Senin, 12 Oktober 2020

Catatan Senin Pagi

 

Ngainun Naim


 

Senin datang lagi. Banyak yang benci dengan senin, padahal sesungguhnya senin tidak bersalah. Kasihan betul senin. Ia tidak tahu apa-apa tetapi dibenci. Semestinya ia diperlakukan secara adil. Tanpa senin, tak ada sabtu dan minggu.

Hari masih gelap gulita. Suara bacaan Al-Qur’an menggema di luar. Hujan rintik-rintik sejak semalam belum juga reda.

Saya malas sekali untuk bangun. Tubuh ini rasanya semakin berat untuk diajak bangun pagi. Mungkin terlalu banyak dosa. Saya tetap rebahan. Dan inilah yang kemudian terjadi, saya kembali tertidur. Beruntung ada HP yang alarmnya segera meraung-raung. Jika tidak, mungkin saya tidur sampai waktu subuh habis.

Sungguh, pada sisi ini saya harus berterima kasih kepada penemu HP yang fiturnya semakin hari-hari semakin lengkap. Tanpa alarm, rasanya saya akan sangat sulit bangun secara alami. Memang bisa juga untuk bangun tanpa bantuan alarm, tetapi itu biasanya karena ada acara yang sangat penting. Pikiran pun sebelum tidur sudah tersetel untuk bangun.

Adzan subuh dari mushola sebelah rumah dikumandangkan. Saya segera bersiap. Hujan masih turun meskipun tidak deras. Sajadah saya pakai untuk menutupi kopiah. Saya berlari kecil menuju Mushola.

Shalat subuh berjamaah itu besar sekali faedahnya. Tapi inilah shalat berjamaah yang paling berat dilakukan. Butuh perjuangan. Banyak kalam hikmah dan kitab yang menjelaskan tentang besarnya faedah shalat subuh berjamaah, meskipun antuasisme untuk menjalankannya tidak sebesar faedahnya. Paling tidak itu yang saya rasakan. Saya belum mampu shalat subuh berjamaah setiap hari. Selalu saja ada alasannya.

Usai subuh saya kembali merebahkan diri. Saya tahu tidur setelah subuh itu kurang bagus, tetapi mata saya seperti dibuat bergantung setan. Ngantuk sekali. Mungkin durasi tidur saya memang kurang. Secara santai saya merebahkan diri. Saya berharap sudah bangun sebelum jam enam.

Jam 05.35 saya bangun, padahal alarm di HP belum berbunyi. Saya bergegas ke kamar mandi. Setelah itu saya menemui anak sulung untuk memberikan uang saku dan uang pembayaran ke sekolahnya. Hari ini jadwal si sulung masuk. Memang, sejak ada pandemic sekolah si sulung masuk berdasarkan nomor urut absen. Satu minggu nomor genap, dan satu minggu nomor ganjil.

Begitulah. Pukul 06.20 si sulung berangkat. Saya kemudian mempersiapkan diri untuk mengajar via online. Rencananya usai mengajar saya akan ke kantor. Nanti siang ada agenda pertemuan belajar bersama para dosen untuk menulis artikel jurnal.

Ya, inilah catatan ringan senin ini. Ternyata hal sederhana semacam ini pun bisa menjadi tulisan. Anda saya yakin juga bisa membuat catatan yang lebih bagus lagi.

 

Trenggalek, 12-10-2020

26 komentar:

  1. Tulisan yang inspiratif. Catatan Senin siangnya ??

    BalasHapus
  2. Cerita santai tp memotivasi u menulis apapun

    BalasHapus
  3. Mampir sebentar, mencari-cari eemangat untuk menlis lagi.

    BalasHapus
  4. Sungguh kalau sudah bakat menulis apapun jadi tulisan. Salut sama Bapak Ngainun

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menulis, menurut saya, bukan bakat tetapi usaha dan kerja keras. Jika bakat, Bapak saya bukan seorang penulis. Kakek saya juga bukan penulis he he he. Sekadar guyon.

      Hapus
  5. Izin mampir pak, barangkali saget nderek ilmunya,,,

    BalasHapus
  6. Hari Minggu juga bisa jadi judul tulisan ya Mas Doktor

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.