Senin, 02 September 2013

Dari Menulis Ke Menulis



Dari Menulis Ke Menulis
Oleh Ngainun Naim

Spirit menulis yang naik turun itu biasa. Namanya juga manusia. Tidak ada manusia yang memiliki spirit dan emosi yang stabil dalam menulis. Tetapi ada hal mendasar yang membedakan antara penulis besar dengan penulis pemula, yaitu cara menyikapi kondisi ketika spirit menulis turun. Penulis besar tidak akan larut dalam kondisi spirit yang menurun tersebut. Ia akan selalu berusaha mencari jalan agar spirit menulis kembali meningkat. Sementara penulis pemula, ia akan pasrah pada keadaan, pasif, dan menunggu datangnya momentum untuk menulis.
Seorang penulis yang telah melahirkan lebih dari 70 judul buku asal Tulungagung, Wawan Susetya pernah bercerita bahwa kunci penting kesuksesan menulis adalah jam terbang. Semakin tinggi jam terbang menulis, semakin baik dan bermutu tulisan yang dihasilkannya. Sebaliknya, semakin jarang menulis, karya yang dihasilkan juga kurang bermutu.
Mungkin memang ada penulis ajaib yang mampu menghasilkan karya hebat di usia muda. Belum banyak karya yang dibuat, tetapi sekali membuat, mutunya langsung tinggi. Karyanya dipuji oleh banyak orang. Tetapi orang semacam ini saya kira tidak banyak. Mungkin masuk kategori pengecualian.
Secara pribadi saya meyakini bahwa jam terbang—sebagaimana pendapat Pak Wawan Susetya—yang dominan dalam menentukan mutu sebuah karya. Kalaupun mutunya tidak tinggi, minimal penulis yang jam terbangnya tinggi akan lebih mudah menghasilkan sebuah karya.
Semakin Sering Menulis, Semakin Dicari
Seorang teman muda yang dua minggu lalu meraih gelar doktor dari IAIN Sunan Ampel Surabaya menulis sebuah status mencerahkan di FB-nya. Dia menulis bahwa minggu-minggu ini tulisan demi tulisan harus dia selesaikan. Ada tulisan untuk Puslitbang Provinsi, untuk jurnal UI, jurnal STAIN Salatiga, jurnal kampusnya sendiri, dan beberapa jurnal kampus lainnya. Semuanya menunggu tulisan doktor muda ini.
Status FB teman tersebut memiliki keterkaitan dengan dunia menulis yang sekarang ini saya tekuni. Saya merupakan penulis pemula yang sering kehilangan spirit menulis. Kadang ide menumpuk di otak, tetapi tidak ada faktor pendorong untuk menuliskannya. Saya lebih sering sibuk mencari alasan menunda menulis daripada langsung beraksi untuk menulis.
Membaca status teman tersebut, saya seolah mendapatkan suntikan energi baru. Memang, sumber pembangkit energi menulis itu bisa darimana saja. Status FB, bagi saya, adalah salah satu sumber energi menulis yang sangat berguna.
Tentu tidak semua warga jamaah FB menulis status mencerahkan. Banyak juga yang bercerita hal-hal sederhana, curhat, atau mengeluh. Soal status, itu urusan masing-masing. Tetapi status yang mencerahkan, khususnya yang berkaitan dengan menulis, biasanya saya perhatikan secara khusus.
Teman FB saya hampir mencapai 5.000 orang. Itu berarti tinggal beberapa ratus lagi kuota FB saya tertutup untuk pertemanan baru. Dari jumlah teman yang sedemikian banyak, saya kira tidak sampai 10 persen yang aktif menulis status, apalagi status yang mencerahkan.
Saya memiliki daftar teman yang aktif menulis status mencerahkan di FB. Mereka biasanya saya kunjungi saat membuka FB. Status mereka—khususnya yang berkaitan dengan menulis—memberikan spirit baru menulis yang begitu menggairahkan.
Memang, semakin banyak kita menulis, kita akan dicari banyak orang untuk dimintai menulis. Penulis yang produktif—sebagaimana teman saya—hari harinya akan dipenuhi dengan dari menulis ke menulis. Saya kira itu menjadi salah satu mimpi saya juga. Sekarang memang sudah banyak juga yang meminta tulisan saya dan itu sangat saya syukuri. Target sederhana saya adalah bagaimana tulisan saya bermanfaat buat orang lain.
Apakah mimpi itu sekarang sudah terwujud? Saya rasa belum dan karena itulah saya ingin terus menulis. Semoga bermanfaat dan mendapatkan keberkahan Alah. Amin.
Salam Persaudaraan!
Trenggalek, 1 September 2013
Ngainun Naim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.