Oleh Ngainun Naim
Nama ini mungkin terdengar aneh bagi Anda. Jika Anda
membaca Harian Kompas, pada halaman
pertama paling atas coba Anda cermati. Di situ ditulis bahwa pendirinya adalah
P.K. Ojong dan Jakob Oetama. Ya, P.K. Ojong adalah pendiri Harian Kompas, sebuah harian yang cukup
mewarnai dinamika kehidupan Indonesia selama lebih dari 30 tahun.
Saya baru saja membuka kembali riwayat hidup P.K. Ojong
yang berjudul P.K. Ojong—Hidup Sederhana,
Berpikir karya Helen Iswara (Jakarta: Kompas, 2001). Buku ini memaparkan
secara (cukup) komprehensif tentang P.K. Ojong. Saya hanya akan mengambil
beberapa poin penting yang kiranya dapat kita teladani.
Pertama,
sederhana.
Walaupun telah sukses sebagai pengusaha media massa dengan ribuan karyawan, ia sehari-hari dikenal sebagai seorang yang sederhana,
berkemeja lengan pendek yang dikeluarkan, membawa tas kulit hitam besar.
Bingkai kacamatanya dan sepatunya ketinggalan zaman.
Salah
seorang anak buahnya, Siswadi, menulis di majalah Intisari edisi Juni 1980,
“Sejak saya magang sampai majalah itu [Star Weekly] ditutup, yang paling mengesankan adalah mesin ketiknya yang
reyot. Merk-nya saya sudah lupa, tetapi jelas mesin ketik yang paling jelek di
ruangan. Tetapi yang jelas, mesin ketik yang bagus tidak dengan sendirinya bisa
melahirkan tulisan-tulisan yang baik”.
Kedua, pekerja keras. Kesuksesannya merupakan hasil dari kerja
kerasnya nyaris sepanjang hidup. Kepada adik
dan anak-anaknya ia menasehati, “Kalau
bekerja jangan setengah-setengah. Tidak ada orang yang mati karena rajin, tapi
terbukti banyak yang mati karena malas”.
Ketiga, ia rajin mencatat segala hal yang dianggap penting,
termasuk catatan keuangan. Berkaitan dengan hal ini, Adiknya, Anton, bercerita, “Ia mencatat
peristiwa-peristiwa yang dianggapnya penting”. Kebiasaan mencatat ini
dipertahankannya sepanjang hidupnya.
Keempat,
pembaca
yang gigih. Begitu senangnya Ojong pada buku,
sehingga dalam perjalanan pergi dan pulang kantor dengan mobil pun ia membaca
di sebelah sopir. Sampai akhir hayatnya, Auwjong terus membeli buku dan
membaca. Bahkan ia meninggal dengan buku di sampingnya pada tahun 1980.
P.K.
Ojong telah lama wafat, tetapi jejak keteladanannya masih tetap aktual. Di
zaman yang kian pragmatis dan berkembangnya ”virus mental jalan pintas”, jalan
hidup P.K. Ojong terasa menjadi alternatif yang sesungguhnya memiliki dimensi
kontekstual untuk diaktualisasikan.
Parakan Trenggalek, 17 Juni 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.