Sabtu, 19 Desember 2020

Hidup Tanpa Utang, Hidup Merdeka

 

Ngainun Naim

 



Tulisan ini merupakan catatan pengantar untuk buku yang kebetulan saya edit. Sebuah buku antologi yang temanya adalah UTANG. Ya, utang. Sebuah kosa kata yang saya yakin sangat dekat dengan kehidupan kita.

Manusia merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendirian. Ia membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi, bergaul, dan membangun kehidupan bersama. Kebersamaan dengan orang lain menjadikan kehidupan menjadi saling mengisi dan saling melengkapi.

Persoalan seringkali muncul dalam interaksi sosial antara satu orang dengan yang lainnya. Sesungguhnya munculnya persoalan itu merupakan hal wajar karena relasi antar manusia bukan tanpa resiko. Masing-masing orang memiliki karakter unik. Keunikan ini jika tidak dipahami bersama akan menimbulkan gesekan. Aspek yang sesungguhnya lebih penting adalah bagaimana mengatasi resiko yang ada. Tentu, berbagai usaha harus dilakukan agar persoalan bisa diatasi, bukan justru dibiarkan atau mencari “kambing hitam”.

Salah satu persoalan yang acapkali harus dihadapi adalah persoalan utang. Bisa jadi kita sebagai orang yang berutang atau kita menjadi orang yang diharapkan memberikan utang. Saya kira (hampir) semua orang mengalami kondisi yang semacam ini.

Utang adalah warna dalam kehidupan. Mungkin tidak ada orang di dunia ini yang tidak pernah memiliki utang sama sekali. Semua pasti pernah memiliki utang. Bisa utang uang, utang jasa, utang budi, dan berbagai jenis utang lainnya. Apa pun bentuk utangnya sesungguhnya wajib dibayar.

Idealitas itu tidak selalu sesuai dengan realitas. Begitu juga dengan persoalan utang, khususnya utang uang. Orang yang berutang semestinya sadar bahwa ia meminjam, tetapi tidak sedikit orang yang berutang sangat santai dan tidak merasa bersalah. Pemilik uang yang diutangi justru sampai seperti pengemis untuk meminta uangnya yang dipinjam. Tidak jarang bukannya uang dikembalikan tetapi justru pertengkaran yang terjadi.

Kehidupan sekarang ini tengah mengalami perubahan. Banyak orang yang menjadikan utang sebagai gaya hidup. Demi mengejar gengsi, utang pun dilakukan tanpa memperhitungkan kemampuan untuk mengembalikannya. Akibatnya utang demi utang terus bertumpuk tanpa mampu untuk mengembalikannya. Hidupnya pun terjerat dalam hitung demi utang.

Buku ini memberikan wawasan secara luas terkait persoalan utang. Kita bisa belajar banyak kepada para penulis buku ini tentang bagaimana mereka berdialektika dengan utang. Ada empat bab yang memuat tulisan demi tulisan yang sungguh bermakna. Bab I bertajuk “Arti Penting Utang”.  Utang ternyata tidak selalu berkonotasi negatif, misalnya berutang demi ilmu dan demi buku (Abdul Halim Fathani). Tentu, utang jenis ini bisa dimaklumi karena untuk konteks kebaikan. Namun ada juga yang menjadikan utang sebagai penyemangat hidup (Agus Hariono). Jika memang berutang maka harus ada komitmen dalam diri untuk mengembalikannya (Ahmad Fahruddin). Hal ini penting karena sesungguhnya untung itu bukan persoalan enteng (Husni Mubarrok). Memang bukan hal mudah untuk membayarnya (Hitta Alfi Muhimmah). Persoalannya kadang bukan kita yang berutang tetapi orang lain yang berutang pada kita. Seperti pengalaman Ahmad Tri Sofyan juga penting sebagai bahan renungan kita karena ulah tetangga yang berutang tanpa adanya kemauan untuk mengembalikan. Semestinya kita ingat bahwa utang adalah penghalang kita saat kematian. Nasihat KH Masruri Abd Muhid sungguh sangat penting sebagai bahan refleksi kita dalam menjalani kehidupan ini. Intinya utang itu harus ditunaikan, meskipun itu utang tulisan (Much. Khoiri).

Bab II bertajuk “Alasan Tidak Berutang” memuat banyak tulisan tentang ikhtiar pentingnya menjalani kehidupan tanpa utang. Kita bisa banyak belajar pada para penulis di bab ini. Utang bisa menyebabkan putusnya silaturrahmi (Marjuki), utang itu menjerat (Tuti Haryati). Jika ingin hidup damai tanpa jerat utang maka jangan berutang (Abdisita S, M. Arfan Mu’ammar, Zulfa, Sri Lestari Linawati). Jika terpaksa utang maka seharusnya untuk hal-hal yang fungsional dan segera dibayarkan (Abd. Azis Tata Pengarsa). Tulisan mereka semua dapat menjadi motivasi bagi kita untuk menjalani hidup dengan tenang tanpa beban utang.

Bab III buku ini bertajuk “Dinamika Utang”. Utang ternyata tidak hanya uang. Menulis pun, sebagaimana diulas oleh Agung Kuswantoro, juga bisa menjadi utang. Begitu juga dengan janji, sebagaimana ditulis Anilla F. Hermanda. “Jadi jangan menyepelekan utang”, demikian nasihat Gunarto. Jika pun kita berutang maka harus diupayakan untuk segera membayarnya agar tidak menjadi beban hidup. Topik ini diulas secara menarik oleh Joyo Juwoto. Sebelum berutang, sebagaimana ditulis Syaiful Rahman, kita semestinya menghitung apa yang prioritas dan mana yang bukan. Sebab siapa pun juga bisa terjerat utang, seperti diulas Sri Sugiastuti. Utang memang penuh suka duka (Muhammad Chirzin). Jika boleh memilih lebih baik mendahului berutang daripada diutangi (Rita Audriyanti). Namun perlu diingat bahwa utang itu berkaitan erat dengan ketakwaan (Bahrus Surur-Iyunk). Jadi memang utang itu multiperspektif (Ahmad Mustamsikin Koiri).

Bab IV bertajuk “Utang, Gaya atau Kebutuhan Hidup?”. Utang yang didasari oleh gaya hidup sesungguhnya menjadikan seseorang bisa terjerumus dalam kesengasaraan meskipun dari utang seseorang bisa bergaya dan menjadi pesohor (Didi Junaedi). Utang juga bisa dilakukan demi gengsi (Budiyanti, Haidar Musyafa), atau demi semangat kerja (Ng. Tirto Adi). Namun jika tidak hati-hati, utang bisa membuat hidup kita remuk (Eni Setyowati). Utang memang sangat dinamis (Masruhin Bagus). Ada utang yang besar—bahkan sangat besar (Muhammad Abdul Azis), ada utang yang membuat kita galau (Yulia Yusuf), dan ada yang karena memang darurat (Agung Nugroho CS). Begitulah rumitnya utang untuk diperbincangkan (Ekka Zahra Puspita Dewi). Bisakah kita hidup tanpa utang? (Nunung N. Ummah). Memang tidak mudah tetapi bisa diperjuangkan. Hidup yang tanpa utang sungguh membahagiakan (Febri Suprapto). Selain itu membebaskan diri dari utang juga manifestasi dari rasa syukur (Ngainun Naim).

Begitulah utang dan hal-hal rumit yang mengelilingi. Saya mengucapkan terima kasih kepada teman-teman Sahabat Pena Kita (SPK) yang memberikan kepercayaan kepada saya untuk menjadi editor naskah ini. Tentu saya sadar sepenuhnya masih banyak kekurangan di sana-sini. Mohon maaf atas segala khilaf dan kelemahan saya. Terima kasih.

 

Trenggalek, 18-12-2020

 

17 komentar:

  1. Semoga segera menyusul juga dari teman-teman SPK T.Agung menerbitkan buku antologinya. Pangestunipun, Prof. 🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin. Senang dengan semangat kawan-kawan. Insyaallah segera menyusul terbit.

      Hapus
  2. Hidup dgn utang menjadi beban, maka jgn berutang agar tdk ada beban. Thanks, pak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama Bu. Utang tidak dilarang asal tidak untuk sesuatu yang tidak prioritas. Namun rasanya lebih nikmat jika hidup tanpa utang

      Hapus
  3. Semoga bisa terbebas dari yang namanya utang, apapun bentuknya, tulisan yang sangat inspiratif, terima kasih Prof sudah mengingatkan masalah tentang utang, termasuk juga utang setoran tulisan.

    BalasHapus
  4. Smg sgr kita terbebas hutang. Tidak enak punya hutang. Teriamkaaih kasih prof.

    BalasHapus
  5. Utang ada konsekuensinya. Siap dengan konsekuensinya? Silahkan berutang. Terima kasih pencerahannya, Prof.

    BalasHapus
  6. Balasan
    1. Segera tindaklanjuti untuk antologi Sambelnya Ustadz

      Hapus
  7. Hutang uang bisa dibayar, hutang budi dibawa mati...

    BalasHapus
  8. Saya ingin berupaya hidup tanpa hutang, dengan memanage kehidupan pribadi dan keluarga dengan hidup sederhana, syukuri yang ada , jalani semampunya. Namun demikian tidak bisa kita lepas diri dari hutang, seperti hutang kebaikan. Semoga juga mampu mengembalikan, dan mampu berbagi kebaikan.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.