Jumat, 25 April 2025

Menjadi Generasi Penggerak Perubahan



 Ngainun Naim

 

Hal ini berbeda benar dengan orang-orang yang cepat beradaptasi menerima hal-hal baru (growth mindset). Meski saat sekolah tidak seberapa pintar, kecerdasan mereka dapat dikembangkan dan dilatih karena mereka terbuka terhadap masukan-masukan dan kritik (Rhenald Kasali, Strawberry Generation (Bandung: Mizan, 2017), 4.

 

Perubahan merupakan realitas yang tidak bisa dihindari. Ia telah ada, hadir, dan menjadi bagian yang tidak terpisah dari kehidupan. Disadari atau tidak, kita hari ini telah ikut dalam arus perubahan yang semakin hari semakin dinamis dan intensif.

Jika kita cermati, perubahan tidak terjadi secara alami. Ada banyak faktor yang berkait-kelindan dan mempengaruhi jalannya perubahan. Salah satunya adalah globalisasi.

Banyak pihak yang kurang peduli dengan realitas yang tengah berlangsung. Hidup dijalani sebagaimana biasanya. Padahal, pelan tetapi pasti, arus perubahan tengah berlangsung.

Pengetahuan dan pemahaman tentang perubahan ini penting ditumbuhkan sebagai modal untuk menentukan sikap yang tepat. Perubahan sebagai aspek yang hadir dalam era globalisasi menghadirkan dua dimensi sekaligus: positif dan negatif. Ini penting untuk dipahami agar tidak larut dalam arus yang merusak.

Sikap yang penting dikembangkan adalah berlaku kritis terhadap realitas. Bagi kader PMII, ini hal yang harus terus diasah. Tentu bukan sebatas kritis. Dzikir, fikir, dan amal shaleh adalah trilogi yang harus terus dirawat secara konsisten.

Jangan sampai kritis tetapi tidak berdzikir. Juga jangan menjalankan amal shaleh tetapi mengabaikan dimensi fikir dan dzikir. Sama halnya juga rajin berdzikir namun mengabaikan fikir dan amal shaleh.

Para pendiri PMII merumuskan jargon, juga visi misi organisasi ini secara serius. Tugas kita adalah memahami, mengimplementasikan, dan melakukan kontekstualisasi sesuai dengan dinamika perkembangan zaman.

Aspek yang penting ditumbuhkembangkan pada kader PMII hari ini adalah mempersiapkan diri sebaik mungkin dalam menghadapi perubahan. Momentum Harlah PMII ke-65 pada tahun 2025 ini menemukan momentum untuk mempersiapkan diri secara baik.

Tema “Generasi Hebat Penggerak Perubahan” bukan sebatas tema namun harus diterjemahkan dan dikontekstualisasikan dalam tindakan. Perubahan tidak harus ditakuti. Juga jangan sampai kita larut dalam arus perubahan, khususnya pada dimensi yang negatif. Kita justru harus menjadi penggerak perubahan.

Menjadi penggerak itu akan sebatas teori jika tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman. Penggerak adalah mereka yang memiliki pengetahuan memadai, pengalaman matang, dan keberanian melangkah secara strategis (Daniel Nugroho, The Magic of Habit, Yogyakarta: Araska, 2021).

Sebagaimana ditegaskan oleh Ketua IKA PMII Tulungagung, Khoirudin Abbas, bahwa hal penting untuk menyongsong perubahan—apalagi menjadi penggerak perubahan—adalah memiliki kemampuan komunikasi dan kolaborasi. Sulit melakukan perubahan jika mindset-nya tidak terbuka terhadap aneka masukan. Apalagi jika menjadikan PMII sebagai batu pijakan untuk mencapai tujuan personal yang pragmatis.

Ini berarti kader PMII dalam menghadapi perubahan harus memiliki integritas. Tanpa integritas, seluruh bangunan kesuksesan akan runtuh. Hanya soal waktu. Jika tidak sekarang, nanti waktu yang akan membuktikan.

Oleh karena itu, dalam momentum Harlah PMII yang ke-65, ini merupakan menjadi titik pijak kemajuan organisasi. Memanfaatkan setiap kesempatan secara maksimal demi kemajuan diri dan organisasi.

 

Tulungagung, 25 April 2025

 

 

Kamis, 10 April 2025

Memberdayakan Potensi Akademik Kader

 Oleh: Ngainun Naim


 




Sebelas Pengurus Komisariat PMII UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung bertandang ke rumah. Ini merupakan bagian tidak terpisah dari agenda lebaran. Berkunjung dari satu rumah ke rumah lain dalam kerangka silaturrahmi.

Berdasarkan informasi, mereka sudah mengunjungi rumah beberapa senior. Tentu agenda semacam ini penting dalam menjaga komunikasi dan ketersambungan antar komunikasi.

Komunikasi merupakan kunci penting dalam aneka hal. Kompetensi komunikasi merupakan bagian sangat vital dalam dinamika sosial. Komunikasi tidak hanya penting dipelajari, namun yang lebih penting lagi adalah dipraktikkan (Deddy Mulyana: 2015).

Tanpa kedatangan mereka, sulit bagi para senior untuk mengetahui siapa saja kadernya. Juga tidak tahu tentang apa, mengapa, dan bagaimana dinamika mereka dalam berorganisasi.

Satu hal menggembirakan dari kegiatan PK PMII UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung selama bulan ramadan kemarin adalah mengaji kitab Arbain Nawawi yang dilanjutkan dengan berbuka puasa. Ada beberapa senior yang menjadi pembaca kitab, yaitu Prof. Dr. Akhyak, Prof. Dr. Sokip, Prof. Dr. Kojin, Prof. Dr. Agus Zaenul Fitri, dan Dr. Abdullah Syafik. Kegiatan ini sangat bermanfaat, khususnya dalam kerangka meningkatkan pengetahuan agama kader.

Dalam perbincangan santai di rumah saya sampaikan agar agenda mengaji dilanjutkan. Tidak harus setiap hari. Bisa seminggu sekali, yang penting istiqamah. Ini penting sebagai ikhtiar merawat tradisi mengaji yang sesungguhnya menjadi identitas PMII.

Mengaji kitab membuat kita tahu dasar agama yang jelas. Tidak sekadar rasional karena agama tidak semuanya bisa dipahami secara bebas. Perlu rujukan referensi yang mapan.

Saya juga menawarkan untuk membina sekelompok kader dalam kegiatan literasi, lebih khusus dalam menulis artikel jurnal. Saya ingin kader PMII ada yang menekuni dunia akademik secara serius. Dunia yang dalam realitas dan sejarahnya kurang banyak dimasuki oleh kader PMII. Padahal, sebagaimana dikatakan oleh Hifni (2016), potensi akademik kader PMII sangat besar. Tentu disayangkan jika potensi besar ini tidak diberdayakan secara baik.

Hal ini sejalan dengan tulisan M. Zainudin (2015) yang menjelaskan bahwa kader PMII itu tidak bisa lepas dari pergumulan akademik-keilmuan. Ini nilai lebih yang harus dipikirkan pertumbuhan dan perkembangannya. Jarang yang mau terjun ke wilayah ini.

Pada titik inilah saya ingin memberdayakan potensi akademik kader. Soal hasil, tentu tidak perlu diperdebatkan. Ini juga baru akan mulai.

 

Tulungagung, 9 April 2025


Bacaan Pendukung

Ahmad Hifni, Menjadi Kader PMII (Jakarta: Moderate Muslim Society, 2016).

M. Zainudin, dkk., Nalar Pergerakan (Malang: Naila Pustaka, 2015).

Deddy Mulayan, Pengantar Ilmu Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015).

Kamis, 27 Maret 2025

Khan Khalili



Shalat dhuhur sudah usai kami laksanakan. Nur Hasan mengajak kami untuk mengunjungi Khan Khalili. Ini merupakan tempat belanja aneka kebutuhan dan souvenir.

Lokasi Khan Khalili bersebarangan dengan Universitas Al Azhar. Maka kami pun harus membelah jalan raya Kairo yang sangat padat. Lalu lintas siang itu sedang sangat sibuk. Selain itu juga kurang teratur. Sejauh yang saya amati, masih mendingan Indonesia.

Menurut M. Faizi (2025), ciri ketertiban berlalu lintas itu ditandai—antara lain—dari minimnya pengendara yang membunyikan klakson. Semakin sering klakson terdengar menunjukkan bahwa lalu lintasnya kurang teratur.

Saya tetiba teringat ucapan sahabat saya seorang dosen Brunei Darussalam pada tahun 2019. Bulan Desember 2019 saya mendapatkan kesempatan berkunjung ke sana. Pengalaman selama beberapa hari di sana saya tulis dalam buku dengan judul Literasi dari Brunei Darussalam (2020).

Selama di Brunei Darussalam, saya berinteraksi dengan banyak orang. Salah satunya seorang dosen di Universiti Islam Sulthan Sharif Ali (UNISSA). Dalam suatu perbincangan, tetiba temanya mengarah ke pengalaman kunjungan beliau ke Indonesia. Beliau menjelaskan bahwa satu yang sangat diingat yaitu lalu lintasnya mengerikan.

Saya sulit membayangkan komentar beliau jika hadir dan menyaksikan lalu lintas di Kairo. Bunyi klakson bertalu-talu. Masing-masing kendaraan berusaha untuk mendahului. Kondisinya jauh lebih kacau dibandingkan dengan kondisi di Indonesia.

Di tengah situasi semacam itu kami berjuang untuk menyeberang. Bukan hal mudah namun menantang. Pelan tapi pasti kami harus melalui jalanan yang padat merayap dengan aneka jenis kendaraan.

Saya mendampingi Ibuk agar perjalanan lancar. Faktor usia yang membuat langkah beliau tidak selincah kami yang muda. Saya menuntunnya secara pelan.

Pasar ini mirip dengan pasar-pasar sebagaimana yang pernah saya temui di berbagai wilayah di Indonesia. Hal ini mengingatkan saya pada buku karya Herman Malano (2013: 2) yang menjelaskan bahwa masuk pasar tradisional, bagi kelompok masyarakat tertentu, dianggap bisa menurunkan gengsi. Mereka lebih memilih berbelanja di pasar modern yang sarat fasilitas. Beda dengan pasar tradisional yang identik dengan tempat kumuh, semrawut, becek, bau, dan sumpek.

Ini juga yang saya rasakan di Khan Khalili. Ternyata, selain soal lalu lintas, ada kemiripan soal pasar tradisional.

Begitu masuk pasar, Ibuk agak mengeluh. Bukan soal kesan yang positif terkait pasar tradisional, namun terkait dengan kondisi bangunan yang tidak merata. Jalan masuk pasar beberapa kali harus naik turun tangga. Bagi beliau, ini sedikit menyisakan persoalan.

Ketika masuk pasar, imajinasi pasar tradisional menyeruak. Bayangan tanah air menyeruak. Hal ini juga mengingatkan tentang kenangan di masa lalu.

Dulu, Ibuk pernah berjuang membantu rezeki keluarga dengan berdagang. Ibuk menjadi pedagang kain. Pasar Bendilwungu dan Pasar Domasan menjadi tempat beliau berjualan.

Selain itu beliau juga berjualan keliling dari desa ke desa. Sistemnya bisa kredit, bisa kontan. Saya sendiri dulu acapkali menemani beliau berjualan dari desa ke desa.

Sebelum masuk lebih jauh ke dalam pasar, Nur Hasan mengajak ke Masjid Sayyid Husein sebelum melanjutkan perjalanan. Kami berdoa di dalamnya.

Keluar dari masjid dalam perjalanan menuju Khan Khalili kami bersua dengan Gus Muid Shohib dan rombongan. Rupanya beliau dalam perjalanan untuk umroh yang diawali ke Mesir dulu. Ini beda dengan kami yang Umroh dulu baru ke Mesir.

Kami berbincang sejenak, tanya kabar, dan berfoto bersama. Tentu ini pertemuan tidak terduga. Biasanya kami bertemu dalam momentum kegiatan Pesantren Denanyar. Di IKAPPMAM Cabang Tulungagung, ada kegiatan rutin berupa ngaji bersama pengasuh. Di situ para kiai, termasuk Gus Muid, hadir. Namun kali kami bertemu dalam momentum yang berbeda.

Kami kemudian berpisah dan melanjutkan perjalanan masing-masing. Rombongan kami, dengan ditemani beberapa mahasiswa Universitas Al Azhar, menuju ke dalam Khan Khalili.

Pasar ini sangat besar. Saya tidak tahu persis ukurannya. Sepanjang jalan di samping Universitas Al-Azhar terbentang pasar ini.

Menurut Owen Putra (2013: 98-99), pasar ini dibangun tahun 1382 M oleh Emir Djaharks El-Khalili. Nama pasar ini, Khan Khalili, dinisbahkan dengan nama pembangunnya. Dia memang merupakan pejabat Dinasti Mamalik yang banyak mendirikan khan.

Masuk pasar ini memang terasa unik. Putra menyebut bahwa orisinalitas atmosfer Mesir bisa ditemukan di pasar ini. Di pasar ini bisa ditemukan aneka barang, khususnya interior kuno. Bisa dikatakan surganya ada di pasar ini.

Jika tidak memiliki tujuan jelas, waktu bisa habis untuk berkeliling dari kios ke kios. Rupanya Nur Hasan memiliki kios langganan untuk oleh-oleh. Kami pun diarahkan menuju ke kios laangganan.

Kios ini sederhana. Di dalamnya penuh sesak barang. Juga penuh sesak wisatawan dari Indonesia dan Malaysia. Di tempat ini rombongan segera menyebar dan memilih barang yang diharapkan.

Hari mulai sore. Tubuh juga lelah. Begitu usai kami pun segera keluar kios untuk melanjutkan perjalanan.

Senin, 10 Maret 2025

Ziarah ke Alexandria

 

Taman Montazah

 

Pagi hari Minggu, 19 Januari 2025, cuaca Kairo sangat dingin. Suhu di kisaran 12 derajat. Nyaris sama dengan hari kemarin.

Suhu di Mesir memang berbeda jauh dengan Indonesia. Sekian waktu kita merasakan suhu panas di Indonesia. Tidak hanya panas, tetapi sangat panas. Hujan juga tidak segera turun.

Belakangan hujan turun. Namun ternyata tidak juga mengembalikan suhu. Pada saat tidak hujan, panas kembali kita rasakan.

Kita—tepatnya saya—ini memang repot. Udara panas, mengeluh. Dingin, mengeluh. Kondisi sering dikeluhkan dibandingkan disyukuri.

Bersyukur itu pada wilayah idealitas. Wilayah yang begitu gampangnya kita perbincangkan. Namun realitas tak selalu semacam itu. Bersyukur, meskipun tidak mudah, harus selalu hadir dalam kesadaran. Harus selalu dilakukan upaya bersyukur.

Terang tapi terlihat gelap

Sarapan pagi di hotel terasa nikmat. Selain nasi, sayur, dan lauk, ada juga kudapan. Ada banyak pilihan. Saya memilih roti sisir dan ketela rebus.

Memang di negeri orang itu rasa makanan tidak sama dengan negara kita. Ini harus juga dipahami. Ketela rebus, misalnya, di Indonesia merupakan makanan idola saya. Rasanya enak dan natural.

Di Mesir beda. Awalnya saya berharap seperti Indonesia. Namun kembali saya sadar bahwa ini Mesir. Tetap harus bersyukur menemukan makanan yang mirip dengan makanan Indonesia.

Usai sarapan kami bergerak menuju Alexandria. Ini kota penting dalam sejarah Mesir. Kota ini pernah menjadi ibu kota Mesir.

Alexandria pernah eksis selama beberapa abad. Nur Al Din Hassan, pemandu kami, menjelaskan bahwa Alexandria menjadi kota penting mulai 300 SM sampai dengan 700 M. Jadi selama sekitar satu abad.



Mengejar bayangan


Tetiba pikiran saya melayang ke tanah air. Di tahun Ketika Alexandria eksis, Indonesia masih belum menunjukkan sesuatu yang signifikan. Kerajaan besar, misalnya, jauh setelah masehi. Mesir, dalam konteks ini, adalah negara dengan peradaban yang telah berusia tua, bahkan sangat tua.

Bukti tuanya peradaban di Mesir—antara lain—dengan adanya museum. Di Indonesia museum itu barang langka. Tidak semua tempat ada.

Mesir berbeda. Di negeri ini museum jumlahnya ratusan. Banyaknya museum merupakan penanda bahwa peradaban di Mesir itu sudah berusia sangat lama. Beda dengan Indonesia yang usia peradabannya relatif lebih muda.

Pukul 10.40 kami sampai Alexandria. Kami menempuh perjalanan menuju Taman Montazah yang lokasinya di bibir pantai. Ini mengingatkan dengan jalanan di Tuban, Jawa Timur.

Tentu tidak sama persis. Namun banyak kesamaannya. Sama-sama di pinggir pantai. Juga sama-sama kurang rapi.

Mobil yang kami naiki masuk pintu gerbang. Awalnya saya membayangkan sebagaimana taman di Indonesia.

Sarapan

Rupanya saya salah. Taman Montazah ini sangat luas. Ini merupakan Istana Raja Farough. Juga sangat indah. Kami menikmati beberapa sudut taman.

Taman ini, meskipun sangat bagus dan sangat luas, tampaknya belum selesai dibangun. Terlihat beberapa bagian yang masih dalam pengerjaan. Namun demikian pengunjung yang masuk sudah cukup banyak. Tampaknya tempat ini menjadi destinasi utama paara pelancong. Beberapa saya lihat rombongan jamaah umroh dari Indonesia.

Pukul 12.00 kami meninggalkan Taman Montazah. Jika mau mengunjungi bagian demi bagian lokasi ini jelas tidak cukup satu atau dua jam. Butuh waktu berjam-jam. Padahal masih ada beberapa lokasi lain yang harus dikunjungi.

Destinasi selanjutnya adalah makan siang ke sebuah restoran. Waktu tempuh sekitar 35 menit dari Taman Montazah.

Restoran yang kami tuju bernama Branzino. Saya sendiri tidak tahu apa artinya. Saya cek di google ada penjelasannya. Intinya Branzino itu nama ikan. 

Resto Branzino

Resto ini sangat indah. Menunya juga ikan laut. Di web https://www.tripadvisor.co.id/ ada banyak komentar dari orang Indonesia. Rupanya restoran ini menjadi destinasi wisatawan, termasuk dari Indonesia.

Jangan tanya soal rasa. Lidah Indonesia seperti saya dan anggota rombongan memang belum akrab dengan menu semacam ini. Ini bukan masalah karena rasa itu soal kebiasaan. Ketika berkunjung ke negara lain, rasa tentu memerlukan adaptasi.

Makan siang telah usai. Perut terasa kenyang. Kami kemudian melanjutkan perjalanan.

Tujuan selanjutnya adalah ke makam ulama yang sangat terkenal, yaitu Sheikh Abdul Abbas Almursi. Sebuah tulisan dari web https://pejalanruhani.com/catatan/biografi/syaikh-abu-abbas-al-mursi-khalifah-besar-syadziliyah/ bisa memberikan informasi tentang beliau. Dijelaskan dalam tulisan ini bahwa beliau lahir pada tahun 616 H atau 1219 M di Kota Marsiyyah Spanyol. Beliau merupakan murid dan penerus Syaikh Abu Hasan As-Syadzili. Gurunya ini yang membawanya berpindah dan kemudian menetap sampai wafat di Alexandria.

Saya sendiri sesungguhnya belum banyak mengetahui tentang tokoh besar ini. Semata karena saya belum membaca secara intensif terkait tokoh ini. Ternyata, begitu saya berselancar ke dunia maya ternyata ada sangat banyak sumber tulisan yang melimpah. Tinggal menyediakan waktu untuk membacanya.

Makamnya ada di sebuah lorong yang kurang bersih. Nur Hasan memberitahu kepada kami agar hati-hati dengan barang bawaan. Beliau juga menyarankan agar kami masuk ke area makam, berziarah secukupnya, lalu segera keluar bersama. Saya sendiri lupa untuk mengambil gambar makam.

Makam Sheikh Abul Abas Almusri. Gambar diambil dari internet.

Usai dari dalam makam Al-Mursi, kami keluar bersama. Suasana kumuh dan kurang nyaman saya rasakan. Ini berbeda dengan kalua saya melakukan ziarah para ulama di Jawa Timur. Memang beda lokasi dan konteks sosial budaya.

Tujuan kami selanjutnya adalah makam Sheikh Al-Busiri yang merupakan pengarang Qasidah Burdah. Di Indonesia, kata Burdah cukup dikenal, khususnya shalawatnya yang acapkali dibaca usai shalat atau ngaji. Alhamdulillah, Allah memberikan kesempatan kepada kami untuk ziarah ke makamnya.

Posisi makam beliau tidak jauh dari makam Sheikh Al-Mursi. Hanya sekira 100 meter saja. Sheikh Al-Busiri sendiri merupakan murid dari Sheikh Al-Mursi. Wajar jika makamnya berdekatan.

Qasidah Burdah lahir melalui proses yang tidak biasa. Berdasarkan informasi dari https://www.kompas.com/stori/read/2024/08/20/235600979/imam-al-bushiri-pengarang-qasidah-burdah?page=2 qasidah ini lahir Ketika Al-Busiri dalam kondisi lumpuh. Qasidah ditulis dengan harapan agar mendapatkan syafaat.

Dalam perjalanan waktu, beliau bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad Saw. Ketika bangun, lumpuhnya sembuh. Beliau bisa berjalan sebagaimana biasa.

Lokasi makam Al-Busiri ada di dekat masjid besar. Kami masuk ke lokasi makam yang di dalamnya ada masjid kecil. Setelah mengambil wudhu, kami masuk makam.

Ketika sedang bersiap masuk makam, datang imam masjid. Beliau memperkenalkan diri sebagai keturunan Imam Al-Bushiri. Karena belum shalat, kami pun menjalankan shalat.

Usai shalat jamaah, kami masuk area makam. Keturunan Imam Al-Bushiri menemani kami berdoa. Beliau juga berkenan memimpin doa.

Dalam perbincangan singkat, beliau menanyakan asal-usul kami. Kami jelaskan bahwa kami berasal dari Indonesia. Kami sampaikan juga bahwa Qasidah Burdah sangat terkenal di Indonesia.

Foto di serambi masjid, dekat makam Sheikh Al-Bushiri.

Acara ziarah sudah selesai. Kami kemudian berkumpul menuju mobil. Di luar, pengemis dan peminta-minta berkerumun. Sebuah pemandangan yang membuat kurang nyaman.

Acara selanjutnya adalah menuju Benteng Qaitbay. Benteng ini berada di bibir pantai. Mirip beberapa benteng yang saya temui di Ternate.

Benteng ini memiliki sejarah yang sangat panjang. Sosok yang memerintahkan untuk membangun adalah Sultan Al Ashraf An Nashr Syaifudin Qaitbay. Beliau merupakan salah satu sultan dari Dinasti Mamluk. Benteng yang dibangun pada tahun 1423 M ini memiliki fungsi untuk menahan serangan musuh yang akan masuk ke Mesir.

https://www.pelago.com/id/activity/p7v3xxjh6-alexandria-day-trip-qaitbay-fort-alexandria-library-from-cairo-cairo/

Benteng ini sangat ramai pengunjung. Bisa jadi ini merupakan salah satu destinasi wisatawan yang berkunjung ke Alexandria. Kami bertujuh, mungkin karena sudah lelah, tidak terlalu lama di dalam benteng. Sekira setengah jam kami sudah kembali berkumpul masuk ke mobil untuk melanjutkan perjalanan.

Mobil sudah siap untuk kembali menyusuri jalanan Alexandria. Kali ini mobil belok ke sebuah gang sempit. Jika bus jelas tidak cukup.

Nur Hasan menjelaskan bahwa agenda kami selanjutnya, sebagai agenda penutup di Alexandria, adalah ziarah ke makam Nabi Muhammad Danial dan Hakim Lukman. Saya sendiri belum banyak mengetahui apa dan siapa dengan Nabi Danial. Kalau Hakim Lukman, mungkin ini tokoh dalam Al-Qur’an, Lukman Hakim. Tapi ini masih mungkin.

Saya lihat Ibuk dan Nyonya sedang tidur nyenyak. Saya tidak ingin mengganggu istirahat beliau berdua. Maka kami berlima saja yang melanjutkan perjalanan.

Di depan Masjid Nabi Danial

Begitu keluar mobil, kami masuk ke sebuah jalanan yang panjang di perkampungan padat penduduk. Tidak ada kendaraan sama sekali di dalamnya. Adanya hanya jalanan yang dipenuhi oleh orang berjalan kaki. Sekilas ada kemiripan suasana dengan Malioboro Yogyakarta.


Jalanan di depan Masjid Nabi Danial dan Lukman al-Hakim

Kami kemudian menuju sebuah masjid. Jelas terpampang ada tulisan masjid Nabi Danial. Masjidnya tidak terlalu besar tetapi dari luar terlihat bangunanya cukup estetik.

Begitu masuk masjid, kami langsung disambut imam masjid. Kami kemudian diarahkan ke makam.

Makamnya unik karena ada di bawah tanah. Untuk ziarah harus turun tangga. Cukup curam dan tidak mudah. Mungkin kisaran lima meter di bawah tanah.

Makam Nabi Danial

Di ruang ini ada dua makam, yaitu makam Nabi Danial dan makam Lukman al-Hakim. Bentuk makamnya tidak sebagaimana makam yang lazim saya temui. Ada tulisan di atas kedua makam.

Apakah Lukman al-Hakim yang makamnya di samping makam Nabi Danial itu yang ada dalam Al-Qur’an? Wallahu a’lam. Tidak ada yang tahu secara pasti.

Makam Lukman al-Hakim

Kami pun segera larut dalam dunia. Setelah cukup segera mengambil gambar sebagai dokumentasi. Begitu selesai kami segera naik ke atas.

Muadzin terdengar melantunkan adzan. Memang sudah masuk waktu ashar, sementara kami sudah shalat jamak di masjid Sheikh Al-Busiri.

Begitu kami keluar datang rombongan satu bus dari Indonesia. Rombongan ini beberapa kali bertemu karena tujuan kami tampaknya sama.

Agenda perjalanan ke Alexandria usai sudah. Kami kembali melakukan perjalanan menuju Kairo. Tubuh yang Lelah seharian segera menemukan momentum untuk terlelap. Meskipun awalnya berbincang, itu tidak terlalu lama. Selanjutnya kami masuk kea lam mimpi masing-masing.

Kami terbangun ketika mulai masuk Kairo. Hari telah gelap. Riuhnya jalanan yang semrawut membuat kami tidak bisa lagi melanjutkan tidur. Kami segera bergerak menuju agenda berikutnya, yaitu makan malam.

Barbecue Maulana


Sate kambing dan ayam bakar: Jangan dibayangkan rasaanya seperti menu di Indonesia

 

 

Kali ini kami makan di sebuah tempat yang cukup istimewa. Namanya Maulana Barbecue. Menunya ayam goreng dan sate kambing. Alhamdulillah. Meskipun tidak sepenuhnya cocok dengan lidah Indonesia, asal masuk perut tetap enak.

 

Kairo, 19 Januari 2025, Trenggalek, 9 Maret 2025


 


 





 


 




 

 

Sabtu, 22 Februari 2025

Semakin Sadar Tidak Muda Lagi


 Ngainun Naim

 

Rasanya waktu berjalan belum terlalu lama. Kenangan saat mondok dan sekolah di Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang masih cukup kuat di ingatan.

Peristiwa demi peristiwa masih acap kali muncul dalam kenangan. Rekonstruksi peristiwa demi peristiwa tidak terlalu sulit. Meskipun, tentu saja, tidak semua.

Otak itu memiliki kapasitas terbatas. Sesungguhnya lebih banyak yang telah lupa dibandingkan yang diingat. Sesungguhnya hanya peristiwa-peristiwa yang memiliki makna spesial yang terekam. Selebihnya lenyap bersama sang waktu.

Saat mondok dulu saya memiliki seorang sahabat yang alim. Beliau angkatan pertama MANPK Denanyar Jombang. Orangnya sangat disiplin dalam keseharian. Juga kutu kitab tulen.

Dulu beberapa kali saya diajak belanja kitab ke toko kitab Darul Fikr Jombang. Dalam waktu tertentu, belanja buku menjadi agenda yang menyenangkan. Kami naik sepeda dari pondok.

Perjalanan ke toko buku di hari jum’at—karena liburnya hari jum’at—menjadi  refresing yang menyegarkan. Tidak hanya secara intelektual tetapi juga secara fisik.

Tamat mondok kami berpisah jalan. Saya kuliah di Jawa Timur. Kawan mondok ini saya tidak tahu melanjutkan studi ke mana. Kami putus komunikasi.

Belakangan saya dengar beliau kuliah ke salah satu negeri di Timur Tengah. Saya kira itu wajar karena memang beliau memiliki kapasitas keilmuan untuk itu. Saya, karena satu dan lain hal, lebih memilih kuliah di dekat rumah.

Awal tahun 2000 kami bertemu di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebuah pertemuan yang menggembirakan setelah tamat sekolah. Waktu itu kami sama-sama sebagai calon mahasiswa Program Magister yang sedang menjalani tes.

Singkat cerita beliau diterima kuliah. Saya memutuskan pulang kampung karena tidak ada beasiswa lagi. Padahal satu-satunya harapan untuk bisa kuliah di Jakarta adalah beasiswa.

Setelah pertemuan itu saya belum berjumpa lagi secara fisik dengan beliau. Sampai sekarang juga belum pernah bertemu. Hanya beberapa informasi terkait beliau, khususnya terkait majelis ilmu yang beliau kelola, beberapa kali saya baca.

Beliau adalah KH. Choirul Anshori, M.A. Jabatan beliau sekarang, berdasarkan informasi di media, adalah Ketua Yayasan Syahamah.  Ceramahnya mudah ditemukan, khususnya di YouTube. Tinggal ketik nama beliau atau Yayasan Syahamah.

Sesungguhnya memori tentang KH. Choirul Ansori, M.A. tidak akan muncul jika tidak ada momentumnya. Saat di sebuah kios di Khan Khalilie, Kairo, pada 18 Januari 2025, seorang mahasiswi Universitas Al Azhar Mesir datang menyusul kami.

Saat itu kami sedang berbelanja. Ada beberapa kios yang dikunjungi. Ketika beberapa kawan masuk kios, saya lebih banyak duduk karena tidak tahu harus beli apa.

Awalnya saya kurang memperhatikan terhadap mahasiswi ini. Saat duduk santai bersama istri di luar kios, mahasiswi itu saya tanya. Ternyata dia dulu sekolah di MAPK Denanyar Jombang. Berarti satu almamater dengan saya.

Perbincangan berlanjut. Satu hal yang kemudian mengejutkan bahwa mahasiswa bernama Zahra itu merupakan putri kedua KH. Choirul Ansori, M.A. Ya Allah sungguh merupakan hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Segera saya ajak foto dan saya kirimkan gambarnya ke ayahnya. Tentu ayahnya terkejut. Kami pun kemudian terlibat saling berbalas pesan.

Sahabat saya ini—menurut informasi Zahra—tetap penggila kitab. Itu cerita Zahra. Benar saja di WA kepada saya beliau menulis pesan:

 

Januari biasanya ada pameran kitab di Mesir

 

Saya bertanya kepada beberapa mahasiswa Universitas Al-Azhar terkait informasi ini. Memang benar ada pameran kitab. Tapi infonya baru buka dua hari setelah kami pulang. Sayang memang.

Pertemuan singkat dengan Zahra menyadarkan bahwa saya sudah tidak muda lagi. Tahun ini usia saya sudah setengah abad. Saatnya untuk terus memperbaiki kualitas hidup. Saya harus menjadi manusia yang semakin baik dari hari ke hari.

 

Trenggalek, 21 Februari 2025