Selasa, 20 Oktober 2020

Islam Aktual dan Islam Potensial

 Ngainun Naim

 


Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Di bandingkan Saudi Arabia sekali pun, jumlah kaum Muslim Indonesia tetap lebih besar. Namun demikian, jumlah yang banyak tidak selalu mencerminkan bahwa ajaran Islam telah diaplikasikan secara baik dalam kehidupan sehari-hari. Sebab realitas menunjukkan bahwa ajaran Islam banyak yang dilanggar oleh umat Islam sendiri.

Salah satu contohnya disiplin. Menepati janji dan menepati waktu merupakan salah satu ajaran Islam yang termaktub dalam al-Qur’an. Ritual-ritual Islam juga sarat dengan ajaran disiplin. Shalat misalnya, harus dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan. Demikian juga, sahnya shalat juga telah ditentukan. Mereka yang melanggar ketentuan ini tidak akan sah shalatnya. Ajaran disiplin pada ibadah shalat telah melingkupi hidup seorang Muslim, minimal lima kali sehari semalam. Tetapi disiplin dalam ajaran shalat ini tidak bergerak ke tataran aplikasi kehidupan yang lebih luas. Selesai shalat, selesai juga ajaran disiplinnya.

Puasa juga contoh ibadah yang sarat dengan kedisiplinan. Makan waktunya diatur. Siang hari harus berdisiplin diri yang kokoh untuk tidak makan, tidak minum, dan berhubungan seks. Puasa Ramadhan selama sebulan penuh merupakan wahana disiplin yang luar biasa. Tempaan ajaran ini seyogyanya mampu membentuk kepribadian yang sarat dengan kedisiplinan. Namun realitasnya tidaklah semacam itu.

Jika bicara disiplin, tampaknya umat Islam—khususnya di Indonesia—sangat jauh dari ideal. Ketidakdisiplinan menjadi pemandangan yang sangat biasa. Baru pulang shalat dari masjid dengan naik sepeda motor tanpa helm, misalnya. Ketika sampai di perempuan yang ada traffic light-nya langsung belok kiri, padahal jelas ada rambu yang melarangnya.

Disiplin waktu juga masih menjadi persoalan serius. Nyaris setiap acara selalu molor dari jadwal. Sangat jarang ada kegiatan tepat waktu. Kondisi semacam ini tentu berbeda dengan negara-negara non-Muslim yang memiliki tingkat disiplin sangat tinggi. Dalam hal disiplin, Jepang adalah contoh yang layak untuk ditiru. Kedisiplinan tinggi yang mengantarkan Negeri Matahari Terbit tersebut mampu melaju cepat sebagai negara maju. Begitu disiplinnya hingga kereta api pun berjalan dengan ketepatan tidak hanya pada menit, tetapi hingga ke detik. Luar biasa.

Dalam hal kebersihan, umat Islam juga masih banyak yang belum memiliki tradisi yang baik. Pentingnya kebersihan tidak hanya ada dalam al-Qur’an dan Hadits, tetapi juga dalam mahfudzat yang banyak diajarkan di berbagai lembaga pendidikan Islam, termasuk pesantren. Tetapi harus jujur diakui, banyak lembaga pendidikan Islam yang justru kurang mencerminkan penghargaan terhadap kebersihan.

Sekitar satu abad lalu, pembaru dari Mesir, Mohammad Abduh, mendapat kesempatan ke Prancis. Dalam kunjungan ini, Abduh merasakan keterkejutan yang luar biasa. Ada banyak hal yang sama sekali tidak terbayangkan. Perancis adalah negara sekuler yang kurang memperhatikan persoalan agama. Tetapi dari perilaku masyarakatnya, mereka justru banyak yang menerapkan ajaran Islam. Disiplin, ramah, penegakan hukum, menghormati sesama, dan berbagai nilai-nilai Islam lainnya telah mereka aplikasikan. Mengamati fenomena semacam ini, Abduh kemudian menyimpulkan, “Saya menemukan Islam di Perancis, tetapi saya tidak menemukan umat Islam di sana”.

Pernyataan ini secara jelas menunjukkan bahwa Islam sebagai ajaran justru dipraktekkan oleh umat yang tidak memeluk ajaran Islam. Sementara umat Islam sendiri justru kurang memperhatikan terhadap ajaran agamanya. Apa yang terjadi di Perancis maupun negara-negara maju lainnya dapat disebut sebagai “Islam aktual”. Sementara umat Islam yang belum menjalankan sepenuhnya ajaran Islam dapat dikategorikan sebagai “Islam Potensial”.

Menarik menyimak pengalaman Romi Satrio Wahono, seorang peneliti LIPI dan pendiri IlmuKomputer.com. Romi tinggal selama 10 tahun di Jepang saat studi S1, S2, dan S3. Dalam salah satu tulisannya, Romi menuturkan bahwa kadang-kadang orang Jepang itu berperilaku lebih Islami. Sifat ihtirom (hormat) terhadap orang tua, akhlak terhadap tetangga, saling memberi hadiah kepada orang lain selagi mendapatkan rezeki lebih, kemudian juga dengan sistem pendidikan formal yang mengajarkan moral dan perilaku hidup mandiri dan sopan santun.

Bukan maksud saya untuk mengunggulkan negara Barat dan negara non-Muslim lainnya. Saya hanya ingin membangun pemahaman bersama bahwa umat Islam banyak yang abai terhadap nilai-nilai dan ajaran Islam sendiri. Sementara umat non-Muslim yang tidak banyak mengerti ajaran Islam justru menerapkan Islam itu sendiri. Walaupun pada sisi yang lain, banyak juga perilaku mereka yang jauh dari nilai-nilai Islam.

Dalam kategori Prof. Dr. Maftukhin, Islam itu dapat dibagi menjadi empat level. Level pertama adalah akidah. Ini yang menjadi ukuran apakah seseorang itu Muslim atau bukan. Kepercayaan terhadap rukun Islam dan rukun Iman menjadi parameter untuk menentukan keber-Islam-an seseorang. Pada level ini, jelas yang disebut Islam hanyalah umat yang meneguhkan keyakinannya pada ajaran Islam. Umat di negara-negara Barat maupun negara maju lainnya tidak disebut sebagai seorang Muslim manakala tidak meyakini akidah Islam, walaupun mereka menerapkan ajaran Islam.

Pada level kedua adalah syari’ah. Keislaman seseorang harus disempurnakan dengan menjalankan ajaran Islam, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Pada tataran ini, hanya orang Islam saja yang menjalankan ibadah yang telah disyari’atkan tersebut.

Level ketiga adalah tsaqafah atau gerakan. Dan level keempat adalah ijtima’iyyah atau sosial kemasyarakatan. Kedua level ini dapat dijalankan oleh orang Islam maupun non-Islam. Contoh-contoh kasus mengenai bagaimana orang Barat menjalankan spirit ajaran Islam berada pada level ketiga dan keempat ini. Mereka menjalankan ajaran Islam, walaupun mereka bukan umat Islam.

Realitas ini seyogyanya menjadi bahan refleksi bersama betapa keberislaman kita memang harus disempurnakan hingga level ketiga dan keempat. Secara aktual, keberislaman kita lebih didominasi oleh Islam aktual pada lavel pertama dan kedua, sementara pada level ketiga dan keempat lebih banyak bersifat potensial. Potensi adalah sesuatu yang tidak akan banyak berarti manakala tidak diberdayakan. Spirit gerakan dan sosial-kemasyarakatan yang selaras dengan ajaran Islam harus diperjuangkan jika ingin Islam menjadi parameter kemajuan.

Memang bukan hal mudah untuk melakukannya. Tetapi tanpa kesadaran dan kemauan untuk melakukannya, Islam akan semakin tertinggal jauh dari umat yang lain. Oleh karena itu, sembari tetap memperkuat level pertama dan kedua, penting untuk menyusun agenda secara sistematis dan berkelanjutan pada level ketiga dan keempat. Hanya dengan cara demikian, Islam aktual akan mampu mewarnai dinamika kehidupan yang penuh tantangan di zaman modern ini.

11 komentar:

  1. Terima kasih pencerahannya pak, Umat Islam harus dekat dengan ajarannya, sungguh-sungguh mengikuti petunjuk Al-Qur'an, InsyaAllah umat Islam maju.

    BalasHapus
  2. Terima kasih sdh mengerjakan tugasnya dengan baik

    BalasHapus
  3. sangat menolong bagi peneliti dan pembaca yang mengkaji tema moderaai beragama, multikultural dan tema lain yang terkait, syukron Gus

    BalasHapus
  4. Sangat bermanfaat,pak. Thanks pak.

    BalasHapus
  5. saya setuju umat Islam harus belajar menuju disiplin, menghargai sesama dan menerapkan nilai nilai Islam lainnya

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.