Dari Menulis Ke Menulis
Oleh Ngainun Naim
Spirit menulis yang naik turun itu biasa. Namanya juga
manusia. Tidak ada manusia yang memiliki spirit dan emosi yang stabil dalam
menulis. Tetapi ada hal mendasar yang membedakan antara penulis besar dengan penulis
pemula, yaitu cara menyikapi kondisi ketika spirit menulis turun. Penulis
besar tidak akan larut dalam kondisi spirit yang menurun tersebut. Ia akan
selalu berusaha mencari jalan agar spirit menulis kembali meningkat. Sementara
penulis pemula, ia akan pasrah pada keadaan, pasif, dan menunggu datangnya momentum
untuk menulis.
Seorang penulis yang telah melahirkan lebih dari 70 judul
buku asal Tulungagung, Wawan Susetya pernah bercerita bahwa kunci penting
kesuksesan menulis adalah jam terbang. Semakin tinggi jam terbang menulis,
semakin baik dan bermutu tulisan yang dihasilkannya. Sebaliknya, semakin jarang
menulis, karya yang dihasilkan juga kurang bermutu.
Mungkin memang ada penulis
ajaib yang mampu menghasilkan karya hebat di usia muda. Belum banyak karya
yang dibuat, tetapi sekali membuat, mutunya langsung tinggi. Karyanya dipuji
oleh banyak orang. Tetapi orang semacam ini saya kira tidak banyak. Mungkin
masuk kategori pengecualian.
Secara pribadi saya meyakini bahwa jam
terbang—sebagaimana pendapat Pak Wawan Susetya—yang dominan dalam menentukan
mutu sebuah karya. Kalaupun mutunya tidak tinggi, minimal penulis yang jam
terbangnya tinggi akan lebih mudah menghasilkan sebuah karya.
Semakin Sering
Menulis, Semakin Dicari
Seorang teman muda yang dua minggu lalu meraih gelar
doktor dari IAIN Sunan Ampel Surabaya menulis sebuah status mencerahkan di
FB-nya. Dia menulis bahwa minggu-minggu ini tulisan demi tulisan harus dia
selesaikan. Ada tulisan untuk Puslitbang Provinsi, untuk jurnal UI, jurnal
STAIN Salatiga, jurnal kampusnya sendiri, dan beberapa jurnal kampus lainnya.
Semuanya menunggu tulisan doktor muda ini.
Status FB teman tersebut memiliki keterkaitan dengan
dunia menulis yang sekarang ini saya tekuni. Saya merupakan penulis pemula yang
sering kehilangan spirit menulis. Kadang ide menumpuk di otak, tetapi tidak ada
faktor pendorong untuk menuliskannya. Saya lebih sering sibuk mencari alasan
menunda menulis daripada langsung beraksi untuk menulis.
Membaca status teman tersebut, saya seolah mendapatkan
suntikan energi baru. Memang, sumber pembangkit energi menulis itu bisa
darimana saja. Status FB, bagi saya, adalah salah satu sumber energi menulis
yang sangat berguna.
Tentu tidak semua warga jamaah FB menulis status
mencerahkan. Banyak juga yang bercerita hal-hal sederhana, curhat, atau
mengeluh. Soal status, itu urusan masing-masing. Tetapi status yang
mencerahkan, khususnya yang berkaitan dengan menulis, biasanya saya perhatikan
secara khusus.
Teman FB saya hampir mencapai 5.000 orang. Itu berarti
tinggal beberapa ratus lagi kuota FB saya tertutup untuk pertemanan baru. Dari
jumlah teman yang sedemikian banyak, saya kira tidak sampai 10 persen yang
aktif menulis status, apalagi status yang mencerahkan.
Saya memiliki daftar teman yang aktif menulis status
mencerahkan di FB. Mereka biasanya saya kunjungi saat membuka FB. Status
mereka—khususnya yang berkaitan dengan menulis—memberikan spirit baru menulis
yang begitu menggairahkan.
Memang, semakin banyak kita menulis, kita akan dicari
banyak orang untuk dimintai menulis. Penulis yang produktif—sebagaimana teman
saya—hari harinya akan dipenuhi dengan dari
menulis ke menulis. Saya kira itu menjadi salah satu mimpi saya juga.
Sekarang memang sudah banyak juga yang meminta tulisan saya dan itu sangat saya
syukuri. Target sederhana saya adalah bagaimana tulisan saya bermanfaat buat
orang lain.
Apakah mimpi itu sekarang sudah terwujud? Saya rasa belum
dan karena itulah saya ingin terus menulis. Semoga bermanfaat dan mendapatkan
keberkahan Alah. Amin.
Salam Persaudaraan!
Trenggalek, 1 September 2013
Ngainun
Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.