Oleh Ngainun
Naim
Setelah kemarin menulis tentang berpikir yang membuat beberapa teman
pusing atau ”ngelu”, sekarang saya menulis tema ringan. Jadi harapan saya Anda
tidak perlu pusing setelah membaca tulisan ini karena isinya tentang refleksi
realitas sehari-hari saja.
Satu hal yang sering saya amati saat mengajar atau
mendengarkan ceramah adalah kecenderungan pendengar untuk berbicara sendiri
dengan teman yang ada di sebelahnya. Kondisi ini semakin riuh apabila
pembicaranya tidak tampil memukau. Maka bisa Anda bayangkan, suasana berubah
menjadi gaduh karena ada banyak pembicara dalam satu ruang.
Jika pembicaranya sabar—apalagi memiliki ”kesabaran
tingkat Dewa”—tentu kondisi semacam ini akan terus berlangsung sampai akhir
sesi. Tetapi jika pemarah, hadirin yang ramai itu akan diperingatkan. Sejenak
suasana pun hening. Tetapi ini biasanya tidak terlalu lama. Pada kondisi berikutnya,
keadaan akan kembali terulang dan suasana kembali riuh.
Saat pembicaranya menarik, konsentrasi hadirin
terfokus. Apalagi jika pembicaranya memiliki selera humor tinggi. Nyaris
sepanjang waktu akan penuh dengan ger-geran. Bahkan tidak terasa jika si
pembicara telah usai menyampaikan materinya.
Tampaknya orang Indonesia secara umum memiliki
kecenderungan yang sama, ”Suka berbicara
dan kurang suka mendengarkan”. Saya minta maaf jika asumsi ini salah.
Sejauh yang saya amati—mungkin juga terjadi pada diri saya—berbicara itu lebih
menarik daripada mendengarkan. Padahal, salah satu ciri kemajuan dan peradaban
adalah adanya warga masyarakat yang memiliki kesadaran tinggi untuk mau
mendengarkan. Jika ini yang menjadi salah satu tolok ukur kemajuan, rasanya
masih jauh bagi bangsa ini untuk maju. Lihat saja bagaimana para pejabat atau
politisi yang debat kusir untuk memenangkan sebuah dialog di televisi. Satu
pembicara belum usai menyampaikan pendapatnya sudah dipotong oleh yang lain.
Hal ini berlangsung berkali-kali.
Tampaknya kita perlu belajar menjadi pendengar yang
baik. Dalam hal ini, pengalaman Prof. Dr. Machasin menarik untuk disimak. Menurut
Prof. Dr. Machasin dalam buku yang ditulisnya, Islam Dinamis Islam Harmonis, Lokalitas Pluralisme Terorisme (Yogyakarta:
LKiS, 2012), kita selayaknya belajar pada orang Amerika tentang bagaimana
menjadi pendengar yang baik. Di halaman 75 buku yang ditulisnya, Prof. Machasin
menyatakan bahwa orang-orang Amerika sangat apresiatif terhadap pembicara dalam
setiap pertemuan. Mereka selalu kelihatan bersemangat untuk mendengarkan dan
memahami apa yang diungkapkan oleh pembicara, betapapun sulitnya hal itu
dilakukan.
Paparan Prof. Machasin ini menarik disimak
sekaligus sebagai bahan refleksi bersama. Saya sendiri menjadikan tulisan ini
sebagai sarana untuk belajar menjadi manusia yang mau mendengarkan. Salam.
Kampus STAIN Tulungagung, 27 Juni 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.