Ngainun Naim
Sejak kecil aku sudah belajar mengaji. Almarhum Bapak yang mendidik dengan keras dalam urusan agama. Awalnya mengaji dan belajar di Madrasah Diniah Masjid Mbah Kiai Abas di desa kami pada sore hari. Kami biasa menyebutnya Masjid Etan. Seingatku aku belajar sampai kelas 2 SD. Di mesjid ini pula aku tidur bersama teman-teman.
Waktu itu, awal tahun 1980-an, masjid dan mushala biasa dijadikan tempat anak-anak dan remaja untuk tidur. Kami akrab satu sama lain. Jika ada yang tidak tidur di masjid biasanya esoknya akan dicari oleh teman-temannya.
Menginjak kelas 3 SD aku pindah ke madrasah tetangga desa, Desa Tanjung. Madrasah itu pembelajarannya sehabis magrib sampai sekitar pukul 8 malam. Ratusan santri dari berbagai desa tumpah ruah ke madrasah ini. Aku memiliki banyak teman dari berbagai desa.
Tahun-tahun itu—pertengahan tahun 1980—listrik belum masuk ke wilayah kami. Mungkin karena sudah terbiasa maka ya biasa saja. Enak-enak saja. Tidak menggerutu seperti sekarang ini saat listrik mati.
Perjalanan antara Desa Sambidoplang-Desa Tanjung pulang pergi menorehkan goresan kenangan yang tak terlupa. Ada kenangan indah dan ada juga duka tak terperi. Semua, dalam sudut pandang kekinian, adalah hikmah hidup yang harus disyukuri.
Generasi anak-anak zaman now memiliki zaman sendiri. Mereka jelas menghadapi tantangan zaman yang berbeda dengan zamanku. Karena itu aku tidak akan menyamakan mereka dengan masa kecilku. Aku hanya akan berusaha keras mendidik anakku sebaik-baiknya. Semoga mereka menjadi anak-anak shalih yang sukses dalam hidup.
Satu kenangan yang tak terlupa adalah saat buku pelajaran jatuh. Pulang diniah di malam hari tidak hanya bagaimana sampai di rumah, tapi juga bagaimana menundukkan rasa takut. Aku kira wajar karena saat itu jalanan gelap gulita. Dengan sepeda yang nyaris tanpa penerangan, kami berlomba cepat sampai di rumah.
Saat berlomba naik sepeda itu, bukuku jatih. Aku seharusnya mengambil tapi rasa takutku lebih besar. Suasana gelap gulita. Maka dengan rasa yang tak terlukiskan, aku terus memacu sepedaku agar segera sampai di rumah.
"Buk, bukuku ceblok", kataku pada Ibuk.
Bapak yang mendengarkan keluhku segera bertanya di mana lokasi jatuhnya. Sesaat kemudian beliau menaiki sepeda, dengan senter khas yang selalu menemani beliau di malam hari. Setengah jam kemudian beliau sudah sampai di rumah dengan menenteng bukuku yang terjatuh.
"Iki bukune. Ngono wae wedi", kata beliau dengan nada dingin.
Aku terima buku itu dengan gembira. Sebuah kenangan hidup yang tidak akan terlupa.
Kisah yang luar biasa prof, jadi teringat masa kecil dulu juga merasakan tidur musholla atau masjid....
BalasHapusTerima kasih Mas Agus
HapusSalut sm bapak. Sejak kecil memang sudah cinta buku. Thanks pak.
BalasHapusTerima kasih Ibu
HapusTerharu membacanya...
BalasHapusJadi teringat Almarhum Bapak juga..
Terimakasih sudah berbagi Pak.
Terima kasih atas komentarnya
HapusKisahnya luar biasa Bapak...
BalasHapusTerima kasih
HapusLuar biasa...
BalasHapusBiasa saja
HapusInspiratif dan menarik
BalasHapusTerima kasih
HapusMasya Allah, kenangan yang menginspirasi Pak 👍
BalasHapusTerima kasih
HapusMembacabkisah ini, terbawa dirku ke alam dan zaman itu...
BalasHapusIde tulisannya dapat menginspirasi untuk menulis sebuah cerita, terima kasih Oak Doktor...
He he he
HapusBegitu besar perhatian dan tanggung jawab bapak anda prof..moga husnul khotimah .Allahumma Aamiin
BalasHapusAmin. Terima kasih doanya Bu
HapusDulu waktu kecil itu adalah kisah yang biasa, tapi hari ini itu menjadi kisah yang penuh kenangan indah
BalasHapusBetul
Hapusalhamdulillah sampai sekarang masih cinta buku ya Mas Doktor.
BalasHapusBetul Pak KS
Hapus