Oleh: Ngainun Naim
Jika kita bisa secara intens menghayati dan memberi makna
maka setiap hari adalah kelahiran dan
kematian. Oleh karena itu setiap hari
kita perlu untuk melakukan tasyakuran dan pertobatan kepada Allah—Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian, Jakarta:
Hikmah, 2006, 7.
Berita kematian
berseliweran di grup-grup WA. Di kampus tempat saya bekerja, seminggu lalu ada
tiga berita kematian. Di grup lain, demikian juga.
Berita kematian
juga datang dari tetangga di kampung. Kematian
menjadi bagian dari berita nyaris setiap minggu.
Kematian adalah
kemestian. Tidak ada yang bisa menghindari. Adanya kematian adalah pembelajaran
bagi kita untuk menjalani hidup dengan baik sampai kematian datang menjemput.
Hari minggu ini [14/9/2025],
saya dan keluarga takziah di dua tempat. Mumpung ada kesempatan. Juga sebagai
ikhtiar ibadah dan silaturrahim.
Saya mendapatkan
pelajaran hidup yang sangat berharga. Pelajaran tentang bagaimana orang baik
yang telah berpulang dengan
meninggalkan teladan luar biasa.
Pertama, teladan bagaimana beliau istiqamah dalam beribadah. Pukul
02.30 pagi rutin mandi, lalu beribadah. Tidak ada jeda. Ibadah terus sampai
waktu shalat dhuha. Baru setelah itu istirahat. Ini tidak mudah tetapi
begitulah realitasnya.
Pukul 11.30 beliau
mandi lagi. Ini dilakukan sebagai persiapan untuk ibadah shalat dhuhur
berjamaah. Aktivitas mandi kembali dilakukan pukul 15.30 sebagai persiapan
shalat asar.
Shalat jamaah adalah
aktivitas yang nyaris tidak pernah ditinggalkan. Spirit itu terjaga hingga menjelang
berpulang. Sungguh spirit yang luar
biasa.
Kedua, menjaga kesucian diri. Najis itu hal yang harus
dihindari. Kesadaran ini dibuktikan dengan berusaha sekuat tenaga untuk mencuci
sendiri baju beliau.
Ketika sakit karena
usia sepuh, beliau tetap tidak mau dipakaikan pempers. Hanya beberapa hari
menjelang wafat saja dilakukan karena memang pertimbangan darurat.
Ketiga, tidak mau merepotkan orang lain. Sepanjang bisa dilakukan
sendiri, akan dilakukan. Merepotkan orang lain benar-benar dihindari. Mencuci baju
dan menyeterika, misalnya. Istri dan anak-anaknya bercerita tentang bagaimana
setiap kamis, baju yang akan dipakai untuk shalat jumat sudah diseterika dengan
rapi dan digantung. Ketika jumat datang, baju itu sudah siap untuk dipakai.
Keempat, ngaji tanpa henti. Ini dilakukan setiap hari. Beliau selalu
hadir dalam majelis pengajian di pesantren. Ketika kondisi fisik sudah tidak
memungkinkan, kehadiran dalam pengajian diwujudkan melalui streaming via
YouTube yang didengarkan di handphone.
Kisah ini sungguh
luar biasa. Takziah bukan sekadar hadir tetapi juga sarana memungut
serpihan hikmah untuk dihayati dan dimaknai. Melalui cara inilah jiwa kita
menjadi lebih kaya makna.
Tulungagung, 14-9-2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.