Bagian Kedua
Oleh: Ngainun Naim
Tampaknya di masyarakat tengah terjadi pergeseran
orientasi perkawinan. Idealitas dari
konsepsi perkawinan sering tidak selaras, atau bahkan bertolakbelakang dengan
realitas. Di sinilah letak titik penting analisis kritis terhadap fenomena
semakin tingginya angka pencarian dengan melihat faktor penyebab dan dampaknya
pada kehidupan sosial kemasyarakatan.
Semua ulama sepakat bahwa perkawinan memiliki
tujuan mulia yaitu terwujudnya keluarga sakinah mawaddah wa rakhmah.
Namun bukan persoalan mudah untuk mewujudkannya. Masa-masa indah kalangan muda
yang penuh romantika sebelum menikah biasanya akan berbenturan dengan kenyataan
hidup yang sarat dengan persoalan setelah menikah. Persoalan kebutuhan
material, perbedaan pandangan, perbedaan karakteristik, relasi dengan mertua
dan segenap perbedaan lainnya, acapkali menimbulkan ketegangan dan konflik.
Tetapi justru di sinilah letak dinamika kehidupan
berumah tangga. Banyak pihak menyatakan bahwa jika perbedaan pendapat dalam
rumah tangga, bahkan mungkin pertengkaran, hal itu merupakan “bumbu” kehidupan
berumah tangga. Tetapi pernyataan ini seharusnya dikritisi dan diposisikan
secara proporsional, sebab tidak semua perbedaan pendapat dan pertengkaran
dapat memperkaya warna warni kehidupan rumah tangga. Sangat mungkin pertengkaran
justru menjadi awal keretakan rumah tangga yang, jika tidak menemukan titik
temu, akan dapat berujung pada perceraian.
Meningkatnya angka perceraian yang terjadi hampir
di semua daerah merupakan fenomena yang cukup berbahaya. Oleh karena itu, berbagai
pihak yang berkompeten harus memikirkan langkah-langkah antisipatif untuk
meminimalisir semakin meningkatnya perceraian.
Kehidupan zaman sekarang ini yang semakin kompleks
menjadikan berbagai aspek kehidupan mengalami pergeseran orientasi, termasuk
perkawinan. Memang tidak semua orang mengalami pergeseran orientasi dalam
memandang dan memposisikan perkawinan. Tetapi kecenderungan meningkatnya angka
perceraian merupakan fakta yang mengafirmasi terhadap kecenderungan ini.
Mungkin tidak terlalu berlebihan jika disebutkan bahwa kini tengah terjadi
desakralisasi perkawinan, terutama pada mereka melakukan perceraian.
Ekses Modernitas
Fenomena semacam ini dapat dilihat dengan
menggunakan beragam perspektif. Salah satunya adalah kerangka pandang modernitas.
Menurut cucu Hassan Al Bana, Prof. Dr. Tariq Ramadhan dalam bukunya Menjadi
Modern Bersama Islam, (2003: 41), masa modern sekarang ini ditandai dengan
adanya keinginan untuk tidak bergantung, bebas, dan hidup individualistis.
Seseorang harus menjadi dirinya sendiri, terbang dengan sayapnya sendiri,
sehingga dalam pengertian ini, keluarga menjadi seperti penjara.
Ketika keluarga sudah tidak lagi menjadi tempat
yang nyaman, sejuk dan penuh kedamaian, maka antar anggota keluarga tidak akan
lagi mampu menjalin relasi yang harmonis. Masing-masing pihak, terutama suami
istri, tidak menyadari bahwa mereka seharusnya saling mengisi dan melengkapi,
bukannya justru melihat kelemahan dan kesalahan. Jika masing-masing pihak
merasa benar, maka pada posisi semacam ini, keluarga dapat berubah menjadi
tempat layaknya penjara.
Bagaimanapun juga, keluarga adalah pilar
masyarakat. Hancurnya keluarga yang ditandai dengan meningkatnya angka
perceraian akan mempengaruhi terhadap konstruksi sosial secara keseluruhan.
Bisa dibayangkan jika dalam sebulan ada ratusan angka perceraian di setiap
kabupaten, berapa banyak anak-anak yang kehilangan kasih sayang dari kedua
orang tuanya? Anak-anak yang terabaikan dari perhatian dan kasih sayang karena
orang tuanya bercerai tentu akan mengalami gangguan dalam perkembangan
psikologisnya. Jika jumlah mereka yang menjadi korban broken home semakin
meningkat, tentu dapat dibayangkan seperti apa implikasinya.
Dalam konteks semacam inilah, sekali lagi Ramadhan
(2003: 42) mengingatkan akan makna penting sebuah perkawinan yang harmonis.
Keluarga, demikian Ramadhan, adalah yang melahirkan manusia. Menyuruh, atau
menjadikan seseorang untuk tidak memiliki keluarga, baik karena orang tuanya
bercerai atau karena faktor lainnya, sama dengan menyuruh anak yatim untuk
melahirkan kembali orang tuanya.
Jika dicermati, pernyataan ini memiliki cakupan
makna yang luas dan mendalam. Keluarga memiliki makna yang sangat vital bagi
seseorang. Sedemikian pentingnya makna keluarga, maka seluruh anggota keluarga
harus “merawat” dengan sebaik-baiknya agar tercipta keluarga yang harmonis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.