banyak juga yang kehabisan
stamina sehingga memilih pensiun.
Tentu ada banyak sebab lain yang membuat penulis pensiun
dari dunia menulis. Dan itu saya kira sah-sah saja. Tetapi bagi penulis yang
penuh komitmen, menulis seharusnya menjadi bagian tidak terpisah dari
kehidupan. Sepanjang bisa, ya menulis. Penulis yang berkomitmen tentu tidak
mengenal kata pensiun.
Salam persahabatan!
Ngainun Naim
Trenggalek, 10 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.