Ngainun Naim
Rasanya
belum lama saya dan Rosyid sekolah di Madrasah Diniyah malam yang ada di desa
tetangga. Masih teringat jelas bagaimana usai mahrib kami mengayuh sepeda dalam
gelap malam menuju madrasah yang lokasinya di desa tetangga. Perjalanan dan
saat di madrasah adalah momentum kebahagiaan yang masih terekam jelas.
Jarak
madrasah diniah dari rumah sekitar 4 kilo. Transportasi utama adalah sepeda.
Saya menjadi santri sejak kelas 3 SD.
Saat
itu, awal tahun 1980-an, listrik belum masuk kampung kami. Lampu minyak dan
petromak yang menemani rumah-rumah dan tempat-tempat lain, termasuk di madrasah
diniyah kami. Hanya di momen tertentu ada penerangan melalui lampu disel.
Misalnya orang yang punya hajat atau pengajian umum.
Usia
remaja saya terpisah dengan Rosyid oleh jalan hidup. Saya tidak lagi bertemu
dengan Rosyid. Info yang saya dengar beliau bekerja di luar negeri.
Lama
sekali tidak bersua, pagi hari tanggal 25/9/2025
secara tidak terduga saya bertemu Rasyid. Ia duduk di kursi depan kantor saya
di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Awalnya ia agak ragu saat melihat
saya. Demikian juga dengan saya.
Keraguan
akhirnya tertepis. Setelah saling yakin kami pun segera bertemu. Selanjutnya
hanyut dalam perbincangan yang hangat.
Salah
satu topik perbincangan adalah tentang kami yang tanpa sadar sudah beranjak
menua. Usia kami sudah lebih setengah abad. Usia yang membuat kami seharusnya
semakin "menep".
Sayang
waktu terbatas. Saya harus menuju lokasi wisuda. Perbincangan baru bisa
berlanjut sejenak usai wisuda.
Tulungagung,
25-9-2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.