Oleh Ngainun
Naim
Berpikir dapat didefinisikan sebagai kemampuan manusia untuk mencari arti
bagi realitas yang muncul di hadapan kesadarannya dalam pengalaman dan
pengertian. Pengertian ini bermakna bahwa komunikasi merupakan kemampuan
manusia untuk mengutarakan pikirannya kepada orang lain. Adapun cara
mengutarakannya dapat dilakukan dengan berbagai cara; dengan berbicara, lewat tulisan,
atau lewat simbol-simbol tertentu. Fungsi berpikir menyangkut dua aspek yang
penting dalam diri manusia, yaitu wissen atau mengetahui dan verstehen
atau mengerti/memahami.
Dalam kehidupannya, manusia sebagai makhluk sosial berpikir mengenai berbagai
bentuk realitas sosial. Dalam prosesnya, berpikir ini berlangsung dalam dua
bentuk. Pertama, secara horizontal atau sensitivo-rasional, yaitu
berpikir mengenai suatu realitas dengan dilandasi pengalaman sebagai rekaman
dan penginderaan selama hidupnya, rekaman dari fungsinya sebagai komunikan
dalam setiap proses komunikasi yang melibatkan dirinya. Maka, apabila ia
berkomunikasi secara horizontal yang berkisar pada persoalan tahu dan
mengetahui, sifatnya menjadi sensitivo-rasional.
Kedua, berpikir metarasional. Manusia tidak puas hanya dengan sekadar mengetahui (wissen),
tetapi juga ingin memahaminya secara mendalam. Di sini berlangsung proses
refleksi atau kontemplasi yang secara akumulatif bersifat kuantitatif atau
kualitatif. Kualitasnya akan berkadar tinggi apabila proses perenungan itu
dilakukan secara sistematik. Dalam kondisi semacam ini, pemikirannya
sudah sampai pada tahap meta-rasional. Ia tidak lagi memandang suatu realitas
sosial dengan indra mata, tetapi dengan mata batiniah yang terdapat di seberang
realita (beyond the reality), secara metafisik.
Dalam keradikalannya, pemikiran manusia secara vertikal tersebut bisa
menyentuh hal-hal yang sifatnya Ilahi. Ia mendengar tentang Tuhan. Ia ingin
mengetahui adanya Tuhan. Lalu ia percaya akan ada-Nya, dan sebagai
konsekuensinya, ia bersujud dan berserah diri. Kepercayaan semacam ini bersifat
suprarasional, yaitu suatu tingkat pemahaman di luar jangkauan pemikiran secara
sensitivo-rasional. Bagi seorang komunikator, tingkat-tingkat pemahaman
(verstehen) itu menjadi teramat penting untuk mampu berkomunikasi dalam
segala konteks paling luas dan paling lama (Onong Uchjana Effendy, 2003:
366-367).
Cara berpikir antara satu orang dengan orang yang lainnya berbeda. Persoalan
yang sama akan dipahami secara berbeda oleh setiap orang. Masing-masing orang
memahami persoalan berdasarkan kerangka berpikir yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan
bahwa setiap orang—sadar atau tidak—memiliki sistematika berpikir yang khas.
Berpikir dapat didefinisikan sebagai kemampuan manusia untuk mencari arti
bagi realitas yang muncul di hadapan kesadarannya dalam pengalaman dan
pengertian. Pengertian ini bermakna bahwa komunikasi merupakan kemampuan
manusia untuk mengutarakan pikirannya kepada orang lain. Adapun cara
mengutarakannya dapat dilakukan dengan berbagai cara; dengan berbicara, lewat tulisan,
atau lewat simbol-simbol tertentu. Fungsi berpikir menyangkut dua aspek yang
penting dalam diri manusia, yaitu wissen atau mengetahui dan verstehen
atau mengerti/memahami.
Dalam kehidupannya, manusia sebagai makhluk sosial berpikir mengenai berbagai
bentuk realitas sosial. Dalam prosesnya, berpikir ini berlangsung dalam dua
bentuk. Pertama, secara horizontal atau sensitivo-rasional, yaitu
berpikir mengenai suatu realitas dengan dilandasi pengalaman sebagai rekaman
dan penginderaan selama hidupnya, rekaman dari fungsinya sebagai komunikan
dalam setiap proses komunikasi yang melibatkan dirinya. Maka, apabila ia
berkomunikasi secara horizontal yang berkisar pada persoalan tahu dan
mengetahui, sifatnya menjadi sensitivo-rasional.
Kedua, berpikir metarasional. Manusia tidak puas hanya dengan sekadar mengetahui (wissen),
tetapi juga ingin memahaminya secara mendalam. Di sini berlangsung proses
refleksi atau kontemplasi yang secara akumulatif bersifat kuantitatif atau
kualitatif. Kualitasnya akan berkadar tinggi apabila proses perenungan itu
dilakukan secara sistematik. Dalam kondisi semacam ini, pemikirannya
sudah sampai pada tahap meta-rasional. Ia tidak lagi memandang suatu realitas
sosial dengan indra mata, tetapi dengan mata batiniah yang terdapat di seberang
realita (beyond the reality), secara metafisik.
Dalam keradikalannya, pemikiran manusia secara vertikal tersebut bisa
menyentuh hal-hal yang sifatnya Ilahi. Ia mendengar tentang Tuhan. Ia ingin
mengetahui adanya Tuhan. Lalu ia percaya akan ada-Nya, dan sebagai
konsekuensinya, ia bersujud dan berserah diri. Kepercayaan semacam ini bersifat
suprarasional, yaitu suatu tingkat pemahaman di luar jangkauan pemikiran secara
sensitivo-rasional. Bagi seorang komunikator, tingkat-tingkat pemahaman
(verstehen) itu menjadi teramat penting untuk mampu berkomunikasi dalam
segala konteks paling luas dan paling lama (Onong Uchjana Effendy, 2003:
366-367).
Cara berpikir antara satu orang dengan orang yang lainnya berbeda. Persoalan
yang sama akan dipahami secara berbeda oleh setiap orang. Masing-masing orang
memahami persoalan berdasarkan kerangka berpikir yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan
bahwa setiap orang—sadar atau tidak—memiliki sistematika berpikir yang khas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.