Kamis, 11 Februari 2021

KEPEMIMPINAN, KEJUJURAN, DAN MASA DEPAN INDONESIA

 

Oleh Ngainun Naim

 


 

Banyak orang gemas melihat kondisi bangsa Indonesia sekarang ini. Salah satu kegemasan itu bermuara pada miskinnya keteladanan dari pemimpin. Sebenarnya tidak hanya pemimpin saja, tetapi nyaris di berbagai bidang kehidupan, keteladanan semakin sulit ditemukan. Karena itu, ketika ada orang yang mampu menghadirkan keteladanan, apresiasi publik pun akan deras mengalir.

Masyarakat sekarang ini sudah jenuh melihat kelakuan para pejabat dan pemimpin yang tidak bisa menarik simpati masyarakat yang dipimpinnya. Hidup mewah, korupsi, dan sejenisnya, telah memantik apatisme dalam kerangka yang luas.

Masa depan Indonesia akan suram jika kejujuran semakin hilang dari kehidupan. Hilangnya kejujuran adalah langkah menuju lorong gelap kebangsaan. Tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh selain memperjuangkan kejujuran sehingga bisa menjadi kebudayaan.

Siapa yang harus memulai? Tentu setiap diri kita. Siapa pun juga seharusnya mulai sekarang ini berusaha keras untuk berlaku jujur dalam seluruh sisi kehidupan. Tentu, para pemimpin harus menjadi teladannya.

Bagaimana mungkin kejujuran akan menjadi bagian dari kehidupan kebangsaan jika para pemimpinnya pintar bersandiwara menutupi kebohongan. Ada ungkapan menarik dari Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam buku Secercah Cahaya Ilahi (2013) terkait kepemimpinan yang penting untuk kita renungkan. Menurut ahli tafsir tersebut, kepemimpinan itu bukan keistimewaan, tetapi tanggung jawab. Ia bukan fasilitas, tetapi pengorbanan, ia juga bukan leha-leha, tetapi kerja keras. Ia juga bukan kesewenang-wenangan bertindak, tetapi kewenangan melayani. Kepemimpinan adalah keteladanan berbuat dan kepeloporan bertindak.

Jika mencermati pendapat tersebut maka dapat kita pahami bahwa menjadi pemimpin itu tidak ringan. Menjadi pemimpin itu berat. Justru karena itulah seorang pemimpin harus menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Teladan menjadi identitas dirinya. Kejujuran menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupannya sehari-hari.

Secara terperinci Prof. Dr. M. Quraish Shihab menyebut beberapa hal yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu: (1) kesabaran dan ketabahan; (2) menunjukkan jalan kebahagiaan masyarakat yang dipimpinnya; (3) membudayanya kebajikan dalam dirinya; (4) rajin beribadah; dan (5) penuh keyakinan.

Jika lima hal ini dimiliki oleh seorang pemimpin maka kehidupan masyarakat akan damai dan sejahtera. Dalam konteks yang lebih luas, masa depan Indonesia akan cerah jika pemimpinnya memiliki lima sifat tersebut. Jika kini kehidupan bangsa Indonesia masih menghadapi banyak persoalan, faktor yang penting untuk direfleksikan adalah tentang kepemimpinan. Tentu bukan hanya pemimpin saja yang menjadi faktor tunggal, namun harus dilihat secara objektif bahwa kepemimpinan merupakan faktor yang cukup dominan.

Dalam kerangka mengharapkan masa depan Indonesia yang cerah, kita harus banyak belajar. Ya, belajar kepada para pemimpin sendiri. Sesungguhnya masih sangat banyak tokoh-tokoh yang memiliki berbagai nilai positif yang layak diteladani. Tetapi tokoh semacam ini biasanya memang tidak suka diekspose, atau memang media kurang menyukai eskistensinya karena kurang memiliki nilai berita.

Salah satu aspek penting yang dapat diteladani adalah sifat jujur Bung Hatta. Sebagaimana ditulis Adhe Firmansyah dalam bukunya, Hatta, Si Bung yang Jujur & Sederhana (Yogyakarta: Garasi, 2010), hlm. 104-105, Bung Hatta dikenal sebagai tokoh yang hidup sarat dengan nilai-nilai kebaikan. Beliau pemimpin yang jujur, adil, sederhana, tekun, dan tidak kenal kompromi. Antara apa yang diucapkan dengan yang dilakukan selaras. Hatta bukan tipe pemimpin yang hanya memperkaya diri dan keluarga. Baginya, kepentingan negara lebih utama.

Ada sebuah pelajaran menarik mengenai bagaimana Bung Hatta teguh dengan kejujurannya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1950-an. Saat itu beliau masih menjabat sebagai wakil presiden. Istri Hatta—Rahmi Hatta—sedang berjuang keras menabung karena berniat untuk membeli sebuah mesin jahit. Belum sampai uang yang ditabung memenuhi jumlah untuk membeli mesin jahit, pemerintah membuat kebijakan pemotongan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Tentu saja, Rahmi kecewa dengan kebijakan tersebut. Ketika Hatta pulang dari kantor, ia mengeluh, ”Aduh, Ayah... mengapa tidak bilang terlebih dahulu bahwa akan diadakan pemotongan uang? Uang tabungan kita tidak ada gunanya lagi! Untuk membeli mesin jahit sudah tidak bisa lagi, tidak ada harganya lagi.”

Hatta lalu menjawab, ”Yuke (panggilan kesayangan Hatta kepada Rahmi Hatta), seandainya Kak Hatta mengatakan terlebih dahulu kepadamu, nanti pasti hal itu akan disampaikan kepada ibumu. Lalu kalian berdua akan mempersiapkan diri, dan mungkin akan memberi tahu kawan-kawan dekat lainnya. Itu tidak baik! Kepentingan negara tidak ada sangkut-pautnya dengan usaha memupuk kepentingan keluarga. Rahasia negara adalah tetap rahasia. Sungguh pun saya bisa percaya kepadamu, tetapi rahasia ini tidak patut dibocorkan kepada siapa pun. Biarlah kita rugi sedikit, demi kepentingan seluruh negara. Kita coba menabung lagi, ya!”.

Ihwal kejujuran Hatta diakui oleh putrinya, Meutia Hatta. Pengaruh sikap Hatta pada kebiasaan keluarga mereka sangatlah besar. Sampai sekarang, jika salah satu adik Meutia pergi ke luar kota atau ke luar negeri dan Meutia menitip uang untuk membeli sesuatu, maka sang adik yang dititipi akan mencatat dengan teliti; berapa uangnya, kursnya berapa, belanjanya berapa, dan sisanya sampai ke sen-sennya. ”Kami terbiasa jujur, biar pun Rp. 100 akan dikembalikan. Kami menganggap, sesama kakak beradik harus jujur dan adil, karena kita harus bergaul selama seumur hidup. Betapa pun masing-masing itu saudara, itu berbeda. Namun, berkat ajaran ayah dan ibu mengenai kejujuran dan kasih sayang, kami merasakan pentingnya bersatu,” kata Meutia.

Sesungguhnya Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara yang maju. Potensi ini seharusnya disadari dan menjadi tujuan seluruh komponen bangsa. Kita berharap para pemimpin menyadari terhadap harapan besar ini. Bagaimana jika para pemimpin melakukan ketidakjujuran? Saya kira penting merenungkan pendapat Musmarman Abdullah dalam bukunya yang inspiratif, Dijamin Bukan Mimpi, Kumpulan Cerita Satiris & Inspiratif (2016). Musnarman Abdullah menulis, “Aku yakin jika para pemimpin yang pendusta itu akan dikenang sebagai pendusta. Jika mereka mati, pusaranya akan dikencingi beramai-ramai bersalin generasi”.

7 komentar:

  1. Sangat inspiratif Prof khususnya dalam ranah dunia pendidikan. Baik di lingkup keluarga maupun formal. Bahwa sikap kejujuran perlu di terapkan terhadap anak

    BalasHapus
  2. Bung Hatta...Keteladanan pemimpin yang luar biasa. Betapa sederhana dan jujurnya, sehingga untuk membeli mesin jahit saja harus menabung

    BalasHapus
  3. Semoga kita semua bisa menjadi pemimpin yang jujur, menjadi teladan dalam berbuat dan pelopor dalam bertindak

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.