Minggu, 17 Agustus 2025

Kaderisasi dan Transformasi Sosial



Organisasi yang baik itu memiliki sistem kaderisasi yang mapan. Generasi demi generasi pasti akan datang dan pergi sebagai kemestian historis. Ini merupakan sebuah hal yang tidak mungkin untuk dihindari. Justru merupakan persoalan manakala tidak ada—atau ada keterlambatan—pergantian kepemimpinan karena menunjukkan adanya kegagalan kaderisasi.

 

Kaderisasi bukan semata pergantian antar kader pada setiap zaman. Ia seharusnya menjadi sistem yang bisa mengakomodir kebutuhan. Juga bisa menghasilkan kader terbaik sebagaimana yang diharapkan.

 

Sistem pengkaderan, sebagai konsekuensinya, tidak statis. Pada level epistemologis, ia harus mapan dan relatif stabil. Namun pada level penerjemahannya, ia dinamis selaras dengan konteks yang terus berkembang. Sistem yang mapan berpotensi untuk menghasilkan kader-kader yang militan dan berkualitas.

 

Militan—atau fanatik—juga memiliki kelemahan. Hardiman (2021) menjelaskan bahwa fanatik itu ditandai dengan kegalakan, ketertutupan, dan kepongahan yang bukan berasal dari keteguhan hati tetapi dari upaya menutupi kelemahan diri. Ia merupakan bentuk “kompensasi atas rasa inferioritas”. Jadi sesungguhnya fanatik itu problematik, khususnya dalam merespon dinamika perkembangan yang semakin hari semakin kompleks.

 

Berkualitas tapi kurang atau bahkan tidak militan menjadi persoalan karena manusia jenis ini bisa diibaratkan bunglon. Ia bisa loncat ke mana yang diinginkan sepanjang menguntungkan dirinya. Organisasi bukan tempat untuk melabuhkan ideologi dalam diri tetapi sebagai sarana untuk mencari kepentingan pragmatis personal.

 

Aspek yang penting untuk ditanamkan pada setiap kader adalah integritas. Ada tiga unsur integritas, yaitu pengetahuan mengenai diri sendiri, keterusterangan, dan kedewasaan (Balthasar Kambuaya: 2020). Ketiga unsur menyatu menjadi bagian tidak terpisah dari ke-diri-an.

 

Kaderisasi, dalam kerangka ini, penting untuk dirumuskan secara konseptual dan dijalankan hasil rumusannya secara maksimal. Tujuannya adalah agar hasil kaderisasi bisa terlihat secara nyata.

 

Sekarang ini zaman digital dengan tantangan yang kompleks. Zaman ini memiliki dampak yang sangat luas. Bukan hanya shifting dalam banyak bidang tetapi juga membawa implikasi sosiologis, psikologis, ekonomi, dan berbagai bidang kehidupan lainnya (Renald Kasali: 2018).

 

Sejalan dengan dinamika yang ada maka perlu untuk dipikirkan sistem kaderisasi yang mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif. Ini penting dilakukan agar ada sistem kaderisasi yang sejalan dengan kebutuhan zaman. Tanpa pembacaan realitas dengan pendekatan multidisipliner, kaderisasi akan menjadi aktivitas rutin yang semakin hari semakin kehilangan konteks dan relevansi.

 

Pada titik inilah maka kerja intelektual perlu dioptimalkan. Intelektual itu memiliki beberapa karakteristik. Pertama, menekankan kerja pikiran. Kedua, kritis terhadap keadaan sekitar. Ketiga, pemikirannya erat hubungannya dengan aspek immaterial, sekalipun soal-soal itu merupakan eksistensi dari kehidupan material. Keempat, melihat segala sesuatu dalam perspektif yang lebih luas. Kelima, memahami fenomena kehidupan dan pemikiran dalam konteks interrelasi dan totalitas. Keenam, committed terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Dan ketujuh, aspek yang dikejar adalah soal-soal yang transenden (Faisal Ismail: 2017, 128-129).

 

Sebagai penutup catatan ini, saya ingin mengutip pendapat Wahyuddin Halim (2021: 155) yang menyatakan bahwa transformasi itu bukan sesuatu yang instan. Transformasi membutuhkan proses, pembiasaan, rutinisasi, dan penggemblengan. Di sinilah makna penting kaderisasi. Tidak ada kader yang lahir secara instan. Kader itu perlu berproses. Juga perlu integritas agar fungsi transformasi sosial bisa berjalan secara maksimal.

 

Tulungagung, 6 Agustus 2025

Daftar Bacaan

 

Balthasar Kambuaya, Menembus Badai Kepemimpinan, Makassar: Sahmedia, 2020.

F. Budi Hardiman, Aku Klik Maka Aku Ada, Manusia dalam Revolusi Digital, Yogyakarta: Kanisius, 2021.

Faisal Ismail, Islam yang Produktif, Yogyakarta: IRCiSoD, 2017.

Hisanori Kato, Agama dan Peradaban, Jakarta: Dian Rakyat, 2002.

M. Amin Abdullah, IslamiKasi Indonesia, Filsafat Ilmu Memahami Pancasila, Yogyakarta: IB Pustaka, 2025.

Nur Wahyu Andriono, Inovasi dan Reformulasi Kaderisasi PMII Berbasis Pendidikan, Tangerang: CV Anagraf Indonesia, 2024.

Rhenald Kasali, The Great Shifting, Jakarta: Gramedia, 2018.

Wahyuddin Halim, Taat Ritual Tuna Sosial, Etnografi Reflektif atas Tradisi Ramadan Kaum Muslim Indonesia, Makassar: Cara Baca, 2021.

2 komentar:

  1. Sepakat Prof, semua butuh proses.
    Seorang kader juga harus mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Senior boleh menjadi teladan, tetapi kader sejati tidak boleh terus bergantung. Kemandirian inilah yang menumbuhkan tanggung jawab, keberanian, dan kapasitas untuk membawa organisasi maju.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.