Intelektual Itu Idealnya Populis, Tidak Elitis
Oleh Ngainun Naim
Jika disebut kata intelektual maka kesan yang umum
diterima adalah orang pinter, berkaitan dengan perguruan tinggi, dan kalau
menulis bahasanya rumit sehingga sulit dipahami. Kesan semacam ini benar,
tetapi tidak sepenuhnya benar. Sebab intelektual itu tidak harus berciri sebagaimana
kesan umum tersebut.
Tentu saja ada alasan atau faktor penyebab yang membuat
saya menulis tema ini. Jika tidak ada alasan atau penyebabnya, tentu saja tidak
mungkin tulisan ini lahir.
Ceritanya, seharian kemarin saya harus beristirahat di
rumah atas saran dokter. Tidur seharian tanpa melakukan apapun membuat saya
jenuh. Saya pun kemudian membuka-buka buku dari koleksi yang saya miliki. Tangan
saya menemukan buku mungil karya Wishnubroto Widarso. Judulnya Pengalaman Menulis Buku Nonfiksi. Buku yang
saya miliki ini adalah cetakan kelima dan terbit tahun 2005. Penerbitnya adalah
Kanisius Yogyakarta.
Sebenarnya tidak ada pertimbangan khusus mengapa buku ini
yang saya pilih. Tetapi pertimbangan yang utama, buku ini cukup tipis. Tebalnya
hanya 88 halaman. Ketebalan semacam ini membuat saya tidak perlu menghabiskan
banyak energi saat kondisi fisik belum fit. Apalagi saya sesungguhnya juga
pernah mengkhatamkan buku ini beberapa waktu sebelumnya.
Saat membaca (kembali) buku ini, saya menemukan penjelasan
yang menarik mengenai menulis. Pada halaman 17 disebutkan bahwa syarat utama untuk menjadi penulis adalah
selalu mempunyai keinginan yang kuat untuk membagikan pengetahuan kepada sesama.
Secara menarik Widarso membuat tamsil bahwa penulis itu tak ubahnya seperti
seorang dermawan yang selalu ingin membagikan hartanya kepada sesamanya,
terutama yang sangat membutuhkan. Karena motif yang semacam ini maka yang
namanya honor, ketenaran, nilai akademis, dan sejenisnya bukan menjadi
prioritas yang utama.
Pada titik inilah, dengan mengutip pendapat Dick Hartoko,
Widarso menerangkan bahwa intelektual seharusnya tidak elitis, tetapi populis. Intelektual
seharusnya selalu membagikan pengetahuannya kepada khalayak umum. Untuk itu,
bahasa sederhana, mudah, dan tidak elitis yang seharusnya menjadi dasar
pertimbangan.
Tulungagung,
25 September 2013
Ngainun
Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.